Standar emas, yang mengaitkan nilai mata uang suatu negara dengan cadangan emasnya, pernah menjadi pilar sistem keuangan global sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sistem ini memungkinkan setiap unit mata uang yang diterbitkan memiliki nilai yang setara dengan jumlah tertentu emas, yang berarti masyarakat atau negara lain dapat menukarkan mata uang dengan emas secara langsung.
Pada masa kejayaannya, standar emas memberikan stabilitas ekonomi karena mencegah pencetakan uang secara berlebihan oleh pemerintah, menekan risiko inflasi yang tak terkendali, dan menciptakan sistem keuangan yang  konsisten di antara negara-negara yang mengadopsinya. Namun, sistem ini perlahan ditinggalkan pada abad ke-20, dan saat ini, mayoritas negara menggunakan sistem mata uang fiat. Lantas mengapa standar emas yang menawarkan stabilitas ekonomi tergantikan oleh mata uang fiat yang tidak memiliki nilai intrinsik dan berpotensi menyebabkan ketidakstabilan nilai mata uang?
Apa Itu Standar Emas?
Standar emas adalah sistem moneter di mana nilai mata uang suatu negara didasarkan langsung pada emas. Negara-negara yang mengadopsi sistem ini mengonversi uang kertas ke dalam jumlah emas tertentu, serta menetapkan harga emas dan membeli atau menjual emas sesuai harga tersebut. Harga tetap ini kemudian digunakan untuk menentukan nilai mata uangnya. Misalnya, jika Amerika Serikat menetapkan harga emas sebesar $500 per ons, maka nilai 1 dolar setara dengan 1/500 ons emas.
Artinya, uang kertas yang digunakan sehari-hari dijamin nilainya oleh emas. Sistem ini mulai berkembang antara tahun 1696 hingga 1812 untuk mengatasi masalah yang muncul akibat penggunaan uang kertas.
Sejarah Standar Emas
Pada tahun 1819, Inggris menjadi negara pertama yang secara resmi menerapkan standar emas. Penemuan emas dalam jumlah besar di abad ke-19 ditambah dengan berkembangnya perdagangan global membantu sistem ini bertahan hingga awal abad ke-20 (Lioudis, 2024).
Era yang disebut sebagai "masa kejayaan standar emas klasik" ini kemudian menyebar ke Prancis, Jerman, Swiss, Belgia, dan Amerika Serikat. Setiap negara menetapkan mata uang nasionalnya berdasarkan berat emas tertentu. Sebagai contoh, pada tahun 1834, 1 ons emas di Amerika Serikat bernilai $20,67 dan nilai tukar ini digunakan untuk perdagangan internasional. Negara-negara lain kemudian bergabung dalam sistem ini untuk mendapatkan akses ke pasar perdagangan Barat (Chen, 2022).
Antara tahun 1871 hingga 1914, standar emas mencapai puncaknya. Selama periode ini, kondisi politik yang relatif stabil terjadi di banyak negara, termasuk Australia, Kanada, Selandia Baru, dan India, yang semuanya menerapkan standar emas. Namun, situasi ini berubah drastis dengan pecahnya Perang Dunia pada tahun 1914 (Lioudis, 2024).
Jatuhnya Standar Emas
 Meskipun standar emas berjalan dengan baik di abad ke -19 hingga awal abad ke-20, di mana sistem ini menekan inflasi dan mencegah hiperinflasi karena bank hanya menyetak uang sesuai dengan persediaan emas suatu negara, pada kenyataannya sistem ini runtuh ketika terjadi Perang Dunia I yang disusul dengan Perang Dunia II.
Dengan pecahnya Perang Dunia I, standar emas tidak dapat bertahan baik dalam situasi yang baik maupun buruk, terutama disebabkan oleh meningkatnya utang internasional dan keuangan pemerintah yang memburuk selama perang (Lioudis, 2024).
Akibat perang, cadangan emas di beberapa negara semakin berkurang bahkan habis. Hal ini diperburuk dengan munculnya hiperinflasi, menyebabkan kenaikan harga yang melonjak pada berbagai kebutuhan dan semakin mendevaluasi nilai mata uang. Banyak negara yang membatasi penukaran emas dengan uang kertas, bahkan meninggalkan sistem standar emas. Karena ketidakmampuan sistem ini untuk menangani pembayaran dalam jumlah besar baik surplus maupun defisit, hal ini menyebabkan harga-harga tidak stabil pada masa The Great Depression (1929-1941) (Hokianto, dkk, 2023).
Pada tahun 1931, Jepang dan Inggris memutuskan untuk keluar dari sistem standar emas. Langkah ini diikuti oleh negara-negara Skandinavia serta beberapa anggota Kerajaan Inggris, seperti Kanada. Amerika Serikat menyusul pada tahun 1933, meskipun sempat mengatur ulang harga emas menjadi lebih tinggi, yaitu $35 per ons pada awal tahun 1934. Namun, warga negara Amerika tidak lagi diizinkan untuk memiliki emas secara pribadi. Beberapa tahun kemudian, pada 1936, Prancis, Swiss, Italia, dan Belgia juga keluar dari sistem ini. Meskipun saat itu belum terlihat jelas, langkah-langkah ini sebenarnya menandai berakhirnya standar emas (Meltzer dan Friedman, 2024).
Saat Perang Dunia II hampir berakhir, para pemimpin negara-negara Barat bertemu untuk menyusun Perjanjian Bretton Woods, yang menjadi kerangka kerja bagi pasar mata uang global hingga tahun 1971. Dalam sistem Bretton Woods, semua mata uang nasional diukur berdasarkan nilai terhadap dolar AS, yang kemudian menjadi mata uang cadangan utama dunia.
Namun, ketika dunia mulai bangkit kembali setelah Perang Dunia II, cadangan emas Amerika Serikat terus menurun. Hal ini terjadi karena tingginya permintaan impor dari AS serta aliran dana yang dikirim ke negara-negara yang hancur akibat perang. Kondisi ini diperburuk oleh inflasi tinggi di akhir 1960-an, yang menjadi pukulan terakhir bagi sistem standar emas.
Pada Agustus 1971, Presiden Richard Nixon memutuskan untuk memutuskan hubungan langsung antara dolar AS dan emas. Dengan keputusan ini, pasar mata uang internasional yang sebelumnya bergantung pada dolar AS melalui sistem Bretton Woods, kehilangan keterkaitannya dengan emas. Sejak itu, dolar AS, dan sistem keuangan global yang didukungnya, memasuki era fiat money atau uang yang tidak didukung oleh emas (Lioudis, 2024).
Kelebihan dan Kekurangan Standar Emas
Standar emas memberikan stabilitas nilai mata uang karena jumlah uang yang beredar dibatasi oleh cadangan emas yang memiliki nilai intrinsik. Sistem ini mencegah pemerintah mencetak uang secara berlebihan sehingga menekan inflasi dan melindungi negara dari potensi hiperinflasi akibat kebijakan moneter yang tidak sesuai. Selain itu, standar emas menciptakan nilai tukar internasional yang tetap antar negara dan juga dapat mengurangi ketidakpastian dalam perdagangan internasional.
Namun, standar emas memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah ketergantungan pada ketersediaan emas yang terbatas. Karena pasokan emas tidak selalu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sistem ini dapat membatasi kemampuan negara untuk meningkatkan jumlah uang beredar sesuai kebutuhan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, terutama saat permintaan uang meningkat untuk mendukung investasi dan perdagangan. Selain itu, standar emas membuat ekonomi sangat rentan terhadap fluktuasi harga emas di pasar global. Ketika harga emas naik atau turun secara tajam, stabilitas ekonomi dapat terganggu. Dalam situasi krisis, sistem ini juga membatasi fleksibilitas kebijakan moneter, sehingga pemerintah kesulitan menyesuaikan kebijakan untuk mengatasi resesi atau tekanan ekonomi lainnya. Kekakuan ini menjadi salah satu faktor utama penyebab runtuhnya standar emas, terutama ketika tekanan ekonomi global semakin kompleks seperti saat terjadinya Perang Dunia.
Â
Mengapa Standar Emas Tergantikan oleh Mata Uang Fiat?
Standar emas tergantikan oleh mata uang fiat karena berbagai alasan terutama terkait fleksibilitas dan tuntutan ekonomi modern. Salah satu alasan utama adalah ketersediaan emas yang terbatas, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan ekonomi dunia yang terus meningkat. Jika bergantung pada emas yang jumlahnya terbatas, pemerintah tidak dapat mencetak uang yang diperlukan untuk mendukung investasi, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi, terutama selama krisis atau resesi.
Selain itu, kebijakan moneter menjadi lebih ketat karena standar emas. Pemerintah memerlukan fleksibilitas untuk mengatur jumlah uang beredar dan memulihkan ekonomi dalam situasi seperti depresi ekonomi atau perang. Bank sentral dapat mengubah kebijakan mereka tanpa bergantung pada cadangan emas berkat sistem fiat.
Faktor lainnya adalah bahwa standar emas rentan terhadap perubahan harga di pasar global yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Saat ini, tidak ada negara yang menggunakan standar emas; semua negara telah beralih ke sistem mata uang fiat. Meskipun mata uang fiat tidak memiliki nilai intrinsik dan tidak dapat melindungi negara dari risiko inflasi, sistem ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pemerintah dalam mengatur kebijakan moneter.
Oleh karena itu, standar emas tidak relevan untuk digunakan di masa kini karena terbatasnya ketersediaan emas yang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan ekonomi global yang terus berkembang. Sekalipun ada isu bahwa standar emas mungkin akan kembali digunakan, hal tersebut akan memiliki banyak kekurangan terutama mengakibatkan perekonomian yang tidak stabil. Sehingga kemungkinan standar emas akan digunakan lagi sangatlah kecil, terutama di negara-negara dengan persediaan emas yang sedikit.
Â
Referensi:
Chen, J. (2021, September 9). Gold Standard: Definition, How It Works, and Example. Diakses tanggal 17 Desember, 2024, dari Investopedia: https://www.investopedia.com/terms/g/goldstandard.asp
Friedman, M., & Meltzer, A. H. (2024, November 24). Money. Diakses tanggal 17 Desember, 2024, dari Britannica: https://www.britannica.com/money/money/Standards-of-value
Hokianto, H. F., Velissia, L., Fernando, K., Tiono, L., Herawan, K., & Jaya, W. (2023). Jatuhnya Emas Sebagai Standar Kemakmuran Suatu Negara. Gudang Jurnal Multidisiplin Ilmu, 1(1), 16--22. https://doi.org/10.59435/gjmi.v1i1.4
Lioudis, N. (2024, Oktober 14). What is the Gold Standard? History and Collapse. Diakses tanggal 17 Desember, 2024, dari Investopedia: https://www.investopedia.com/ask/answers/09/gold-standard.asp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H