Mohon tunggu...
Safira Karimah Aulia
Safira Karimah Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Uin Sunan Kalijaga 2022

22107030028

Selanjutnya

Tutup

Parenting

4 Tipe Tipe Toxic Parents yang Mempengaruhi Mental Anak

6 Juni 2023   22:55 Diperbarui: 6 Juni 2023   23:01 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Forward (1989) mengistilahkan orangtua dalam keluarga yang disfungsional dengan "toxic parents" atau orangtua beracun. Mereka dapat berbuat salah dan berbuat tidak menyenangkan terhadap anak. Kebanyakan anak dapat menerima perlakuan yang demikian karena pemahaman yang mereka miliki pada orang tua. Namun, adapun orangtua yang memiliki pola asuh negatif terhadapp anak. Mereka menyakiti, menjahati anak mereka sendiri, sehingga menimbulkan luka fisik maupun psikis yang membuat anak menjadi trauma. Mereka inilah yang disebut toxic parents.

 Tipe Tipe Toxic Parents:

1. Orang tua yang tidak adekuat

 Orang tua yang tidak adekuat adalah orang tua yang tidak melakukan praktik pengasuhan yang seharusnya, dengan tidak memenuhi kewajiban utamanya terhadap anak, seperti memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya, melindungi anak dari bahaya fisik dan emosional, memenuhi kebutuhan anak akan cinta, perhatian dan afeksi, serta mengajarkan anak petunjuk-petunjuk moral dan etika. Orang tua yang tidak adekuat menimbulkan kerusakan justru bukan dari apa yang mereka lakukan, tetapi dari apa yang tidak mereka lakukan pada anak. Orang tua yang tidak adekuat membuat anak bertanggungjawab melakukan kewajiban orang tua mereka dan memenuhi kebutuhan diri mereka. Peran dalam keluarga menjadi menyimpang, membingungkan, dan tertukar. Anak yang menjadi korban menjadi orang tua bagi orang tua mereka, menjadi orang tua bagi diri mereka sendiri, tanpa ada sosok yang dapat diteladani dan dijadikan sumber belajar. Tanpa orang tua yang dapat dijadikan model peran, perkembangan identitas anak pun terganggu. Anak menjadi tulang punggung keluarga sebelum waktunya, tidak mengalami masa kanak-kanak yang semestinya, dan menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya seorang diri tanpa bimbingan sehingga berisiko terjerat cara-cara penyelesaian masalah yang tidak benar, seperti menjadi pengguna narkoba dan bergaul dengan orang-orang yang salah. 

gambar : www.blog.cakap.com 
gambar : www.blog.cakap.com 

2. Orang tua Pengontrol

 Orang tua pengontrol adalah orang tua yang mengatur anak dengan cara atau kondisi yang tidak tepat lagi bagi seorang anak profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 124 Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132 untuk diatur dan menjadi penghambat bagi anak untuk berkembang menjadi dewasa sesuai usianya. Orang tua normal mengontrol anak mereka hanya sampai ketika anak mereka mampu mengontrol diri mereka sendiri. Pada umumnya, transisi ini terjadi ketika anak berusia remaja. Pada keluarga yang bermasalah, perpisahan yang sehat dengan orangtua ini tertunda bertahun-tahun lamanya atau bahkan tidak pernah terjadi. Orang tua yang memandang diri mereka baik-baik saja merasa tidak perlu lagi mengontrol anak mereka. Namun, kondisinya berbeda dengan orangtua yang memendam rasa kecewa pada kehidupan mereka dan merasa takut ditinggalkan. Mereka takut jika anak mereka dewasa dan meninggalkan mereka. Mereka membuat anak mereka menjadi tergantung pada diri mereka dengan menanamkan pola pikir bahwa diri mereka adalah segala-galanya sehingga selalu dibutuhkan atau 3 menampilkan diri seakan-akan mereka orang yang tidak berdaya jika tanpa anak. Mereka ingin diri mereka diprioritaskan dan membuat anak terpaksa mengorbankan kehidupan mereka sendiri untuk memenuhi keinginan mereka. Hasilnya, anak tidak mampu membangun identitas dirinya sendiri, sulit memandang diri mereka sebagai seorang individu, tidak dapat membedakan kebutuhan diri sendiri dari oran gtua mereka, dan merasa tidak berdaya.

3. Orang tua yang alkoholik atau pengguna obat-obatan terlarang

 Keberadaan orang tua yang punya kebiasaan mengkonsumsi minuman keras atau obat-obatan adalah hal yang menimbulkan rasa malu bagi anak atau anggota keluarga lainnya. Anak biasa takut jika aib keluarga ini terekspos kepada orang lain. Untuk mencegah agar orang lain tidak mengetahuinya, anak memilih waspada dengan tidak mau bersosialisasi sehingga ia menjadi pribadi yang terisolasi dan kesepian. Masalah yang muncul adalah orang tua yang alkoholik menjadi tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai orang tua dan melakukan kekerasan dalam keluarganya, terhadap pasangan atau anak-anaknya.

gambar : www.hubpages.com 
gambar : www.hubpages.com 

 4. Orang tua pelaku kekerasan

 a. Kekerasan verbal 

Mereka memiliki kebiasaan berkata-kata kasar atau buruk seperti memanggil anak dengan panggilan yang menghina, berkomentar yang merendahkan, dan memberikan kritik yang meremehkan anak. Kalimat-kalimat tersebut memberikan pesan negatif pada anak tentang diri mereka dan itu berdampak pada kesejahteraan psikologisnya di masa depan. Kebanyakan orangtua pasti pernah mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan pada anak. Namun, jika orang tua dalam berkata-kata seringkali menyerang anak, baik terhadap penampilan, inteligensi, kompetensi, atau nilai dirinya sebagai manusia, orang tua itu digolongkan telah melakukan kekerasan. Orang tua dapat melakukan kekerasan verbal secara terang-terangan, seperti dengan memanggil anak mereka "bodoh", "jelek", atau "tak berguna", atau berkata di hadapan anak bahwa mereka berharap tidak pernah punya anak, tanpa memikirkan perasaan anak mereka. Bagi pelaku yang tidak terang-terangan, mereka dapat menyerang anak dengan sindiran, sarkasme, nama-nama panggilan yang menghina, atau memoles itu semua dengan humor atau lelucon yang menyakitkan. Dampak jangka panjang dari orang tua yang demikian adalah perkembangan self-image anak yang buruk. Anak dapat meyakini dan menginternalisasikan perkataan orangtuanya tentang diri mereka, tidak memiliki kepercayaan diri, dan merasa rendah diri.

 b. Kekerasan Fisik

 Orang tua yang melakukan kekerasan fisik, menyebabkan luka-luka fisik pada tubuh anak, seperti memar, luka bakar, bilur-bilur, sayatan, retak/patah tulang yang disebabkan oleh tendangan, cubitan, gigitan, pukulan 125 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132 tangan, tikaman, ikatan, pukulan dengan alat, dan sebagainya. Namun, kekerasan fisik tidak sebatas itu. Apapun tindakannya, meskipun tidak berbekas, tetapi menyakiti anak, itu adalah kekerasan. Orang tua biasa melakukan kekerasan fisik sebagai cara cepat mendiamkan anak akibat dari ketidaksabaran lantaran kelelahan yang sangat, stres, kecemasan, atau ketidakbahagiaan. Mereka tidak dapat mengontrol impuls/ emosi negatif yang kuat dalam diri mereka dan tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatan mereka. Jika ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, mereka mengamuk dan bertindak brutal. Mereka terbiasa melakukan ini, terutama karena mereka dibesarkan dalam keluarga di mana kekerasan dan kekasaran biasa terjadi. Anak-anak mereka pun pada akhirnya terancam mengidentifikasikan diri dengan mereka karena memandang mereka yang melakukan kekerasan fisik begitu kuat dan kebal. Anak yang menjadi korban selanjutnya berharap memiliki kekuatan serupa agar dapat membela diri dan ketika dewasa, melanjutkan apa yang dilakukan orang tuanya ketika menghadapi stres. 

 c. Kekerasan Seksual 

Terdapat orang tua yang melakukan kekerasan seksual pada anak (seperti melakukan perbuatan inses). Terkadang perbuatan itu mungkin tanpa kekerasan fisik, tetapi dengan tekanan-tekanan psikologis yang kuat. Mereka membombardir anak dengan ancaman-ancaman, seperti mengancam akan membunuh anak agar anak tetap bungkam. Anak umumnya tetap diam lantaran ketakutan yang sangat bahwa mereka akan lebih disakiti, atau kecemasan bahwa keluarganya akan menghadapi masalah, seperti perceraian orang tuanya, serta tekanan dan penghinaan publik. Ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keutuhannya dan ini menimbulkan beban emosi yang luar biasa karena rasa berdosa dan malu, rasa terteror, marah, sedih, bingung, kesepian, dan terisolasi. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat hidup dengan rasa bersalah, depresi, dan keinginan bunuh diri, mengalami masalah seksual, dan menjadi pengguna obat-obatan terlarang.

 Pada pengalihan umur anak menuju dewasa, anak akan melewati proses remaja. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescare yang artinya "tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan". Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas.  

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak kita..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun