Mohon tunggu...
Safira UlyaNasution
Safira UlyaNasution Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

saya hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dibalik Senyum

18 Januari 2025   01:09 Diperbarui: 18 Januari 2025   01:09 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DIBALIK SENYUM

Langit sore di desa kecil ini selalu memberi rasa damai, namun tidak dengan hati Melati. Gadis berusia 24 tahun itu duduk di teras rumah, menatap jalanan sepi dengan pandangan kosong. Ia tersenyum tipis pada setiap tetangga yang melintas, tetapi di dalam dadanya, badai emosi berputar tanpa henti.

Melati dikenal sebagai gadis ceria yang ramah. Namun, hanya dirinya yang tahu bahwa senyum yang ia tunjukkan adalah tameng untuk menutupi rasa sakit yang telah bertahun-tahun ia simpan. Sebagai anak sulung, ia merasa harus selalu kuat untuk adik-adiknya, apalagi sejak sang ibu meninggal dan ayahnya berubah menjadi sosok yang pemarah.

Hari itu, Melati baru saja pulang dari tempat kerjanya di pabrik garmen di pinggiran kota. Ia mendapati rumahnya gelap dan sunyi. Ketika ia membuka pintu, ia melihat ayahnya, Pak Rahmat, duduk di ruang tamu dengan botol minuman di tangannya. Bau alkohol langsung menyengat hidung Melati.

"Kamu telat lagi pulang, Melati! Kerja apaan sih kamu, hah?" bentak Pak Rahmat dengan suara berat.

"Maaf, Pak. Tadi ada lembur," jawab Melati pelan, mencoba menahan tangis.

"Lembur, lembur! Apa itu cuma alasanmu buat keluyuran di luar, hah? Kamu pikir aku nggak tahu?" Ayahnya berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung, namun nada suaranya semakin tinggi.

Melati memilih diam, menunduk, dan melangkah menuju kamarnya. Namun, sebelum ia sempat menutup pintu, ayahnya menarik tangannya. "Kamu pikir bisa kabur gitu aja?"

"Pak, tolong... Saya capek..." Melati memberanikan diri mengangkat wajah, menatap mata ayahnya yang memerah. "Saya cuma mau tidur."

Pak Rahmat terdiam sesaat, sebelum akhirnya melepaskan tangan Melati. "Huh, dasar nggak tahu terima kasih."

Malam itu, Melati duduk di kamarnya dengan air mata yang tak terbendung. Ia merasa hidupnya seperti penjara yang tak pernah bisa ia tinggalkan.

Keesokan harinya, di tempat kerja, Melati bertemu dengan sahabatnya, Rani. Berbeda dengan Melati yang pendiam, Rani selalu ceria dan blak-blakan.

"Lat, kamu kok pucat banget? Ada apa di rumah?" tanya Rani sambil menyodorkan bekal makan siangnya.

Melati menggeleng dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Ran. Aku cuma kurang tidur aja."

"Eh, jangan bohong, deh. Aku tahu kamu itu jago nyimpen rahasia. Tapi aku juga tahu, senyum kamu itu nggak tulus."

Melati terkejut mendengar ucapan Rani. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. "Ran, aku nggak tahu harus cerita ke siapa. Rasanya aku cuma bisa tahan semuanya sendiri."

"Melati, aku sahabat kamu. Apa pun yang kamu hadapi, aku akan bantu," kata Rani sambil memegang tangan Melati.

Akhirnya, Melati menceritakan semuanya: tentang ayahnya yang berubah sejak ibunya meninggal, tentang beban yang ia pikul untuk mengurus adik-adiknya, dan tentang ketakutannya setiap kali melihat ayahnya mabuk.

Seminggu setelah Melati mencurahkan isi hatinya, Rani mendesaknya untuk mencari bantuan. "Kamu nggak bisa terus-terusan hidup kayak gini, Lat. Ayahmu butuh bantuan. Kamu juga," kata Rani tegas.

"Tapi gimana, Ran? Aku nggak punya uang buat bawa Papa ke terapi atau semacamnya. Lagi pula, dia pasti nggak mau," jawab Melati dengan putus asa.

Rani berpikir sejenak. "Kalau gitu, kita mulai dari hal kecil. Aku kenal Bu Tini, konselor di balai desa. Kita coba konsultasi dulu sama dia."

Awalnya, Melati ragu. Namun, ia akhirnya setuju setelah Rani terus meyakinkannya. Mereka bertemu dengan Bu Tini, seorang wanita paruh baya yang ramah dan penuh pengertian. Melati menceritakan semuanya, dan Bu Tini memberikan beberapa saran untuk membangun komunikasi dengan ayahnya.

Malam itu, Melati memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Ia menyiapkan teh manis hangat dan duduk di hadapan Pak Rahmat yang tampak lebih tenang dari biasanya.

"Pak, boleh aku ngomong sebentar?" tanya Melati dengan hati-hati.

"Apa lagi?" jawab Pak Rahmat tanpa menatapnya.

"Pak, aku tahu Papa sedih sejak Mama nggak ada. Aku juga ngerasa kehilangan. Tapi aku kangen sama Papa yang dulu, yang selalu sayang sama kita semua." Suara Melati mulai bergetar. "Aku nggak mau kita terus begini, Pak."

Pak Rahmat akhirnya menoleh, matanya mulai basah. "Melati, Papa minta maaf. Papa nggak pernah tahu kamu ngerasa seberat ini."

Percakapan itu menjadi awal perubahan dalam hubungan mereka. Pak Rahmat setuju untuk mulai mengurangi minum dan mencoba lebih terbuka dengan keluarganya.

Dua bulan berlalu, dan keluarga Melati mulai menemukan kembali kebahagiaan mereka yang hilang. Pak Rahmat perlahan-lahan berhenti minum, dan ia bahkan mulai bekerja lagi sebagai tukang kayu.

Di hari ulang tahun Melati, ia mendapatkan kejutan yang tidak pernah ia bayangkan. Saat ia pulang kerja, ia mendapati rumahnya dihias sederhana dengan balon-balon dan makanan kecil. Pak Rahmat dan adik-adiknya menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.

"Selamat ulang tahun, Kak," kata adiknya sambil menyerahkan kue kecil dengan lilin di atasnya.

Pak Rahmat mendekat dan memeluk Melati erat. "Papa tahu, ini nggak akan menebus semua kesalahan Papa. Tapi Papa mau kamu tahu, Papa bangga sama kamu. Terima kasih karena sudah bertahan."

Melati tidak bisa menahan air matanya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa benar-benar bahagia. Senyum yang ia tunjukkan hari itu bukan lagi sekadar topeng, melainkan cerminan dari kedamaian yang akhirnya ia temukan

Note: Di balik senyum Melati, kini tidak lagi tersembunyi luka atau kesedihan. Ia belajar bahwa keberanian untuk menghadapi masalah dan menerima bantuan dari orang-orang terdekat adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan sejati. Langit sore di desa kecil itu menjadi saksi bagaimana sebuah keluarga yang hampir hancur akhirnya bangkit kembali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun