Keesokan harinya, di tempat kerja, Melati bertemu dengan sahabatnya, Rani. Berbeda dengan Melati yang pendiam, Rani selalu ceria dan blak-blakan.
"Lat, kamu kok pucat banget? Ada apa di rumah?" tanya Rani sambil menyodorkan bekal makan siangnya.
Melati menggeleng dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Ran. Aku cuma kurang tidur aja."
"Eh, jangan bohong, deh. Aku tahu kamu itu jago nyimpen rahasia. Tapi aku juga tahu, senyum kamu itu nggak tulus."
Melati terkejut mendengar ucapan Rani. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. "Ran, aku nggak tahu harus cerita ke siapa. Rasanya aku cuma bisa tahan semuanya sendiri."
"Melati, aku sahabat kamu. Apa pun yang kamu hadapi, aku akan bantu," kata Rani sambil memegang tangan Melati.
Akhirnya, Melati menceritakan semuanya: tentang ayahnya yang berubah sejak ibunya meninggal, tentang beban yang ia pikul untuk mengurus adik-adiknya, dan tentang ketakutannya setiap kali melihat ayahnya mabuk.
Seminggu setelah Melati mencurahkan isi hatinya, Rani mendesaknya untuk mencari bantuan. "Kamu nggak bisa terus-terusan hidup kayak gini, Lat. Ayahmu butuh bantuan. Kamu juga," kata Rani tegas.
"Tapi gimana, Ran? Aku nggak punya uang buat bawa Papa ke terapi atau semacamnya. Lagi pula, dia pasti nggak mau," jawab Melati dengan putus asa.
Rani berpikir sejenak. "Kalau gitu, kita mulai dari hal kecil. Aku kenal Bu Tini, konselor di balai desa. Kita coba konsultasi dulu sama dia."
Awalnya, Melati ragu. Namun, ia akhirnya setuju setelah Rani terus meyakinkannya. Mereka bertemu dengan Bu Tini, seorang wanita paruh baya yang ramah dan penuh pengertian. Melati menceritakan semuanya, dan Bu Tini memberikan beberapa saran untuk membangun komunikasi dengan ayahnya.