Mohon tunggu...
Safa Rahmania Rangkudy
Safa Rahmania Rangkudy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Siber Asia

Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia dengan ketertarikan di bidang Content Creation dan Social Media Marketing. Memiliki pengalaman pembuatan naskah dan konten video lewat penghargaan lomba-lomba tingkat nasional sejak tahun 2020. Terampil dalam mengoperasikan Capcut dan Canva. Mampu bekerja dalam tim dan kemampuan komunikasi yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Regulasi Kebebasan dan Etika Berpendapat di Media Sosial pada Periode Kampanye Pemilu

17 Februari 2024   09:48 Diperbarui: 17 Februari 2024   09:54 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada era digital ini, media sosial menjadi salah satu ruang dalam menyampaikan pendapat dan membagikan informasi kepada khalayak luas. Kebebasan berpendapat di media sosial menjadi hak yang harus dihormati, namun, perlu diatur dengan baik agar tidak melanggar etika dan mengganggu stabilitas sosial. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 28E ayat (3) yang berisikan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan media sosial memberikan platform yang memungkinkan setiap orang untuk mengemukakan pendapat mereka. Namun, dalam salah satu masa seperti periode kampanye politik, kebebasan berpendapat di media sosial seringkali menjadi kontroversial.

Regulasi dan Etika kebebasan berpendapat di media sosial

Regulasi dan etika dalam konteks kebebasan berpendapat di media sosial adalah dua hal yang saling berkaitan dan penting untuk memastikan ruang lingkup digital yang sehat dan bermanfaat bagi semua pengguna. Regulasi bertujuan untuk mengatur perilaku dan konten yang tersebar di platform media sosial, sementara etika mengacu pada prinsip-prinsip moral dan tanggung jawab dalam berpendapat secara daring.

Regulasi yang baik harus seimbang antara melindungi kebebasan berekspresi individu dan melawan penyebaran informasi palsu, disinformasi, atau konten berbahaya lainnya. Ini bisa meliputi kebijakan tentang pelaporan konten yang tidak pantas, pembatasan konten yang melanggar hukum atau kebijakan platform, dan upaya untuk mencegah penggunaan platform untuk tujuan yang merugikan seperti penyebaran kebencian atau pelecehan.

Sementara itu, etika berpendapat di media sosial menekankan pentingnya menghormati pendapat orang lain, memverifikasi informasi sebelum dibagikan, dan menghindari penggunaan bahasa atau tindakan yang dapat merugikan atau merendahkan martabat individu atau kelompok. Hal ini juga mencakup kesadaran akan dampak dari setiap konten yang dibagikan, serta kesiapan untuk bertanggung jawab atas kata-kata dan tindakan dalam lingkungan online.

Beberapa regulasi dan etika kebebasan berpendapat di media sosial yang berlaku di Indonesia:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 1 ayat (1) bahwa kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

  2. UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28 F, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

  3. Pada pasal 45A ayat (1) UU ITE disebutkan, setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

  4. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

  5. Undang-Undang Informasi, Teknologi, dan Elektronik (UU ITE) pada Pasal 4E yang menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.

  6. Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dapat dipidana.

Mengatur regulasi kebebasan berpendapat di media sosial sendiri tidaklah mudah. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengidentifikasi dan menghentikan penyebaran informasi palsu atau hoaks. Di era digital ini, hoaks dapat dengan mudah menyebar dengan cepat dan mencapai audiens yang luas. Selain itu, kebebasan berpendapat di media sosial juga dapat disalahgunakan untuk tujuan politik atau pribadi. Beberapa individu atau kelompok dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita palsu yang merugikan pihak lain sampai potensi menyebabkan perpecahan. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius untuk mengatasi tantangan ini.

Dampak regulasi kebebasan berpendapat di media sosial

Menurut Hilmy dan Najicha dalam jurnalnya menjabarkan tentang apa saja dampak dari adanya regulasi kebebasan berpendapat di media sosial. Salah satunya UU ITE. Mereka menjelaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik memiliki efek positif dan negatif terhadap kemajuan teknologi. Di satu sisi, undang-undang ini meningkatkan lapangan kerja dan perlindungan hukum dalam bertransaksi, mengantisipasi adanya kegiatan atau perbuatan yang merugikan, serta memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menyebarkan pengetahuan teknologi.

Namun, di sisi lain, undang-undang ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi penulis konten online karena peraturan yang membatasi kritik, serta pembatasan dalam konten yang dianggap melanggar standar moral dan budaya, juga membatasi kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat.

Pelanggaran berekspresi di media sosial selama kampanye

Dikutip dari Radio Republik Indonesia, Komisioner Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, terdapat 204 pelanggaran konten internet (siber/medsos) selama masa kampanye Pemilu 2024. Ratusan pelanggaran konten internet itu terjadi hingga 2 Januari 2024.

Menurutnya, ratusan konten internet negatif tersebut, melanggar Pasal 280 Ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum salah satunya menjelaskan larangan menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Kemudian Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjelaskan bahwa menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dapat dipidana. 

Menurut keterangan Lolly, pelanggaran berekspresi (konten internet) di media sosial yang terjadi berupa ujaran kebencian, politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta pelanggaran berita bohong. Dengan kasus ujaran kebencian mencapai dengan 95%. Diikuti politisasi SARA sebanyak 4%. dan terakhir jenis pelanggaran berita bohong sebanyak 1%.

Solusi untuk mengatur kebebasan berpendapat di media sosial

Untuk mengatasi tantangan dalam mengatur kebebasan berpendapat di media sosial, diperlukan adanya solusi yang tepat. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan termasuk peningkatan kesadaran dan literasi digital, yang dapat membantu masyarakat memahami pentingnya berpendapat dengan bertanggung jawab dan menghormati pandangan orang lain. Dengan meningkatkan kesadaran akan etika berpendapat di media sosial, kita dapat mengurangi pelanggaran dan penyebaran informasi palsu.

Selain itu, keseimbangan regulasi juga diperlukan, di mana pemerintah dan platform media sosial bekerja sama untuk mengembangkan aturan yang melindungi kebebasan berpendapat individu atau kelompok sambil juga mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi, mengatur penyebaran informasi palsu atau fitnah yang dapat merusak reputasi seseorang atau kelompok, dan lebih mempromosikan etika dalam berpendapat di media sosial.

Pemberdayaan Pengguna, memberdayakan pengguna dengan alat dan sumber daya yang diperlukan untuk mengelola pengalaman online mereka dengan aman dan bertanggung jawab, termasuk pelaporan konten berbahaya dan pelatihan tentang penggunaan media sosial secara aman.

Regulasi kebebasan berpendapat di media sosial adalah hal yang perlu dipahami ditambah pada periode kampanye yang memiliki potensi penyebaran berita bohong atau penghinaan individu atau kelompok. Dalam mengatur kebebasan berpendapat di media sosial, penting juga untuk memperhatikan etika dalam menyampaikan pendapat. Dengan begitu kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan sehat di media sosial.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun