Tingginya sorotan publik terhadap beberapa kasus yang melibatkan pejabat negara dengan kemewahan yang tidak wajar belakangan ini membuat merosotnya kepercayaan terhadap penyelenggara negara. Publik menjadi kecewa karena penyelenggara negara yang terlibat justru banyak  dari kepala daerah dan pejabat pajak negara.Â
Beberapa yang bisa disebut yaitu Kasus Korupsi Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah pada Februari 2021, Kasus Korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe pada September 2022 dan kasus Pejabat Pajak Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo yang sedang berlangsung sekarang.
Langkah pemerintah mengajukan RUU Perampasan aset dalam menanggulangi kerugian negara saat ini sedang bergulir. Pada saat ini RUU tersebut sedang masuk kedalam tahap Pembahasan Tingkat II di DPR-RI. RUU Perampasan aset adalah draft regulasi yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM, yang nantinya setelah dibahas dengan Komisi III DPR-RI akan disahkan sebagai Undang-undang (UU). Â Â
Penyusunan RUU ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 2003 yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Rumusannya sendiri mengadopsi dari ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.
RUU Perampasan Aset memiliki tujuan untuk menyita dan merampas aset pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah, serta terbukti mengakibatkan kerugian negara secara nyata. Aset yang disita dan dirampas bukan saja aset hasil korupsi tapi semua aset terkait tindak pidana dengan nilai diatas Rp. 100 juta dan ancaman pidana diatas 4 tahun.
Jika RUU ini disahkan menjadi Undang-undang, maka Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memiliki payung hukum dalam bertindak  penelusuran aset, terutama aset yang tidak seimbang dengan penghasilan, memiliki dasar ketentuan pemblokiran dan penyitaan perampasan aset, tata cara pemanggilan, wewenang mengadili, ketentuan acara pemeriksaan di sidang pengadilan, pembuktian dan putusan pengadilan, tata cara pengelolaan aset, perlindungan terhadap pihak ketiga bahkan juga kerjasama internasional.
Mengapa begitu penting untuk menyita dan merampas aset dari para Pelaku ?
Dikutip dari laman web kpk.go.id kerugian negara akibat tindak pidana korupsi membawa dampak berupa melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatkan kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara dapat dilihat dari mahalnya harga jasa dan buruknya pelayanan publik, terbatasnya fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan.Â
Menurunnya investasi terjadi akibat investor enggan masuk ke Indonesia, disebabkan biaya transaksi ekonomi yang tinggi karena merajalelanya suap dan pungutan liar (pungli) dan sistem kelembagaan yang buruk. Laporan Transparency International pada tahun 2022 mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia jatuh dari peringkat ke-96 ke peringkat ke-110 secara global.Â
Peringkat ini membuat para investor memandang Indonesia memiliki masalah korupsi yang serius dan tidak menguntungkan untuk menjadi tempat berinvestasi. Selanjutnya kemiskinan yang meningkat dan ketimpangan pendapatan terjadi akibat diambilnya sumber daya publik ke tangan para pelaku korupsi sehingga uang pembelanjaan pemerintah menjadi menyusut. Â
Akibatnya rakyat miskin yang menjadi target pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak mendapatkan kehidupan layak yang merupakan kewajiban negara seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, diantaranya berupa pembangunan fasilitas pendidikan dan fasilitas Kesehatan yang baik, layak dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Lalu berapa jumlah kerugian Negara akibat tindak pidana ini ?
Tercatat kasus-kasus korupsi yang telah berhasil diungkap oleh KPK beberapa diantaranya memiliki nilai yang luar biasa, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan nilai kerugian negara Rp. 3,7 triliun, kasus korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dengan nilai kerugian negara Rp. 10 triliun, kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan nilai kerugian negara Rp. 13,7 triliun, dan kasus pengadaan E-KTP dengan nilai Rp. 2,3 triliun.
Diharapkan pengesahan RUU Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana ini menjadi langkah awal terciptanya sistem pemerintahan yang bersih dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel, serta dapat diterapkan secara serius dan konsisten. Komitmen Negara dalam hal ini pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diharapkan dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar publik dapat benar-benar dapat Kembali menaruh kepercayaan kepada pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Â
DAFTAR PUSTAKA:
Adminuniv. (2022, Oktober 26). Kasus Korupsi Terbesar Di Indonesia. Retrieved from Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara: https://fahum.umsu.ac.id/kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia/
Annur, C. M., & Santika, E. F. (2023, Februari 1). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Memburuk pada 2022. Retrieved from Databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/01/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-memburuk-pada-2022
DPR. (2022). RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Retrieved from Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/66
DPR. (n.d.). RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Retrieved from Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/72
KPK. (n.d.). Kerugian Negara Akibat Korupsi di Indonesia. Retrieved from Pusat Edukasi Anti Korupsi: https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/infografis/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H