Akhir tahun 1979, muncullah sebuah kasus. Kasus yang membuat seluruh divisi penyelidik di kepolisian kota Boyolali bergidik ngeri. Ngeri bukan karena pembantaian maupun darah, melainkan karena kejanggalan yang muncul dari keseluruhan jalannya kasus.
Kala itu jam hampir menunjukkan pukul sebelas siang, tanda isoma akan tiba. Kasmir dan satu orang temannya sudah akan beranjak dari kursi resepsionis polres untuk berganti shift. Sebelum sempat berdiri sepenuhnya, seorang pria jangkung berbaju lusuh menghampiri. Ia memegang sebilah pisau penuh darah di tangan kirinya. Sedangkan di tangan kanan, ia menggenggam jantung manusia yang sudah tak berdetak lagi.
Kasmir pun menyuruh pria itu untuk tenang sebelum polisi lain bertindak sigap menangkapnya. Kasmirlah yang pertama melihat pria itu, jadi, dirinya juga yang ditugaskan untuk menginterogasi. Pisau, jantung, kaos, dan juga sampel darah telah diamankan secara terpisah sebagai barang bukti.
Si pria tua yang kini telah diberi kaos pengganti pun bercerita di ruang kedap suara berukuran hanya empat kali empat meter. Diketahui namanya Sukimin. Ia dengan suara gemetaran dan mata terbelalak seolah ketakutan, mengatakan bahwa dirinya telah membunuh seorang perempuan bernama Bella Hermann. Seorang anak perempuan keturunan Belanda berusia dua belas tahun. Setelah diambil jantungnya untuk dijadikan bukti, ia langsung membuang jasad itu ke dalam hutan di dekat rumahnya.
Mereka masih belum bisa mendapatkan motif pelaku karena dia terlihat begitu ketakutan dan tidak berani bercerita. Detail informasi pun tak bisa didapatkan. Ia menolak berbicara bagaimana pun metode yang telah dilakukan kepadanya.
Sumber foto illustrasi: The Gruesome Story Of The Black Dahlia Murder — And Why The Case Remains Unsolved By Katie Serena
Pukul satu siang, setelah sholat Dzuhur, Kasmir langsung memimpin penyelidikan, membawa regu penyelamat untuk mencari jasad korban. Warga yang penasaran pun berkerumun di pinggir hutan untuk melihat. Bahkan ada satu atau dua yang menerobos masuk ke hutan berlagak ingin membantu.
Berjam-jam mereka melakukan penyisiran, hasilnya nihil. Polisi juga mencoba menanyai warga sekitar, bahkan menggeledah rumah-rumah mereka, tetapi tak terlihat petunjuk barang sejengkal pun. Mereka menghentikan penyelidikan sementara untuk melakukan diskusi. Sedangkan Sukimin, dia ditahan sementara di kerangkeng kepolisian. Sudah cukup aneh seorang kriminal menyerahkan diri, ditambah lagi jasad korban yang menghilang.
Satu pihak menyarankan untuk menyebarkan info orang hilang, dan satu lagi menyarankan tes DNA yang belum lama ini diperkenalkan. Namun, di satu sisi, ada pula yang menyarankan keduanya agar proses penyelidikan dapat lebih cepat selesai, hanya saja, biaya akan membengkak. Setelah beberapa saat melakukan perdebatan panas, didapatkan satu solusi, yaitu dengan mengorbankan biaya demi menguak kebenaran. Beruntung, sampel darah dan jantung yang mereka ambil ditempatkan di sebuah wadah khusus sehingga tidak membusuk.
Malam harinya, ketika orang-orang sudah pulang digantikan anggota shift malam, mereka dikejutkan dengan penemuan yang sangat sulit diduga. Sukimin mati di sel tahanan sementaranya. Ia tak bernafas, berbaring di lantai dengan wajah penuh senyum, ekspresi yang tak pernah diperlihatkannya selama interogasi. Polisi menyerahkan jasad pelaku ke pihak forensik, namun, tidak ada detemukan tanda-tanda kekerasan, maupun pembunuhan yang disengaja. Penyelidikan pun semakin mundur jauh.
Dari golongan darah pelaku, dapat dipastikan bahwa darah yang ada di tangan kala itu bukanlah miliknya. Sekarang, tinggal mencari kecocokannya saja. Namun, karena kepolisian begitu kekurangan petunjuk, mereka bingung harus mulai dari mana. Lalu diputuskan untuk mengetes seluruh kepala keluarga di kota Boyolali. Terutama mereka yang memiliki garis keturunan Belanda. Kejanggalan pun mulai terlihat. Selama seminggu, belum ada sama sekali laporan orang hilang maupun kecocokan DNA.
Demi harapan dapat menghemat biaya, kepolisian meminta presiden untuk bekerja sama dengan Belanda, dengan dugaan sementara keluarga Bella adalah keturunan Belanda asli dan telah kembali ke sana ketika dia tertinggal dan terbunuh. Dua bulan berlalu, tak ada hasil memuaskan, dan kabar ini menyebar luas. Beberapa perusahaan besar dan organisasi perlindungan anak lalu menggelontorkan sejumlah biaya untuk kepolisian bisa terus melanjutkan investigasi.
Seluruh penduduk Boyolali tak memiliki keterkaitan apa pun dengan Bella. Kelompok pecinta alam seluruh kota Boyolali pun ikut melakukan penyisiran besar-besaran ke hutan-hutan jika saja jasad Bella dipindahkan oleh seseorang maupun diseret anjing liar. Kelompok dari luar juga ikut andil dalam menyisir di kota mereka masing-masing.
Masih tak ada kabar mengenai orang hilang dari pihak Belanda. Pemerintah Belanda telah melakukan pengecekan daftar nama penduduk yang terdaftar, namun tak ditemukan nama Bella Hermann. Seluruh negara tetangga seperti Jerman dan Perancis juga melakukan pengecekan nama, namun hasilnya tetap nihil.
Sampel darah dan jantung bisa dipastikan valid, bukan buatan. Tapi, kenapa penyelidikan bisa seaneh ini? Itu yang dipertanyakan seluruh dunia. Orang-orang pun menganggap bahwa pemerintah negara-negara terkait telah menyembunyikan sesuatu, padahal kenyataannya, mereka benar-benar melakukan investigasi mendalam sampai memakan biaya yang fantastis.
Selama satu tahun penuh, tes DNA besar-besaran tak sedikit pun membuahkan hasil. Para aktivis seluruh dunia telah menyuarakan orasi mengenai perlindungan perempuan dan anak. Kasus ini juga sudah menjadi headline hangat di berbagai negara, bahkan, sampai terjadi kerusuhan oleh beberapa kelompok orang yang percaya semua hal ini adalah kebohongan oleh pemerintah. Percaya bahwa seluruh tes DNA hanyalah keuntungan bagi pemerintah untuk memojokkan pihak mana pun yang tak mereka sukai di waktu mendatang.
Nama Bella Hermann masih menjadi sosok yang misterius. Siapakah sebenarnya anak ini? Kenapa dia bisa terbunuh? Apa motif pelaku yang sebenarnya? Dunia diliputi tanda tanya.
Sampai pada akhir 1992, sebuah surat tiba dari kantor pos kepada polres kota Boyolali. Surat itu tak bernama, berisi kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Semasa kecil, aku pernah bermimpi menjadi orang besar. Presiden, ilmuwan, apa saja. Melihat dunia dari ujung dunia adalah sesuatu yang sangat kudambakan sedari dulu. Menjadi orang yang disanjung, dan dikenal. Namun, impianku harus pupus ketika aku gagal masuk ke universitas. Stress yang semakin membunuhku tiap detiknya.”
“Pada saat itu, aku semakin paham jika seluruh impianku hanyalah angan yang tak mungkin terwujud. Aku bodoh dalam menerima teori, sedikit payah dalam olahraga, seolah sikap enerjikku tak ada gunanya dan hanya pajangan saja. Demi menyambung hidup, aku pun masuk ke kepolisian kota Boyolali.”
“Sejak saat itu, aku mulai melihat banyak orang-orang hebat yang melakukan kriminal dan sempat lolos beberapa kali, meski akhirnya tewas oleh tembakan ‘operasi pengamanan terukur.’ Pemandangan itu mulai menjadi sebuah kebiasaan, dan pikiranku pun semakin berkembang. Mereka hanya kriminal amatiran yang bertindak hanya sesuai id tanpa terproses oleh ego maupun super-ego. Banyak celah yang sama sekali tak dipikirkan sehingga mudah saja tertangkap.”
“Aku melakukan ini, telah kupikirkan selama dua tahun. Dan lihat aku sekarang! Aku tak pernah terdeteksi barang sebiji pasir pun. Selama belasan tahun aku akhirnya bisa melihat orang-orang merengkak dan menari di atas telapak tanganku. Semua begitu sempurna.”
“Surat ini akan sampai saat aku sudah mati. Dan dengan surat ini pula, aku menyatakan kemenanganku.”
Pihak kepolisian langsung sadar dengan gaya tulisan itu. Lalu dengan regu anti teroris, mereka menyerbu rumah sakit, kamar 012. Namun, saat akan mendatangi kamar tersebut, mereka melihat jasad Kasmir telah ditutupi kain putih, keluar dari kamar 012 dibawa menuju ruang jenazah.
Sukimin tak pernah berbohong telah membunuh anak keturunan Belanda. Kasmir adalah keturunan Belanda meski namanya terlihat menipu sebagai orang Jawa. Sikapnya yang sedikit tertutup cukup untuk menyembunyikan anaknya dari publik. Motif pelaku tak pernah terungkap karena Kasmir sendiri berusaha menutupinya masih dengan gerak-gerik natural. Pelaku juga tak ia ambil secara sembarangan. Selama setahun penuh, ia menyekap seorang gelandangan tanpa keluarga dan mencuci otaknya lalu membuatnya memainkan peran di panggung teater milik Kasmir. Diawali dengan memberinya gubuk tertinggal dan nama Sukimin.
Kasmir sendiri tak pernah ikut ke dalam tes DNA termasuk keturunannya karena dia dari kepolisian dan dianggap orang Jawa. Sebuah kesalahan fatal yang akhirnya dimanfaatkan demi kejahatan. Kecocokan tak pernah keluar dari angka satu persen.
Setelah deduksi kejahatan Kasmir diungkapkan oleh pihak kepolisian, mereka merasa lega termasuk media dan masyarakat. Tetapi kejanggalan datang lagi ketika mereka akan mengumpulkan arsip data. Jasad Bella Hermann masih belum ditemukan, dan Kasmir sebagai otak pun ternyata tak pernah memiliki istri maupun anak.
Pada akhirnya, kasus ini ditutup secara sepihak oleh kepolisian. Terlalu banyak kejanggalan yang mustahil mereka jawab. Siapa sebenarnya Bella Hermann yang terbunuh itu? Apakah dunia masih berada di tangan Kasmir? Ataukah… ada orang lain di balik kasus ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI