Ala lha ..... melasi pisan ya? Padahal ibu tiri lebih kejam  dari ibu kota. Waaah .. waah ... apa ia sekolah begitu kejam pada teater? Di sekolah mana itu teater menjadi anak tiri? Yang saya maksud, teater sebagai salah satu mata pelajaran Seni Budaya, layaknya anak tiri yang tidak diperhatikan oleh sekolah-sekolah menengah di Banyumas.
Woouw ... nglombo! Mbok dhong, tanggal 10-11 Desember 2018 SMAN 2 Purwokerto telah sukses menyelenggarakan Jambore Teater Pelajar Banyumas yang diikuti oleh 14 grup teater SMA/SMK se-Kabupaten Banyumas. Teater Suket SMAN 1 Purwokerto sebagai juara 1, juara 2 dan 3 masing-masing Teater Boled SMAN Ajibarang dan Teater Astmas SMAN Sumpiuh.
Jambore Teater Pelajar ini digelar sejak tahun 2007 lalu membentuk Jaringan Teater Pelajar Banyumas yang meneruskan tradisi jambore teater ini sampai tahun 2018 dengan cara arisan. Siapa yang jadi juara nanti harus jadi tuan rumah penyelenggara. Wah, keren. .. mbok? Masa, teater menjadi anak tiri di sekolah?
Teater sebagai salah satu bidang pada mata pelajaran seni budaya selain seni rupa, tari dan musik sudah ada sejak kurikulum 75 di SMA dan ada di SMP sejak kurikulum 84. Namun teater hanya  diajarkan pada program ekstrakurikuler. Haknya untuk masuk pada program intrakurikuler direnggut, sekolah hanya memanjakan seni rupa, tari dan musik lengkap dengan sarana dan prasarananya,  intra dan ekstrakurikuler.
Bahkan. Kiye nyong  nostalgia, ngalami dhewek. Pada tahun 1986 ketika saya menyelenggarakan Jambore Teater di Gedung Soemardjito Unsoed tak ada grup teater sekolah yang mengikutinya. Ketika saya masuk ke sekolah-sekolah untuk mengedarkan formulir pendaftaran, banyak sekolah yang menolak. Ora olih neng kepala sekolah. Katanya, teater mengajarkan siswa jadi pembrontak. Teater menjadikan siswa sulit dikendalikan, wani tur dhemen protes.
Lha ...biyung ... biyung ... jaman semono, teater dicurigai sebagai "aliran sesat" menjadikan siswa kewanen. Makanya peserta Jambore Teater Banyumas 1986 yang memperebutkan thropi dari Direktur Kesenian Depdikbud FX Sutopo diraih oleh Teater Tubuh pimpinan Bambang Wadoro yang mengalahkan Teater Gethek Ajibarang Edi Romadhon, Teater Mula Purbalingga Haryono Sukiran dan Teater Embuh Hari Pranowo/Sugiharto. Juri saat itu antara lain Bambang Sadono Suara Merdeka dan Kinkin Sabakinkin Kedaulatan rakyat.
Baru setelah saya menyelenggarakan Jambore Teater Pelajar Banyumas di Auditorium RRI Purwokerto, Desember 2007 dan terbentuknya Jaringan Teater Pelajar Banyumas, lahirlah grup-grup teater pelajar di Banyumas melalaui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Hingga tahun 2018, Jambore teater Pelajar Banyumas masih berlangsung.
 Rintangan teater masuk intrakurikuler,
Akibat teater tidak masuk dalam program intrakurikuler, jadilah teater sebagai anak tiri. Rintanganya antara lain, tiadanya guru teater, ketidaktahuan guru bahasa Indonesia (mata pelajaran yang paling dekat karena ada drama) , ketidakmauan tahu kepala sekolah atau waka kurikulum bahwa teater adalah program intrakurikuler.
Sekolah berlaku praktis saja. Adanya hanya guru seni lukis  atau seni tari atau seni musik saja maka yang diajarkan sepanjang tahun dari kelas VII sampai XII ya seni itu-itu saja. Hal ini tentu saja merugikan para siswa.Â
Siswa jadi bekah-bekuh dipaksakan mengikuti pelajaran seni yang tidak sesuai dengan bakat atau minatnya. Bila ada sekolah yang memiliki cukup guru seni budaya, teater tetap jadi anak tiri karena cukup dimasukkan pada program ekstrakurikuler.
Begitulah terabaikannya teater sebagai salah satu bidang mata pelajaran seni budaya, layaknya anak tiri, tidak seperti saudaranya, seni rupa, tari dan musik dalam penangannya.Â
Namun, ada pengalaman saya ketika menjadi guru bahasa Indonesia. Saya berjuang untuk memasukkan teater ke dalam program intrakurikuler di sekolah tempat saya mengajar.
Dulu, di sekolah tempat saya mengajar, mengajarkan empat bidang mata pelajaran seni budaya. Pada awal tahun, para siswa dibagikan formulir untuk memilih bidang apa mata pelajaran seni budaya yang mau diikuti. Maka pada jadwal mata pelajaran seni budaya, para siswa dipecah untuk masuk ke ruang bidang mata pelajaran seni budaya apa yang dikuti. Seni musik masuk studio, seni tari ke aula, teater ke auditorium dan seni rupa ke ruang-ruang terbuka di sekolah.
Pernah saya mengikuti pelatihan teater di P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kesenian) di Klidon, Kaliurang Yogyakarta. Setelah selesai  mereka para peserta pelatihan diminta untuk memraktikkannya di sekolah masing-masing.Â
Empat bidang kesenian pada akhir tahun pelajaran digelar dalam satu kemasan pentas teater, lalu direkam dan dikirimkan ke P4TK. Bila masuk dalam nominasi penilaian, sekolah diundang untuk tampil pada Festival Seni Budaya yang digelar di sana setiap dua tahunan  dengan fasilitas tranpor, akomodasi, gratis serta hadiah yang wah.
Stop .. stop .. wis .. wis .. kedawan ngguli nglantur.  Kembali ke anak tiri teater.  Banyak pakar pendidikan ataupun tokoh seni yang mengemukakan akan  peran fungsi dan manfaat pengajaran teater  bagi peserta didik.Â
Oleh karena itu para pemangku kepentingan di bidang pendidikan di Banyumas perlu menanting teater ini sejajar dengan saudara sekandungmya  dalam penangannya di sekolah agar tidak lagi menjadi anak tiri.
Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas perlu ngopeni dan nguri-uri Jambore Teater Pelajar Banyumas ini. Jambore ini bisa dijadikan alat seleksi untuk FLS2N tangkai teater/monolog. Para kepala sekolah/waka kurikulum perlu memasukan teater dalam program intrakurikuler. Bila tak ada guru yang bisa mengampu bisa merekrut praktisi teater dari luar, toh sekarang ada GSMS (Gerakan Seniman Masuk Sekolah) Jadikan TBB Gedung Teater Tertutup Soetedja sebagai ajang pelaksanaan Jambore Teater Pelajar Banyumas.
Nggih ... nggih ... mpun rampung. Semoga semua ngayawara saya ini mendapat perhatian pihak-pihak terkait. Maturmbahnuwuuuun ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H