Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ode buat Guru: Derita Guru Non-ASN di Sekolah Swasta

13 Februari 2018   15:41 Diperbarui: 13 Februari 2018   16:05 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Derita guru tak kunjung padam, terbaru tewasnya Ahmad Budi Cahyono guru seni budaya SMAN 1 Torjun Kabupaten Sampang Madura Jawa Timur karena dianiaya muridnya. Pada tahun 2014 di Sragen Jawa Tengah, seorang guru di SMPN 1 Gondang, guru seni budaya, tewas karena teraniaya oleh Kurikulum 2013. Saking rumitnya sistem penilaian guru dalam proses KBM sang guru  pembangun insan cendekia itu pusing tujuh kelilling lalu minum obat pusing berakhir tewas.

Kisah tragis guru yang teraniaya bukan kali ini saja, walau tak sampai di ujung maut, guru yang dipukul orang tua murid kerap terjadi. Belum lagi guru yang diseret ke meja hijau karena dianggap telah melakukan kekerasan terhadap muridnya. Banyak juga guru yang mendapat ancaman, kritikan malah bisa berubah teror dari orang tua murid karena tidak puas dengan sikap dan cara mengajarnya. Hal ini bisa berujung PHK atau tidak diberi jam mengajar. Tekanan semacam ini dialami oleh guru swasta yang mengajar di sekolah swasta. 

Nah, di tulisan ini saya ingin berbagi kisah sedih bagi guru swasta dibanding guru PNS. Sebagai seorang pensiunan guru swasta, ceileee, guru swasta juga punya pensiun? Yah, sekadarnya, untuk bayar tagihan ledeng, listrik dan internet saja tidak cukup, itulah salah satu derita guru swasta walau sudah pensiun. 

Di sekolah swasta lain, bahkan yayasannya tidak memiliki program pensiun bagi gurunya. Banyak yayasan yang memesiunkan mantan gurunya yang telah mengajar lebih dari 30 tahun paling sekitar tiga ratus ribu sampai lima ratus ribu rupiah saja. Bandingkan dengan pensiunan guru ASN.

Derita semasih masif antara lain, akses untuk bisa memperoleh peningkatan keprofesionalan guru terbatas dan sangat tidak memadai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005  tentang guru dan dosen, menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Para guru harus memiliki empat kompentensi agar diakui sebagai guru yang profesional dan berhak mendapat tunjangan profesi. Sebelum tahun 2005 tidak ada tunjangan ini, jadi guru "zaman old"  lebih menderita.

Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dengan demikian kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mendidik dan  mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

Ada  empat kompentensi guru, yaitu  : 1. Kompetensi pedagogik,  kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengembangan peserta didik untuk ngaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi kepribadian, : kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,  dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

3. Kompetensi profesional,kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. 4. Kompetensi sosial,  kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Jaman dahulu ketika saya masih mengajar sulit untuk mendapatkan peningkatan kualifikasi keprofesionalan saya sebagai guru swasta. Alokasi jatah pelatihan untuk guru swasta sangat terbatas, baik itu yang diselenggarakan oleh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) ataupun dari Dinas Pendidikan Kabupaten maupun provinsi. Guru swasta jarang diikutkan dalam pelatihan, lokakarya, seminar yang resmi diselenggarakan oleh dinas terkait.

Sebelum  tunjangan sertifikasi guru diadakan pemerintah daerah setempat menganggarkan kesejahteraan guru melalui APBD, guru swasta di sekolah swasta harus berdemo dulu menuntut tunjangan fungsional yang tak seberapa itu. Dan harap dimaklumi, honor mereka sebagai guru di sekolah swasta sungguh memprihatinkan yang tidak memungkinkan untuk berlangganan koran apalagi pasang internet untuk meningkatkan dirinya.

Pada kompentensi sosial guru swasta di sekolah swasta pun terjepit tragis. Tekanan dari yayasan harus ini, harus itu, ijasah ditahan, tidak boleh mendaftar PNS,  pengurangan jam mengajar, tidak diberi jam mengajar sampai di-PHK. Tekanan berikut berasal dari orang tua  yang merasa sudah membayar mahal, memberikan sumbangan, bisa menekan  guru, mengintervensi yayasan agar guru yang tidak disukai karena keras  terhadap anaknya itu untuk di-PHK..

Untuk cari selamat, ya mengajar saja seadanya. Pagi datang siang pulang, tak perlu open terhadap anak didiknya. Mau nakal ke, mau kurang sopanlah, mau kurang ajarlah, biarkan saja, yang penting mentranfer ilmu, sudah. Perkara karakter, budi pekerti, berkompromilah dengan situasi dan keadaan. Susah dan terjepit menyangkut nasib. Jadi tak perlu menjadi guru seperti pada  novelnya NH. Dhini "Pertemuan Dua Hati"

Kalau berusaha ideal menjadi guru profesional, guru swasta di sekolah swasta, cekak modalnya, tipis nyalinya, karena ini menyangkut dapur ngebul, walau tak seberapa, di antara kerja serabutan yang lain untuk menutupinya, seperti memberii les, ngajar di beberapa sekolah,.jualan di kantin atau  terpaksa ngojek.

Tak punya emosi menghadapi kelakuan murid-muridnya baik di kelas maupun di luar kelas. Sebab ditengah kegeraman menghadapi karakter muridnya, kegalauan menerpa. Tindakan membina dan meluruskan bisa berakibat digruduk orang tua wali murid, digampar, di-PHK dan lebih apes  adalah dilaporkan ke aparat polisi dengan resiko masuk bui.

Demikian, itu kisah yang saya alami jadi guru swasta di sekolah swasta dan dari curhatan teman guru yang mengajar di sekolah swasta juga. Selain kisah sedih guru swasta banyak pula kisah sedih sekolah swasta gurem. Fasilitas sekolah yang memilukan, minimnya jumlah murid dan karakter muridnya yang "aduhai" karena menampung siswa buangan, keadaanya mati tak mau, hidup pun kembang kempis nlangsani.

Jadi bila tragedi Pak Guru Ahmad Budi Cahyono di SMAN 1 Torjun Sampang  nyata terjadi, sangatlah memilukan dunia pendidikan kita. Mengapa? Karena pada umumnya sekolah negeri, apalagi SMAN 1 fasilitasnya sangat memadai, seleksi masuk siswa ketat dan kompetitif. Umumnya yang diterima siswa cerdas, pandai dan orang tuanya berada sehingga memudahkan guru untuk mendidik dan mengajar. Lha, sekolah swasta? Bisa dibayangkan nasib gurunya kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun