Mohon tunggu...
Saepulloh
Saepulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku adalah naturlijk person yang lahir sehari sebelum hari guru internasional, setahun setelah tragedi semanggi 2.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pernikahan Beda Agama di Indonesia Ditinjau dari Perspektik Hak Asasi Manusia

12 April 2023   05:49 Diperbarui: 12 April 2023   06:16 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak Asasi Manusia bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam keadaan individu melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman kesadaran saja melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak asasi manusia itu sendiri.  Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan prilaku
dan kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam
masyarakat tersebut.

Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai- nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk Selain itu pengakuan atas Hak Asasi Manusia sebagai nilai yang universal dan mendasar juga memberikan konsekuensi bagi Indonesia untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan Hak Asasi Manusia ke
dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai Hak Asasi Manusia itu memang menjadi prinsip dasar setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dari Hak Asasi Manusia itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.

Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah
kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan kehendak bebas adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari
siapapun terhadap calon suami dan/atau calon istri. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia hanya dipandang dari aspek keperdataan saja. Disini tidak ada unsur agama yang
dikedepankan dalam sebuah perkawinan.

Sementara perkawinan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan, yang sampai saat ini masih berlaku, memiliki konsepsi yang berbeda bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing
pihak dan berkewajiban untuk mencatatkan perkawinannya tersebut di kantor pencatat perkawinan. Artinya, antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia.Sementara dalam Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin Undang-Undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
tidak boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarkat saat ini. Penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan beda agama merupakan sebuah tindakan diskriminatif berdasarkan agama.

penulis menarik kesimpulan bawa banyaknya pelarangan pernikahan beda agama di Indonesia jika dilihat dari persepektif Hak Asasi Manusia secara jelas adalah bentuk diskriminatif, hal ini disebabkan bahwa hak untuk memilih pasangan hidup, hak untuk memilih agama adalah hak sipil yang dimiliki oleh setiap negara, dalam hal ini adalah pemerintah seharusnya melindungi hak sipil dari setiap warga negaranya dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pernikahan beda agama.

Menurut penulis pelaksanaan perkawinan beda agama di indoensia memang tidak melarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan, namun hal tersebut berimplikasi pada pandangan masyarakat dan tafsirannya pada pelarangan pernikahan beda agama. Hal tersebut harusnlah lebih ditingkatkan pada tingkat interpretasi hukum dan prosedur teknis di kalangan para pencatatat perkawinan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun