Indonesia adalah sebuah negara plural yang terdiri dari bermacam-macam suku,ras, agama, dan lainnya, dalam kultur masyarakat Indonesia mencari pasangan ditempuh dengan jalur pernikahan. Dengan keberagaman suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia, pernikahan yang berbeda suku, ras ataupun agama sering terjadi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak-hak setiap warga negara untuk melangsungkan kehidupannya melalui perkawinan, hal ini disebutkan di dalam pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Pasal ini sangat jelas menyebutkan bahwa setiap orang, berarti dalam hal ini siapa saja tanpa perlu memandang perbedaan suku, ras, agama, adat ataupun budaya.
Pada tahun 1974 pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengeluarkan suatu produk hukum yakni Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar hukum bagi setiap warga negara atau masyarakat yang ingin melaksanakan perkawinan, di dalam Undang-undang ini disebutkan semua syarat-syarat yang harus dilalui oleh setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan, namun di dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa dalam pasal 2 ayat (1) "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya itu",dengan adanya pasal ini tentunya dapat menghalangi dua orang yang berbeda keyakinan agama yang akan melangsungkan pernikahan.
Terbit dan hadirnya Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkanketurunan melalui perkawinan yang sah dan menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan calon isteri, termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing dan bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat semenjak dilahirkan yang merupakan pemberian tuhan yang maha kuasa, yang dimana masyarakat dan negara wajib menghargai dan mengakuinya. Perkawinan bed agama diakui dalam pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal yang menyatakan "Laki-laki yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian". Dengan kata lain, ketentuan yang ada dalam deklarasi universal ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga walaupun pasangan calon suami atau calon istri berbeda agama.
Perbedaan agama dalam suatu pernikahan dianggap lumrah, jika mengacu pada deklarasi universal tersebut, namun jika di Indonesia apabila ada yang melangsungkan pernikahan beda agama, hal itu tentu saja akan menimbulkan permasalahan karena dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sudah disebutkan jelas. Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) tersebut, bisa diartikan pernikahan dapat dikatakan sah apabila pasangan yang hendak menikah adalah seagama atau satu kepercayaan.
Bagaimana Pandangan Hak Asasi Manusia Terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia ?
Perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas
kemajemukan tersebut. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika
pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna.
Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Jika di Indonesia terjadi penolakan
perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif Hak asasi Manusia, hal tersebut menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh Hak Asasi Manusia terutama hak
beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang. Alasannya adalah bahwa Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan instrumen hukum yang mengatur Hak Asasi Manusia secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa " Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu".
Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa "Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa "Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan,
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya".
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi".
Pasal 8 juga menyatakan bahwa, "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah". Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan
beragama dan kebebasan untuk berkeluarga di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.
Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah
tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan. Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang- Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Sebagai hak yang paling mendasar, Hak Asasi Manusia mau tidak mau harus diwujudkan secara konkrit, tentunya tidak hanya sekedar meratifikasi Konvensi Hak Asasi Manusia internasional, melainkan juga menerapkan hak dasar tersebut ke dalam
hukum nasional. Sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia harus digabungkan ke dalam hukum positif, walaupun dengan catatan bahwa harus disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai instrumen yang bersifat universal Hak Asasi Manusia seharusnya tidak hanya diakui keberadaannya secara mutlak, namun juga harus dijunjung tinggi. Di sini peran pemerintah untuk menjaga, menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan
Hak Asasi Manusia agar menjadi norma-norma yang diterima menjadi landasan bagi warga negara dalam kehidupannya.
Hak Asasi Manusia bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam keadaan individu melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman kesadaran saja melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak asasi manusia itu sendiri. Â Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan prilaku
dan kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam
masyarakat tersebut.
Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai- nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk Selain itu pengakuan atas Hak Asasi Manusia sebagai nilai yang universal dan mendasar juga memberikan konsekuensi bagi Indonesia untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan Hak Asasi Manusia ke
dalam peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai Hak Asasi Manusia itu memang menjadi prinsip dasar setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dari Hak Asasi Manusia itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.
Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah
kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan kehendak bebas adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari
siapapun terhadap calon suami dan/atau calon istri. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia hanya dipandang dari aspek keperdataan saja. Disini tidak ada unsur agama yang
dikedepankan dalam sebuah perkawinan.
Sementara perkawinan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan, yang sampai saat ini masih berlaku, memiliki konsepsi yang berbeda bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing
pihak dan berkewajiban untuk mencatatkan perkawinannya tersebut di kantor pencatat perkawinan. Artinya, antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia.Sementara dalam Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin Undang-Undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
tidak boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarkat saat ini. Penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan beda agama merupakan sebuah tindakan diskriminatif berdasarkan agama.
penulis menarik kesimpulan bawa banyaknya pelarangan pernikahan beda agama di Indonesia jika dilihat dari persepektif Hak Asasi Manusia secara jelas adalah bentuk diskriminatif, hal ini disebabkan bahwa hak untuk memilih pasangan hidup, hak untuk memilih agama adalah hak sipil yang dimiliki oleh setiap negara, dalam hal ini adalah pemerintah seharusnya melindungi hak sipil dari setiap warga negaranya dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pernikahan beda agama.
Menurut penulis pelaksanaan perkawinan beda agama di indoensia memang tidak melarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan, namun hal tersebut berimplikasi pada pandangan masyarakat dan tafsirannya pada pelarangan pernikahan beda agama. Hal tersebut harusnlah lebih ditingkatkan pada tingkat interpretasi hukum dan prosedur teknis di kalangan para pencatatat perkawinan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI