Di penghujung tahun, desa Sukaraja tenggelam dalam hiruk-pikuk persiapan pesta tahun baru. Warga sibuk memasang lampu kelap-kelip, menyiapkan panggung hiburan, dan mendirikan tenda makanan. Namun, tidak semua orang larut dalam kegembiraan itu. Ada satu tempat yang sunyi, bahkan terlalu sunyi---rumah tua peninggalan almarhum Pak Raji, kepala desa pertama Sukaraja.
Rumah itu dikenal angker. Sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni, tapi warga kerap mendengar suara langkah kaki di tengah malam atau melihat bayangan di balik jendela yang berdebu. Namun, semua desas-desus itu tidak menghentikan Dodi, pemuda iseng yang terkenal pemberani sekaligus pengangguran, dari melancarkan aksi nekatnya.
"Eh, Broto," panggil Dodi kepada temannya yang sedang sibuk mengecat panggung. "Gua punya ide nih untuk malam tahun baru ini, gimana kalau kita bikin acara seru?"
Broto melirik tanpa minat. "Maksud lo? Lomba karaoke lagi? Sudah basi."
"Bukan itu, tolol. Kita bikin uji nyali di rumah Pak Raji! Gua yakin bakal rame. Sekalian gua livestream buat konten YouTube."
Broto melongo. "Livestream? Kalau hantunya beneran nongol gimana?"
"Itu malah lebih keren, kan?" jawab Dodi dengan penuh semangat. "Coba aja Loe Bayangin jumlah views-nya!"
Setelah merayu Broto dengan janji traktiran bakso selama seminggu, akhirnya pemuda itu setuju. Mereka pun mengajak dua teman lain, Ujang dan Tia, untuk bergabung. Malam itu, mereka membawa kamera, senter, dan sepiring ketan hitam sebagai "persembahan", karena kata Ujang, setan suka makanan manis.
Pukul sebelas malam, mereka tiba di rumah Pak Raji. Angin dingin berembus, membuat suara daun kering yang bergesekan terdengar seperti bisikan. Dodi, yang memimpin rombongan, menendang pintu dengan gagah.
"Selamat malam, Pak Raji!" teriaknya, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. "Kami datang dengan damai! Kalau mau muncul, silakan!"
Tidak ada jawaban. Hanya suara jangkrik yang bersahutan. Tia, satu-satunya perempuan di grup itu, menggigil sambil menggenggam senter erat-erat.
"Ini ide paling bodoh sepanjang tahun," gumamnya.
"Eh, Loe pada tenang aja deh. Kalau ada apa-apa, gua duluan yang lari," ujar Broto sambil terkekeh. Namun, tawanya terhenti ketika pintu di ujung koridor tiba-tiba tertutup sendiri dengan suara keras.
Mereka semua terdiam. Ujang, yang terkenal penakut, langsung memeluk Dodi. "Itu angin, kan?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Ya... angin," jawab Dodi, meski nadanya terdengar tidak yakin. Ia melangkah maju dengan kamera menyala, berusaha merekam semuanya.
Saat mereka menjelajahi rumah itu, suasana semakin aneh. Dindingnya penuh coretan seperti tulisan mantra, dan udara di dalam ruangan terasa berat. Tia menemukan cermin pecah di salah satu kamar, dengan tulisan "SELAMAT DATANG" yang terlihat seperti diukir menggunakan kuku.
"Lucu ya, hantunya ramah," ucap Tia sambil mencoba bersikap santai. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara ketukan di balik dinding.
"Dodi, kita pulang aja, deh," desaknya.
"Tunggu dulu," ujar Dodi. "Ini momen emas buat konten. Lo pikir viewers suka liat kita kabur? Nggak, mereka suka drama! Nah, Broto, coba lo ketok balik."
Broto mendekati dinding itu dengan ragu. Ia mengetuk tiga kali. Sejenak tidak ada apa-apa, lalu tiba-tiba ketukan itu dibalas, kali ini lebih keras.
Mereka semua melompat kaget. Bahkan Dodi mulai merasa ide ini bukanlah langkah brilian. Tapi sebelum mereka sempat berpikir lebih jauh, lampu senter Tia mulai berkedip-kedip, dan suara tawa pelan terdengar dari kamar sebelah.
"Siapa itu?" teriak Dodi. Ia mengarahkan kameranya ke pintu kamar, tapi yang terlihat hanya kegelapan.
Tia mulai menangis. "Ini bukan lucu lagi, Dod. Ayo keluar!"
Tapi pintu depan rumah itu mendadak tertutup rapat, seolah ada yang menguncinya dari luar. Mereka panik, mencoba membukanya, tapi sia-sia.
Kemudian, sosok tinggi kurus muncul dari bayangan, mengenakan pakaian putih lusuh dengan wajah yang tampak seperti... badut. Sosok itu tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat di tempat.
"HAHAHAHA! Selamat datang, anak-anak!" suaranya menggema.
Ujang langsung pingsan di tempat, sementara yang lain hanya bisa mematung ketakutan. Sosok itu mendekat, membawa sesuatu di tangannya---sebuah panci besar.
"Kalian mau ketan hitam ini?" tanyanya dengan suara penuh ironi.
"Err... itu buat Bapak," jawab Dodi terbata-bata. "Kami cuma main-main, Pak. Maaf kalau mengganggu."
"Hahahaha! Main-main? Rumah ini bukan tempat bermain!" bentaknya, lalu tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi serius. "Tapi... karena kalian sudah datang, bantu aku bikin resolusi tahun baru."
Broto memberanikan diri bertanya. "Resolusi... apa?"
"Resolusi biar aku nggak kesepian lagi! Mulai sekarang, kalian tinggal di sini selamanya!" teriaknya, lalu tertawa lagi dengan suara yang memekakkan telinga.
Dodi, dengan refleks, menyalakan kembang api yang dibawanya untuk pesta. Ia melemparnya ke arah si hantu. Kembang api itu meledak dengan gemuruh, mengisi ruangan dengan cahaya berwarna-warni. Sosok itu terkejut, lalu mendadak menghilang dalam kepulan asap.
Mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Pintu depan mendadak terbuka, dan mereka lari keluar secepat mungkin. Di luar, suara riuh pesta tahun baru menggema di kejauhan, seolah tidak ada yang tahu kejadian horor yang baru saja mereka alami.
Keesokan harinya, warga menemukan rumah Pak Raji dalam keadaan berantakan. Dodi dan teman-temannya bersumpah untuk tidak pernah kembali lagi ke sana. Namun, yang paling mengejutkan adalah sepiring ketan hitam yang mereka tinggalkan. Piring itu bersih, hanya menyisakan tulisan di bawahnya: "Terima kasih. Tahun depan datang lagi, ya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H