Film Uprising yang berlatar sejarah Korea dengan sentuhan dramatis ini, mengangkat sebuah cerita yang rumit dan penuh kekerasan. Diproduksi oleh sutradara terkenal Korea, Park Chan-wook, film ini menggambarkan berbagai adegan brutal di tengah konflik yang menyentuh sisi politik.Â
Salah satu detail yang mengejutkan adalah fakta bahwa pada abad ke-16, tentara Jepang yang menyerbu Korea memotong hidung para korban mereka sebagai trofi perang.Â
Tindakan mengerikan ini begitu masif hingga ada sebuah monumen di Jepang bernama Mimizuka di Kyoto, yang menyimpan hampir 40.000 hidung orang Korea yang dibunuh, serta 30.000 dari China.
Namun, film ini bukan hanya bercerita tentang invasi Jepang dan kekejamannya terhadap rakyat Korea. Menariknya, drama Uprising lebih berfokus pada konflik internal, musuh dari dalam negeri, yang menjadi ancaman lebih besar bagi masyarakat Korea.Â
Sejarah Korea modern, yang melibatkan korupsi politik dan skandal nasional, menjadi landasan penting film ini. Salah satu contohnya adalah skandal mantan presiden Korea, Park Geun-hye, yang terungkap pada 2016.Â
Dokumen rahasia berisi daftar hitam yang mencakup nama-nama seniman terkenal, termasuk Park Chan-wook sendiri, diungkap setelah pemakzulannya.Â
Pesan moral film ini dapat dipandang sebagai kritik terhadap sifat masyarakat Korea yang cenderung mudah menghakimi, sebuah fenomena yang menjadi penyebab banyak figur publik Korea mengakhiri hidupnya.
Film ini dimulai dengan adegan akhir dari sebuah komunitas bernama "Great Unity," yang dipimpin oleh politisi Jeong Yeo-rip. Komunitas ini mengajarkan prinsip kesetaraan, di mana bangsawan dan budak hidup berdampingan, makan bersama, dan berlatih seni bela diri.Â
Tentu saja, ide seperti ini sangat ditentang oleh penguasa saat itu, Raja Seonjo (diperankan oleh Cha Seung-won), yang memerintahkan pembantaian seluruh anggota komunitas tersebut.Â
Meski bagian ini tidak memiliki hubungan langsung dengan inti cerita yang akan datang, adegan ini berhasil menetapkan latar belakang yang menggambarkan masa dinasti Joseon sebagai periode yang dipenuhi dengan ketidakadilan sosial.
Cerita kemudian beralih ke kisah Cheon-yeong (Gang Don-won), seorang budak pelarian yang ditangkap dan diserahkan kepada otoritas kerajaan. Cheon-yeong awalnya bukanlah budak, tetapi karena keluarganya memiliki utang, ia terpaksa dijual sebagai budak sejak masih kecil.Â