Tiap sebentar Siti memandangi jam dindingnya. Kenapa Stepehn belum sampai juga hingga detik ini. Detak jantungnya mengikuti irama kegusaran hati dan pikirannya. Akankah aku jadi menikah dengan Stephen.
Saat yang dinantikan pun tiba, Sebuah mobil berwarna putih dan sebuah mobil berwarna perak keluaran pabrik tahun 2000. Satu per satu orang yang berada di dalam mobil segera keluar. Namun, tak satu pun terlihat wajah Stephen terlihat.
Salah seorang diantara mereka sebagai wakil dari mempelai pria menghampiri ayahku. Berbincang secara serius kepada ayahku.
“Sebelumnya, maafkan kami sebagai wakil dari mempelai pria, karena kenyataan berkata lain. Stephen ternyata belum siap untuk menikahi Siti, Kami sudah berusaha meyakinkan Stephen namun tetap tidak bisa merubah keputusan hati dan pemikirannya,” ujar pria tersebut.
“Kok bisa? Lalu akankah resepsi ini dibatalkan?” balas ayah Siti.
“Tidak usah dibatalkan, Pak. Sebagai gantinya kami pun menghadirkan Umar sebagai pengganti dari Stephen yang siap untuk menjadi suami Siti.”
“kalau memang begitu, baiklah saya akan tanyakan kepada Siti terlebih dahulu.”
Ayah Siti menuju ke kamar Siti, begitupun dengan ibu Siti. Mereka berbincang lebih serius di dalam kamar Siti.
Sejam berlalu. Undangan yang telah hadir pun semakin gusar. Begitupun besan dari mempelai pria.
Pernikahan pun berlangsung. Namun, bukan pernikahan antara Siti dengan Stephen, melainkan Siti dengan Umar. Siti memang sudah begitu mencintai Umar. Namun, Umar berusaha untuk bisa mencintai Siti.
Mitsaqon Gholizo sebagai kata-kata pamungkas Akad Nikah yang berkekuatan dahsyat pun terlontar dari mulut ayah Siti yang dilanjutkan dengan ucapan dari Umar. Lancar, tegas dan penuh kekuatan semangat untuk bisa mengarungi rumah tangga antara Umar dan Siti.