Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pasivitas PBB dan OKI dalam Merespons Konflik Palestina dan Israel

13 Maret 2024   14:27 Diperbarui: 13 Maret 2024   14:28 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Umum PBB membahas terkait Agresi Israel ke Palestina. (sumber gambar: Kementrian Luar Negeri RI)

Krisis di Timur Tengah, khususnya konflik antara Palestina dan Israel, telah menjadi sorotan internasional selama beberapa dekade. Meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Islam (OKI) telah terlibat dalam upaya mediasi dan mengecam keras terhadap agresi Israel terhadap Palestina. Namun, faktanya Israel masih gencar membombardir wilayah Jalur Gaza Palestina yang terisolasi hingga detik ini.

Apa yang kita saksikan sekarang hanyalah bagian dari cerita panjang penajajahan dan penggusuran warga Palestina sejak tahun 1948 lalu. Jika ini tidak berupaya dihentikan, cerita akan terus berlanjut entah sampai kapan. Dan cerita-cerita pilu itu akan terus berulang setiap waktunya. Memang yang melakukan pembantaian adalah Israel tapi dunia juga punya saham di sana dengan tidak mengambil langkah strategis untuk mencegah keberulangan ini. 

Padahal begitu banyak perjanjian internasional sudah dibentuk dengan misi perlindungan terhadap hak-hak manusia. Namun faktanya, PBB dan negara-negara Islam (OKI) tidak bisa berbuat banyak dalam merespon bencana kemanusiaan yang begitu mengerikan, hanya berani melakukan kecaman dan mengirim bantuan kemanusiaan, tanpa mampu menuntaskan akar permasalahan.

Pada tanggal 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan tiba-tiba di wilayah Israel Selatan yang berbatasan dengan Jalur Gaza, menyebabkan konsekuensi yang mengkhawatirkan. Israel merespons serangan tersebut dengan serangan penuh skala, mengakibatkan kematian ribuan warga Palestina. 

Mayoritas dari mereka adalah warga sipil, termasuk anak-anak, yang tidak memiliki kaitan langsung dengan Hamas. Serangan udara Israel merusak ratusan ribu bangunan infrastruktur di Gaza, termasuk fasilitas rumah sakit, sekolah, universitas, tempat ibadah, tempat tinggal, dan bangunan-bangunan lainnya.

Tak satu pun dari wilayah Gaza yang terhindar dari serangan militer Israel yang brutal. Wilayah utara Gaza, khususnya, mengalami kerusakan paling parah akibat aksi militer Israel. Penduduk Gaza tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri dari wilayah tersebut karena dibatasi oleh tembok setinggi 8-9 meter dan ketebalan 1 meter yang membentang sepanjang 700 km, yang merupakan batas wilayah Gaza dengan Israel.

Tidak hanya itu, Israel bahkan memutus pasokan listrik, air, dan gas ke wilayah Gaza. Dampaknya, ketakutan dan kengerian yang dirasakan oleh penduduk Gaza semakin meningkat. Kejadian di Gaza tidak hanya dapat disebut sebagai perang yang tidak seimbang (asimetris war), tetapi lebih tepat diidentifikasi sebagai pembantaian, genosida, dan pembersihan etnik.

Apabila terdapat pasukan penjaga perdamaian PBB di Palestina, kemungkinan eskalasi konflik seperti yang terjadi saat ini bisa dihindari, sehingga korban sipil dapat terhindarkan. Saat ini, PBB telah menempatkan Peace Keeping Force di 12 lokasi konflik di seluruh dunia, termasuk di Libanon, Sudan, Sahara Barat, Kongo, Afrika Tengah, Mali, Haiti, dan Libya.

Bukankah konflik dan pelanggaran kemanusiaan di Palestina justru memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi dari pada konflik di wilayah lain di dunia? Apakah persoalan di Palestina tidak seharusnya dianggap sebagai isu kemanusiaan? 

Mengapa pelanggaran kemanusiaan yang nyata dan terjadi di depan mata selama bertahun-tahun tidak mampu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelenggarakan pasukan perdamaian di sana? PBB, sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab atas keamanan dunia dan Hak Asasi Manusia, seharusnya memiliki kewenangan resolusi untuk mengekang konflik tersebut. Bahkan, sejak konflik pertama muncul pada tahun 1948 dan 1956, PBB seharusnya telah menempatkan pasukan perdamaian di wilayah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun