Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Presumption of Innocence Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam

29 Februari 2024   14:17 Diperbarui: 29 Februari 2024   14:21 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pengadilan (sumber gambar: iStock/Zolnierek)

Presumption of Innocence (Asas praduga tak bersalah) adalah prinsip mendasar dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai Pengadilan menyatakannya bersalah. Artikel ini akan membahas asas praduga tak bersalah dari perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, menggali makna, implikasi, serta bagaimana asas ini diaplikasikan dalam kedua sistem hukum tersebut.

Asas praduga tak bersalah dalam hukum positif merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Dinyatakan dalam  instrumen hukum internasional, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 14 (2) menegaskan bahwa setiap individu yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah menurut ketentuan hukum.

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 66 KUHP, di atur bahwa setiap terdakwa dianggap tidak bersalah selama tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Prinsip asas praduga tak bersalah ini mengatur dasar hukum di tingkat hukum pidana untuk memastikan bahwa setiap terdakwa dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur prosedur hukum pidana di Indonesia dan memberikan penekanan pada hak-hak terdakwa, termasuk asas praduga tak bersalah. Pasal 66B KUHAP menyatakan bahwa setiap terdakwa dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang memutuskan sebaliknya.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU HAM memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak atas praduga tak bersalah. Pasal 7 UU HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak dianggap tidak bersalah dalam hukum pidana sampai dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang berwenang.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Sistem Penegakan Hukum Nasional (UU SPHN) Menyebutkan prinsip praduga tak bersalah sebagai salah satu prinsip dasar sistem penegakan hukum nasional. Mendorong prinsip ini diterapkan secara konsisten dalam setiap tahap proses hukum.

Asas ini melindungi individu dari penangkapan, penahanan, atau penuntutan tanpa bukti yang memadai. Dalam proses peradilan, beban pembuktian berada pada pihak penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam konteks hukum pidana positif, asas praduga tak bersalah hadir sejak awal proses peradilan. Terdakwa dianggap tidak bersalah saat masuk pengadilan, dan tugas penuntut umum adalah membuktikan kesalahannya melalui bukti yang sah dan kuat. Pengadilan yang adil menjamin bahwa hak terdakwa dihormati dan tidak ada penilaian bersalah sebelum terbukti.

Asas praduga tak bersalah memiliki implikasi signifikan terhadap sistem peradilan pidana. Ini menekankan pentingnya perlakuan adil, hak atas pembelaan, dan kepastian hukum. Terdakwa memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sepanjang proses peradilan dan tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah sebelum putusan final diumumkan.

Sedangkan dalam hukum pidana Islam, asas praduga tak bersalah juga memiliki relevansi meskipun berasal dari tradisi hukum yang berbeda. Prinsip ini tercermin dalam konsep "hujjah" atau bukti yang harus diperoleh sebelum seseorang dinyatakan bersalah. Meskipun sistem hukum Islam memiliki ketentuan hukuman yang ketat, asas praduga tak bersalah tetap menjadi landasan dalam menjamin keadilan.

Dalam hukum Islam sepenuhnya mengakui hak ini. Prinsip praduga ketidakbersalahan terdakwa adalah konsep utama yang tercermin dalam berbagai peraturan pembuktian menurut hukum Islam. Secara mendasar, setiap individu dianggap tidak bersalah secara inheren. Oleh karena itu, dengan berpegang pada prinsip istishhab (praduga keberlanjutan) dalam hukum Islam, seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya.

Secara umum, Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk memastikan kebenaran setiap tuduhan agar dapat menghindari kesalahan dalam memberlakukan hukuman terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Ini terutama tercermin dalam prinsip umum pembuktian Islam yang menetapkan bahwa beban pembuktian ada pada pihak. 

Sebagai contoh, Al-Qur'an menetapkan hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berzina tanpa membawa empat orang saksi sebagai pendukung tuduhan mereka. Jika tidak dapat memenuhi syarat tersebut, mereka dihukum delapan puluh kali cambukan, dan kesaksian mereka tidak diterima selamanya. Nabi juga menyatakan, "Beban pembuktian terletak pada Penuntut, dan sumpah diharuskan pada orang yang menolak tuntutan."

Hukum pidana Islam, terdakwa tidak dianggap bersalah hingga hujjah atau bukti yang kuat dan sah terhadapnya ditemukan. Hukum Islam menempatkan tanggung jawab pembuktian pada pihak penuntut, dan hujjah harus memenuhi standar yang ketat. Ini sejalan dengan semangat keadilan dan keberpihakan terhadap hak-hak terdakwa.

Asas praduga tak bersalah dalam hukum pidana Islam bukan hanya tentang beban pembuktian, tetapi juga melibatkan perlindungan hak-hak terdakwa. Terdakwa memiliki hak untuk membela diri, disampaikan dengan jelas dalam prinsip "Al-Mazalim" atau hak asasi individu dalam hukum Islam. Perlindungan ini mencakup hak atas pembelaan, tidak adanya penindasan, dan kepastian hukum.

Asas praduga tak bersalah mencerminkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dalam hukum pidana Islam. Semua individu dianggap tidak bersalah hingga bukti yang kuat menunjukkan sebaliknya, tanpa memandang status sosial atau latar belakang mereka. Ini memastikan bahwa keadilan ditegakkan dalam masyarakat Muslim.

Meskipun asas praduga tak bersalah ada dalam kedua sistem hukum, implementasinya dapat berbeda. Hukum pidana positif seringkali lebih formal dan terstruktur, sementara hukum pidana Islam dapat lebih terbuka terhadap interpretasi lokal dan peradilan yang lebih fleksibel.

Penting untuk mencatat bahwa asas praduga tak bersalah, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, harus sejalan dengan prinsip hak asasi manusia universal. Harmonisasi antara nilai-nilai lokal dan internasional akan memastikan bahwa asas ini tetap relevan dan berlaku untuk semua individu, tanpa diskriminasi.

Asas praduga tak bersalah adalah pilar utama dalam sistem peradilan pidana, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam. Melindungi hak-hak terdakwa, mendorong keadilan, dan menegakkan prinsip kesetaraan, asas ini mendukung keberlanjutan demokrasi dan menjamin bahwa proses peradilan didasarkan pada keadilan, bukan prasangka. Meskipun berakar dalam tradisi yang berbeda, asas ini mencerminkan nilai-nilai universal tentang keadilan dan hak asasi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun