Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penganiayaan dalam Analisis Hukum Pidana Islam

7 Februari 2024   08:37 Diperbarui: 7 Februari 2024   08:40 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukum (sumber gambar: NU Online Jabar)

Pengertian Penganiayaan

Penganiayaan dalam Hukum Pidana Islam dapat disebut sebagai pelanggaran hukum terhadap selain jiwa, atau dikenal sebagai jinayat selain pembunuhan. Hal ini merujuk pada segala tindakan terlarang yang ditujukan kepada anggota tubuh seseorang, termasuk tindakan seperti pemotongan, melukai, atau merugikan fungsi tubuh. Definisi penganiayaan atau tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah, merangkum segala perbuatan yang menyebabkan penderitaan pada badan tanpa menyebabkan kematian atau menghilangkan nyawa. Penafsiran ini sejalan dengan pandangan Wahbah Zuhaili, yang menyatakan bahwa tindak pidana atas selain jiwa mencakup segala perbuatan melanggar hukum terhadap tubuh manusia, termasuk pemotongan anggota tubuh, pelukaan, atau pemukulan, tanpa mengancam jiwa atau kelangsungan hidupnya.

Unsur-unsur Penganiayaan

Suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana, terutama penganiayaan, dapat diidentifikasi melalui pemenuhan unsur-unsur berikut:

  • Adanya unsur syara, yang berarti adanya ketentuan dalam hukum yang melarang suatu perbuatan tertentu, menandakan sebagai tindak pidana penganiayaan. Unsur ini sesuai dengan prinsip bahwa suatu tindak pidana penganiayaan harus diatur dalam ketentuan hukum yang melarang perbuatan tersebut dan menetapkan hukuman sebagai konsekuensi dari perbuatan itu. Dalam konteks unsur-unsur jinayah, ini termasuk unsur formil dengan adanya nash yang melarang perbuatan jarimah dan pemberian sanksi terhadap perbuatan tersebut, yang dikenal sebagai al-Rukn al-Syari.
  • Adanya unsur perbuatan melawan hukum yang benar-benar dilakukan, yang menjadi kunci bagi pelaku tindak pidana penganiayaan untuk menerima hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Unsur ini, dalam konteks unsur-unsur jinayah, merupakan unsur materil yang mencakup tingkah laku yang membentuk jarimah, baik dalam bentuk perbuatan fisik maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dikenal sebagai al-Rukn al-madi.
  • Adanya unsur niat, yang menandakan adanya niat pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan hukuman hanya dapat dikenakan pada orang yang sudah baligh. Unsur ini, dalam konteks unsur-unsur jinayah, merupakan unsur moril yang menunjukkan kemampuan atau kematangan bertanggung jawab terhadap jarimah yang dilakukannya. Unsur ini dikenal sebagai al-Rukn al-adabi.

Ketiga unsur tersebut dapat menjadi landasan untuk menentukan apakah seseorang terlibat dalam suatu tindak pidana penganiayaan. Pelaku tindak pidana tersebut kemudian dapat dikenakan hukuman Diyat dan ta'zir, dan dalam keadaan tertentu, mungkin juga dikenakan hukuman qisas. Djazuli, dalam bukunya tentang fiqih Jinayah, menekankan bahwa selain unsur-unsur tersebut, terdapat pula unsur khusus yang tidak kalah pentingnya dalam suatu perbuatan jinayah. Unsur ini bersifat khusus dan hanya berlaku dalam konteks tertentu dari suatu jarimah, berbeda dengan unsur khusus dari jarimah lainnya.

Macam-macam Penganiayaan

Macam-macam penganiayaan antara lain :

  • Penganiayaan pada tubuh atau organ (al-Jurh) merupakan tindakan penganiayaan di mana seseorang merusak anggota tunggal atau berpasangan milik orang lain. Dalam hal ini, pelaku diwajibkan membayar diyat sepenuhnya jika merusak anggota tunggal, sedangkan jika merusak salah satu anggota berpasangan, ia diwajibkan membayar diyat setengah. Manusia memiliki berbagai organ tubuh, termasuk organ tunggal seperti hidung, lisan, lidah, dan penis, serta organ berpasangan seperti mata, daun telinga, bibir, janggut, tangan, kaki, pelir, buah dada wanita, buah dada kaki, pantat, dan bibir kemaluan wanita. Terdapat juga organ-organ tubuh lainnya.
  • Penganiayaan pada wajah dan kepala (Asy-Syajjal) merujuk pada tindakan penganiayaan yang mengenai bagian atas kepala atau wajah seseorang.

Adapun terkait dengan jenis-jenis luka, terdapat sepuluh kategori, di antaranya:

1. Al-Kharishah, merupakan luka yang hanya menembus kulit secara ringan.

2. Al-Badhi'ah, merupakan luka yang menembus kulit dan mencapai jaringan daging di bawahnya.

3. Ad-Daamiyah/Ad-Damighad, adalah luka yang mengakibatkan keluarnya darah.

4. Al-Mutalahimah, merupakan luka yang menembus masuk ke dalam daging.

5. As-Simhaaq, merupakan luka yang meninggalkan tipisnya selaput di antara luka dalam dan tulang.

6. Al-Muwadhohah, merupakan luka yang mencapai tulang sehingga tulang menjadi terlihat.

7. Al-Hasmiyah, adalah luka yang dapat mematahkan dan meremukkan tulang.

8. Al-Munqilah, adalah luka yang menembus hingga tulang dan menyebabkan tulang tergeser dari posisinya.

9. Al-Ma'muumah, merupakan luka yang mencapai selaput batok kepala.

10. Al-Jaarifah, adalah luka yang memiliki kedalaman yang signifikan.

Sanksi Penganiayaan

Dalam fiqh jinayah, sanksi untuk pelaku tindak pidana penganiayaan terbagi menjadi dua, yaitu hukuman utama dan hukuman pengganti. Hukuman utama bagi pelaku penganiayaan adalah Qishash, sementara hukuman penggantinya melibatkan Diyat atau Ta'zir. Penerapan hukuman Diyat dan Ta'zir terjadi apabila hukuman utama mengalami hambatan atau tidak dapat dilaksanakan karena alasan tertentu. Jenis tindak pidana penganiayaan dibagi ke dalam kategori seperti penganiayaan yang disengaja, semi disengaja, dan tidak disengaja.

Dalam konteks ini, Qishash dianggap sebagai hukuman utama, sedangkan Diyat dan Ta'zir hanya berfungsi sebagai pengganti ketika pelaksanaan Qishash tidak memungkinkan. Dalam situasi di mana penganiayaan mirip dengan tindakan disengaja, Diyat menjadi hukuman utama, baik dalam kasus disengaja maupun tidak disengaja, sementara hukuman Ta'zir berperan sebagai penggantinya. Tidaknya kepastian hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan dapat terjadi apabila hukuman Qishash tidak dapat dilaksanakan karena hak asasi manusia, yang berarti apabila korban atau keluarga korban memaafkan pelaku penganiayaan, maka pelaksanaan hukuman Qishash tidak dapat dilakukan, dan digantikan oleh Diyat atau Ta'zir.

  • Hukuman Qishash

Dari segi etimologi, istilah "Qishash" berasal dari turunan kata "qassa" yang artinya mendekati, menceritakan, mengikuti jejaknya, dan membalas. Secara terminologi, menurut Ibnu Azur dalam karyanya "Lisan al-Arab," Qishash diartikan sebagai bentuk hukuman yang diberlakukan dengan mengikuti pidana yang telah terjadi. Pendapat ini dikuatkan oleh Mustafa Hasan dan Beni Ahmad Soebani, yang menyatakan bahwa Qishash adalah konsekuensi yang diberikan kepada seseorang yang dengan sengaja menyebabkan luka, merugikan nyawa, atau merusak anggota tubuh orang lain. Oleh karena itu, penting adanya keseimbangan dan kesepadanan dalam pelaksanaan hukuman Qishash serta dampak yang dihasilkannya.

Dalam konteks hukum Islam, syarat penting untuk pelaksanaan hukuman Qishash pada tindak pidana penganiayaan tidak jauh berbeda dengan tindak pidana pembunuhan. Namun, terdapat beberapa syarat khusus tambahan, terutama terkait dengan penghilangan anggota tubuh, pelukaan, atau pemisahan dari tempat asalnya. Beberapa syarat khusus tersebut melibatkan:

a. Konsistensi jenis dan nama dari kedua anggota tubuh yang terlibat, sehingga harus serupa, seperti kanan dengan kanan, kiri dengan kiri, bawah dengan bawah, dan sebagainya.

b. Anggota tubuh yang akan dipotong harus dalam kondisi utuh dan tidak mengalami kekurangan. Oleh karena itu, proses pemotongan tidak boleh dilakukan secara tidak sempurna atau dengan menggunakan alat yang tidak cukup kuat dan tajam.

  • Hukuman Diyat

Diyat adalah harta yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana kepada korban atau walinya sebagai kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan pelaku terhadap korban. Hukuman Diyat diberlakukan pada pelaku yang tidak sengaja sebagai hukuman utama, dan jika Diyat diampuni oleh korban dan keluarganya, maka hukuman penggantinya adalah Ta'zir. Besaran Diyat pada umumnya diukur dengan unta, di mana tindak pidana penganiayaan paling berat dapat dihukum dengan 100 ekor unta. Jika tidak mampu memberikan unta, ada dua pandangan dalam kalangan ulama, yang pertama menyatakan bahwa dapat dibayarkan dengan nilai uang setara unta, sedangkan yang lain berpendapat boleh dibayarkan dengan jumlah 12.000 dirham.

Diyat yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan bervariasi berdasarkan objek yang terkena dampak. Misalnya, untuk penganiayaan pada anggota badan, Diyat diterapkan pada berbagai jenis luka seperti yang diuraikan, dengan besaran yang berbeda tergantung pada jenis dan jumlah anggota tubuh yang terlibat. Dalam kasus kehilangan kegunaan anggota badan yang masih utuh, Diyat juga ditentukan berdasarkan kondisi spesifik yang diakibatkannya. Selain itu, pada penganiayaan pada kepala dan muka, Diyat diukur berdasarkan berbagai jenis pelukaan dan tingkat kerusakan yang dihasilkannya.

Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus penganiayaan yang tidak termasuk dalam kategori tertentu, seperti pemukulan dengan cambuk, menempeleng, atau penggunaan tongkat tanpa meninggalkan bekas yang signifikan, hukuman Qishash tidak diterapkan. Sebagai gantinya, hukuman yang mungkin diterapkan adalah hukumah atau ganti rugi yang tidak menentu.

  • Hukuman Ta'zir

Ta'zir adalah hukuman yang bersifat mendidik, dengan batas kadarnya ditentukan oleh penguasa atau hakim atas pelaku tindak pidana. Bentuk hukumannya belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an dan hadits, sehingga masih terbuka untuk interpretasi.

Dalam konteks jarimah Ta'zir yang terkait dengan penganiayaan, terdapat pandangan berikut:

1) Imam Maliki menyatakan boleh menggabungkan hukuman Qishash dengan Ta'zir dengan argumen bahwa Qishash merupakan hak masyarakat, sementara Ta'zir bersifat edukatif. Beliau juga menyatakan bahwa Ta'zir dapat diterapkan pada pelaku penganiayaan jika jarimah Qishashnya dapat dihapuskan atau tidak dapat dilaksanakan karena alasan hukum.

2) Imam Abu Hanifah, Imam Hambali, dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa Ta'zir dapat diterapkan pada seseorang yang sering melakukan tindakan yang sama dan sudah menerima hukuman. Mereka memperbolehkan pengenaan sanksi Ta'zir karena tindakan yang berulang menunjukkan bahwa hukuman sebelumnya tidak efektif membuat pelaku jera, sehingga perlu penambahan hukuman.

3) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa penganiayaan dengan menggunakan alat seperti tongkat atau cambuk dapat dikenai hukuman Ta'zir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun