Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Timur Tengah dalam Perspektif Geopolitik Kritis (Geostrategic Global, Geopolitik Regional, dan Realitas Nasional)

9 November 2023   16:35 Diperbarui: 9 November 2023   16:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak peduli bagaimana definisinya, geopolitik pada intinya menganggap bahwa ada hubungan antara keadaan geografis, termasuk populasi yang mendiaminya dan budaya yang mereka anut, dengan urusan politik internasional. Namun, dalam pengkajian geopolitik modern, faktor geografis tidak dipandang sebagai satu-satunya faktor yang memengaruhi politik internasional. Saat ini, konsep geopolitik tidak hanya diterjemahkan melalui lensa geopolitik ortodoks. Lebih lanjut, kita perlu mempertimbangkan perspektif geopolitik kritis, di mana geopolitik dipengaruhi oleh tiga elemen: geostrategic global, geopolitik regional, dan realitas nasional.

Geostrategic Global

Dalam konteks Timur Tengah, pandangan geopolitik ortodoks yang memiliki unsur imperialisme cenderung tidak dapat menjelaskan perkembangan terkini, terutama dalam hubungannya dengan dampak globalisasi di kawasan ini. Pendukung geopolitik ortodoks sering menganggap Timur Tengah sebagai sesuatu yang istimewa, atau sering merujuk pada konsep Middle East exceptionalism, yang intinya menyatakan bahwa Timur Tengah memiliki karakteristik yang unik sehingga sulit untuk berintegrasi dengan komunitas internasional, dan karena itu, dampak globalisasi di wilayah ini sering tidak terlihat dengan jelas. 

Timur Tengah sering digambarkan sebagai wilayah yang terbelakang, konservatif, atau tradisional. Faktor-faktor seperti sumber daya minyak yang menciptakan negara-negara rentier atau rentier states, budaya Arab, dan agama Islam sering dianggap sebagai alasan mengapa globalisasi tidak begitu berpengaruh di Timur Tengah.

Beberapa analis yang mempertanyakan gagasan keunikan Timur Tengah menunjukkan bahwa terdapat perubahan besar dalam kebijakan ekonomi negara-negara di wilayah tersebut, baik yang bergantung pada sumber daya minyak dan gas maupun yang tidak. Perubahan tersebut terutama terlihat dalam keterbatasan negara dalam mengontrol aliran modal dan informasi. 

Negara-negara Timur Tengah merespons aliran modal dan informasi ini dengan menerapkan kebijakan liberalisasi dan keterbukaan, tetapi tetap mempertahankan dominasi peran negara dalam proses tersebut. Hasilnya adalah apa yang disebut sebagai liberalization from above. Beberapa negara di wilayah ini berhasil menjaga agar liberalisasi dan keterbukaan yang terpimpin tidak menimbulkan ketegangan dengan masyarakat seperti yang terjadi di Arab Saudi atau Bahrain, sementara yang lain, seperti Suriah, mengalami kegagalan dalam hal ini.

Konsep geopolitik yang bersifat imperialistik menghasilkan konsekuensi yang berhubungan dengan upaya perbaikan situasi di wilayah tersebut. Dalam kerangka Amerika Serikat, kebijakan-kebijakan yang tidak tepat justru berdampak negatif pada penurunan pengaruh mereka di Timur Tengah. Bahkan sebelumnya, Haass telah memberi peringatan kepada para pengambil kebijakan di Amerika Serikat tentang tantangan yang semakin besar terhadap dominasi mereka di wilayah tersebut, baik dari aktor non-negara di wilayah itu sendiri maupun dari luar wilayah, serta aktor non-negara. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mengadopsi kebijakan yang lebih mempertimbangkan realitas lokal.

Salah satu contoh kebijakan yang dipengaruhi oleh logika geopolitik yang bersifat imperialistik dan diterapkan oleh Amerika Serikat adalah Greater Middle East Policy (GMEP), yang pertama kali diadopsi selama masa pemerintahan George Walker Bush dan salah dalam pemahaman mereka terhadap Timur Tengah. Kesalahan utama GMEP adalah menekankan gagasan bahwa demokratisasi kawasan adalah solusi ajaib untuk mengatasi instabilitas di wilayah tersebut. 

Pemerintahan Obama kemudian mengoreksi pendekatan ini dengan kebijakan yang lebih realistis. Meskipun demikian, pada dasarnya, landasan kebijakan tetap bersifat geopolitik imperialistik. Pragmatisme dalam kebijakan Obama lebih didasari oleh kebutuhan untuk meminimalkan biaya yang harus ditanggung daripada pemahaman yang mendalam tentang kawasan ini. Sebagai contoh, penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak tidak mempertimbangkan kemampuan militer Irak untuk menjaga keamanan, terutama menghadapi ancaman dari Al Qaeda dan Islamic State. Dampaknya, selama beberapa dekade terakhir, Irak tetap menjadi salah satu negara dengan tingkat terorisme yang tinggi, dengan rata-rata 1.762 serangan per tahun.

Penurunan pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah membuka peluang bagi kekuatan global lain untuk ikut campur dalam wilayah ini. Sejak berakhirnya Perang Dingin, Amerika Serikat telah mendominasi Timur Tengah, tetapi sebelumnya, selama Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing untuk mempengaruhi wilayah tersebut. Pada tahun 1967, untuk mencegah Timur Tengah jatuh ke dalam lingkup pengaruh Uni Soviet, Presiden Eisenhower mengadopsi kebijakan memberikan bantuan kepada negara-negara di Timur Tengah yang setuju untuk melawan pengaruh komunisme, yang dikenal sebagai Doktrin Eisenhower. 

Setelah Perang Dunia II, pemerintahan Truman sebelumnya membatasi peran Amerika Serikat di Timur Tengah dan membiarkan Inggris tetap menjadi kekuatan utama di wilayah tersebut. Namun, kemampuan Inggris sebagai kekuatan utama di Timur Tengah tergerus karena perlawanan dari negara-negara di wilayah ini atas berbagai alasan. 

Perang Enam Hari pada tahun 1956 dianggap oleh Eisenhower sebagai bukti ketidakmampuan Inggris dalam menjaga stabilitas di wilayah itu, yang juga mengundang intervensi Uni Soviet di Timur Tengah. Saat ini, berkurangnya pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah memberikan lebih banyak ruang bagi Rusia, yang sebelumnya telah berhasil memperluas pengaruhnya atas beberapa negara di wilayah ini, untuk kembali terlibat dalam berbagai isu di wilayah tersebut.

Kemudian, untuk menyeimbangkan pengaruh Amerika Serikat, terdapat setidaknya tiga alasan lain yang mendorong partisipasi Rusia di Timur Tengah, termasuk kekhawatiran akan penyebaran pengaruh kelompok-kelompok radikal Sunni dari wilayah ini ke kelompok serupa di Rusia, terutama di Kaukasus. 

Rusia juga perlu menjaga stabilitas harga minyak dan gas, mengingat ketergantungan ekonominya pada ekspor gas, sehingga stabilisasi harga menjadi penting untuk pendapatan Rusia. Selain itu, Rusia memiliki kepentingan dalam menjaga ekspor senjata ke negara-negara di wilayah ini. Selain itu, Amerika Serikat dan Rusia, ada juga upaya dari Tiongkok dan Uni Eropa untuk memengaruhi dinamika geopolitik di Timur Tengah. 

Namun, kekuatan global lain ini tidak memiliki kebijakan yang terstruktur dengan baik terkait Timur Tengah dan cenderung bersifat reaktif serta berfokus pada isu jangka pendek dalam wilayah tersebut. Rusia dan Tiongkok juga memiliki pandangan yang serupa dalam menghadapi masalah-masalah di Timur Tengah, dengan menekankan sikap anti terhadap intervensi.

Permasalahan dalam pergeseran kekuatan global di Timur Tengah bukan hanya terkait dengan munculnya kutub-kutub baru di wilayah tersebut, tetapi juga dengan kekosongan yang timbul seiring dengan penurunan kekuatan lama dan pertumbuhan kekuatan baru. Kekosongan ini kemudian dimanfaatkan oleh Al Qaedah dan Islamic State untuk mengembangkan kapabilitas mereka. Selain itu, kekosongan ini juga mengubah pola interaksi antara kekuatan global di wilayah tersebut, di mana kekuatan lama sering enggan menggunakan kapabilitasnya sendiri, sementara kekuatan baru belum mampu sepenuhnya menggantikan peran mereka. Situasi ini menciptakan interaksi antara kekuatan global dan kelompok-kelompok yang sudah ada di lapangan, menghasilkan konflik yang disebut sebagai proxy war.

Geopolitik Regional

Suatu pertanyaan yang muncul adalah apakah intervensi dari kekuatan global merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam memahami dinamika geopolitik di Timur Tengah. Gause berpendapat bahwa intervensi dari kekuatan global hanya dapat terjadi dan memengaruhi dinamika geopolitik di Timur Tengah jika ada pihak di dalam wilayah tersebut yang mengundang intervensi tersebut. 

Bagi Gause, akar utama dari ketidakstabilan di Timur Tengah adalah adanya Perang Dingin Arab, yaitu persaingan antara kekuatan utama regional. Istilah Perang Dingin Arab pertama kali diperkenalkan oleh Kerr pada tahun 1971 untuk menjelaskan persaingan antara Gamal Abdel Nasser dan lawan-lawannya di wilayah ini, termasuk Raja Faisal dari Arab Saudi. Persaingan ini melibatkan pertarungan ideologis antara sosialisme Arab atau nasionalisme Arab yang berkembang di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Irak, dengan Islam tradisional yang dipromosikan oleh Saudi Arabia dan didukung oleh negara-negara Teluk.

Fenomena Musim Semi Arab, atau Arab Spring, mengacu pada dua hal dalam istilah Perang Dingin Arab. Pertama, terjadi pertarungan antara rezim pemerintahan dan kekuatan-kekuatan sosial yang menginginkan perubahan radikal dalam tata kehidupan bernegara di Dunia Arab. 

Pertarungan ini dimungkinkan oleh globalisasi yang memungkinkan akses informasi publik terhadap dunia internasional. Dalam konteks ini, Valbjorn menyoroti perbedaan antara rezim yang berkuasa di Dunia Arab, baik yang bersifat Arab atau Islamis, yang mulai dipertanyakan legitimasinya oleh kelompok-kelompok non-negara seperti Hezbollah, Hamas, Al-Qaedah, dan Islamic State. Kelompok-kelompok ini justru semakin menguatkan legitimasinya sebagai representasi Dunia Arab di mata publik Arab.

Pertarungan ini semakin memperkuat dengan keberhasilan Hezbollah dalam perang melawan Israel tahun 2006 dan keberhasilan Hamas dalam perang melawan Israel tahun 2008-2009. Dampak dari pertarungan antara rezim dan kelompok-kelompok non-negara sebagai representasi Dunia Arab di publik Arab adalah melemahnya peran negara. Dalam situasi ekstrem, peran negara bahkan digantikan oleh kelompok-kelompok non-negara seperti Hezbollah di Lebanon Selatan, Hamas di Jalur Gaza, dan Islamic State di Suriah bagian Timur serta Irak bagian Barat.

Kedua, Perang Dingin Arab juga mencakup persaingan antara Saudi Arabia, yang mewakili aliran Islam tradisionalis, dan Iran. Dalam konteks ini, istilah Perang Dingin Arab diperluas maknanya menjadi Perang Dingin di Timur Tengah dan sering dianggap sebagai pertarungan antara kelompok Sunni dan Syiah. Persaingan antara Saudi Arabia dan Iran memiliki sejarah panjang dan dianggap sebagai konflik dengan tingkat eskalasi tertinggi di Timur Tengah. Perselisihan Saudi dengan Iran ini bahkan melebihi konflik Saudi dengan Israel (antara Islam dan Yahudi). Iran secara konsisten menggunakan isu anti-Israel sebagai elemen utama untuk membangun aliansi dengan kelompok-kelompok non-negara, baik yang beraliran Syiah seperti Hezbollah maupun yang berhaluan Sunni seperti Hamas.

Arena pertarungan antara kedua kekuatan utama di wilayah tersebut terjadi di negara-negara yang mengalami perpecahan etnis antara Sunni dan Syiah, serta di negara-negara di mana kapasitas pemerintah untuk mengendalikan wilayahnya mengalami penurunan. 

Variabel terakhir ini akan menentukan apakah konfrontasi antara dua kekuatan regional tersebut berujung pada kekerasan atau tidak. Kejadian di Bahrain menunjukkan bahwa ketika peran negara tetap kuat, pertarungan antara kekuatan regional tidak berkembang menjadi konflik sipil. 

Di sisi lain, situasi yang terjadi di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman menunjukkan hal sebaliknya, dengan konfrontasi antara kelompok non-negara dan negara Syiah, termasuk aliansi yang dibentuk oleh dua aktor terakhir. Dengan kata lain, dalam Perang Dingin Arab fase kedua, esensinya adalah pertarungan antara Saudi Arabia dan semua aktor lainnya. Meskipun demikian, terdapat juga pertarungan antara kelompok non-negara Sunni melawan negara Syiah dan kelompok non-negara Syiah, seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.

Pemetaan konflik regional tersebut tidak hanya mengungkapkan bahwa kelompok Syiah cenderung bersatu, sedangkan kelompok Sunni tidak demikian, tetapi juga menyoroti intensitas sektarian yang kuat dalam konflik di Timur Tengah. Walaupun demikian, aspek pertarungan sektarian, terutama antara kelompok Sunni dan Syiah, bukan satu-satunya elemen yang relevan dalam Perang Dingin Arab fase kedua. Aspek lain yang memiliki peran penting dalam pemahaman dinamika geopolitik Timur Tengah adalah fokus konflik di negara-negara yang mengalami gangguan dalam pemerintahannya.

Realitas nasional

Dari dua bagian sebelumnya, terlihat bahwa fenomena-fenomena dalam lingkup global dan regional berinteraksi dengan kondisi nasional, yang mencakup konflik sektarian dan disfungsi pemerintahan. Dengan demikian, isu-isu utama di Timur Tengah pada dasarnya muncul di negara-negara yang mengalami kedua fenomena lokal tersebut. 

Negara-negara di wilayah ini yang mengalami perpecahan kelompok berdasarkan etnis atau sekte mencakup: Israel/Palestina (Yahudi dan Arab-Palestina), Lebanon (Sunni, Syiah, Maronite, dan Druze), Irak (Sunni, Syiah, dan Kurdi), Suriah (Sunni, Syiah, Druze, Alawi, dan Kurdi), Yaman (Sunni dan Syiah), serta Bahrain (Sunni dan Syiah). Namun, penting untuk dicatat bahwa konflik terbuka dengan kekerasan cenderung tidak terjadi di negara-negara yang tidak mengalami disfungsi pemerintahan. Bahrain, dengan demikian, menjadi pengecualian karena pemerintah yang berkuasa mampu mengendalikan situasi dengan baik.

Situasinya berbeda di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman. Di negara-negara ini, keragaman kelompok berkonflik beriringan dengan penurunan legitimasi pemerintahan. Dalam kasus Israel/Palestina, pertarungan antara kelompok-kelompok itu dimulai sebelum tahun 1948, dan ketika Israel didirikan, konflik ini berubah menjadi konflik antar-negara. 

Sebaliknya, di Palestina, konflik baru muncul antara kelompok nasionalis dan kelompok Islamis. Oleh karena itu, terdapat empat contoh yang menjelaskan bagaimana disfungsi pemerintahan berdampak pada konflik sektarian, yaitu di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman. Dari keempat kasus ini, tiga konflik terakhir memerlukan perhatian serius dari komunitas internasional, termasuk Indonesia.

Dari segi komposisi demografis, Irak memiliki dua kelompok etnis utama, yaitu Arab dan Kurdi. Etnis Arab di Irak terbagi menjadi Arab Sunni dan Arab Syiah, sementara mayoritas etnis Kurdi mengikuti mazhab Sunni. Klasifikasi kelompok di Irak sering disederhanakan menjadi tiga kelompok utama, yaitu Syiah (sekitar 49%), Sunni (sekitar 24%), dan Kurdi (sekitar 15%). 

Setelah rezim Saddam Hussein, Irak mengalami kehilangan tiga pilar pemerintahan secara bersamaan, dengan pembubaran Partai Baath, militer, dan birokrasi. Upaya untuk mendirikan kembali struktur politik dilakukan oleh Amerika Serikat melalui pemilihan umum untuk membentuk parlemen, tetapi proses ini terhambat oleh ketidakmampuan parlemen untuk mencapai kesepakatan dalam merumuskan konstitusi baru Irak. Keberhasilan dalam mekanisme politik institusional tersebut gagal dan ini membuka jalan bagi perkembangan kelompok bersenjata yang didasarkan pada identitas.

Ketidakmampuan pemerintahan baru Irak setelah Saddam Hussein untuk membentuk militer yang bersifat non-sektarian mengakibatkan beberapa kelompok bersenjata efektif menguasai wilayah-wilayah tertentu. Saat ini, permasalahan utama di Irak masih terpusat pada kesulitan menemukan solusi politik yang dapat meredakan ketegangan antara kelompok-kelompok sektarian yang ada, yang berdampak pada keterbatasan birokrasi dan militer dalam mengendalikan seluruh wilayah. Akibatnya, Irak telah terbagi menjadi beberapa kantong kekuasaan di empat wilayah: wilayah di bawah kendali pemerintah pusat yang didukung oleh Amerika Serikat dan Saudi, wilayah otonom Kurdistan, wilayah yang dikuasai oleh kelompok Syiah yang didukung oleh Iran, dan wilayah yang dikuasai oleh Islamic State.

Situasi serupa juga terjadi di Suriah. Seperti Irak, wilayah Suriah juga terbagi menjadi empat area utama, yaitu: wilayah yang dikuasai oleh rezim Bashar al-Assad dengan dukungan dari Rusia dan Iran, wilayah yang dikuasai oleh kelompok oposisi yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Saudi Arabia, wilayah yang dikuasai oleh kelompok Kurdi, dan wilayah yang dikuasai oleh Islamic State atau kelompok oposisi lain yang relatif independen. Dalam perbedaan dengan Irak, di Suriah permasalahan bermula dari ketidakpuasan mayoritas publik terhadap kepemimpinan rezim Assad.

Ketidakpuasan ini mulai muncul pada masa kepemimpinan Hafiz al-Assad dan terus meningkat selama pemerintahan Bashar al-Assad. Untuk mengatasi ketidakpuasan publik, rezim Assad membentuk aliansi dengan kelompok aristokrat Sunni. Kebijakan liberalisasi terkendali yang diadopsi oleh Hafiz dan Bashar memberikan keuntungan kepada kelompok tersebut, tetapi merugikan mayoritas populasi Sunni. Kondisi ini membuat identifikasi aktor dalam konflik di Suriah menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan Irak. 

Selain itu, dalam konflik Irak, Amerika Serikat tampil sebagai pelaku eksternal yang terlibat secara langsung, sementara di Suriah, Rusia turut terlibat secara langsung. Keterlibatan kekuatan global yang mengalami penurunan (declining great power) dan kekuatan global yang sedang berkembang (rising great power) tentu memiliki dampak yang berbeda. Kekuatan yang mengalami penurunan biasanya memiliki komitmen terbatas dalam keterlibatan, berbeda dengan kekuatan yang sedang berkembang. Dengan demikian, konflik di Suriah mungkin menjadi lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan dengan di Irak.

Konflik ketiga yang memiliki dampak geopolitik besar adalah konflik di Yaman. Akar permasalahan di Yaman melibatkan sejumlah faktor yang juga terjadi di Irak dan Suriah. Pertentangan antara kelompok Sunni dan Syiah telah berlangsung dalam sejarah Yaman, meskipun penggunaan kekuatan bersenjata meningkat karena adanya disfungsi pemerintah setelah kepemimpinan Presiden Saleh. 

Serupa dengan Suriah, konflik bersenjata di Yaman dimulai setelah terjadinya perpecahan dalam tubuh militer, antara mereka yang mendukung Saleh dan mereka yang menentangnya. Perpecahan ini terjalin dengan persaingan antara kelompok Sunni yang didukung oleh Saudi Arabia dan kelompok Houthi (Syiah) yang berupaya mendatangkan Iran ke dalam konflik tersebut. 

Yang membedakan konflik di Yaman dari dua konflik lainnya adalah ketiadaan keterlibatan kekuatan global. Keterlibatan kekuatan-kekuatan regional dalam konflik internal memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan keterlibatan kekuatan global, terutama karena kekuatan-kekuatan regional tersebut berada dalam wilayah geografis yang sama. Keberadaan yang berdekatan ini meningkatkan potensi ancaman dan pelibatan tingkat regional, jika dibandingkan dengan keterlibatan kekuatan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun