Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Timur Tengah dalam Perspektif Geopolitik Kritis (Geostrategic Global, Geopolitik Regional, dan Realitas Nasional)

9 November 2023   16:35 Diperbarui: 9 November 2023   16:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari segi komposisi demografis, Irak memiliki dua kelompok etnis utama, yaitu Arab dan Kurdi. Etnis Arab di Irak terbagi menjadi Arab Sunni dan Arab Syiah, sementara mayoritas etnis Kurdi mengikuti mazhab Sunni. Klasifikasi kelompok di Irak sering disederhanakan menjadi tiga kelompok utama, yaitu Syiah (sekitar 49%), Sunni (sekitar 24%), dan Kurdi (sekitar 15%). 

Setelah rezim Saddam Hussein, Irak mengalami kehilangan tiga pilar pemerintahan secara bersamaan, dengan pembubaran Partai Baath, militer, dan birokrasi. Upaya untuk mendirikan kembali struktur politik dilakukan oleh Amerika Serikat melalui pemilihan umum untuk membentuk parlemen, tetapi proses ini terhambat oleh ketidakmampuan parlemen untuk mencapai kesepakatan dalam merumuskan konstitusi baru Irak. Keberhasilan dalam mekanisme politik institusional tersebut gagal dan ini membuka jalan bagi perkembangan kelompok bersenjata yang didasarkan pada identitas.

Ketidakmampuan pemerintahan baru Irak setelah Saddam Hussein untuk membentuk militer yang bersifat non-sektarian mengakibatkan beberapa kelompok bersenjata efektif menguasai wilayah-wilayah tertentu. Saat ini, permasalahan utama di Irak masih terpusat pada kesulitan menemukan solusi politik yang dapat meredakan ketegangan antara kelompok-kelompok sektarian yang ada, yang berdampak pada keterbatasan birokrasi dan militer dalam mengendalikan seluruh wilayah. Akibatnya, Irak telah terbagi menjadi beberapa kantong kekuasaan di empat wilayah: wilayah di bawah kendali pemerintah pusat yang didukung oleh Amerika Serikat dan Saudi, wilayah otonom Kurdistan, wilayah yang dikuasai oleh kelompok Syiah yang didukung oleh Iran, dan wilayah yang dikuasai oleh Islamic State.

Situasi serupa juga terjadi di Suriah. Seperti Irak, wilayah Suriah juga terbagi menjadi empat area utama, yaitu: wilayah yang dikuasai oleh rezim Bashar al-Assad dengan dukungan dari Rusia dan Iran, wilayah yang dikuasai oleh kelompok oposisi yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Saudi Arabia, wilayah yang dikuasai oleh kelompok Kurdi, dan wilayah yang dikuasai oleh Islamic State atau kelompok oposisi lain yang relatif independen. Dalam perbedaan dengan Irak, di Suriah permasalahan bermula dari ketidakpuasan mayoritas publik terhadap kepemimpinan rezim Assad.

Ketidakpuasan ini mulai muncul pada masa kepemimpinan Hafiz al-Assad dan terus meningkat selama pemerintahan Bashar al-Assad. Untuk mengatasi ketidakpuasan publik, rezim Assad membentuk aliansi dengan kelompok aristokrat Sunni. Kebijakan liberalisasi terkendali yang diadopsi oleh Hafiz dan Bashar memberikan keuntungan kepada kelompok tersebut, tetapi merugikan mayoritas populasi Sunni. Kondisi ini membuat identifikasi aktor dalam konflik di Suriah menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan Irak. 

Selain itu, dalam konflik Irak, Amerika Serikat tampil sebagai pelaku eksternal yang terlibat secara langsung, sementara di Suriah, Rusia turut terlibat secara langsung. Keterlibatan kekuatan global yang mengalami penurunan (declining great power) dan kekuatan global yang sedang berkembang (rising great power) tentu memiliki dampak yang berbeda. Kekuatan yang mengalami penurunan biasanya memiliki komitmen terbatas dalam keterlibatan, berbeda dengan kekuatan yang sedang berkembang. Dengan demikian, konflik di Suriah mungkin menjadi lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan dengan di Irak.

Konflik ketiga yang memiliki dampak geopolitik besar adalah konflik di Yaman. Akar permasalahan di Yaman melibatkan sejumlah faktor yang juga terjadi di Irak dan Suriah. Pertentangan antara kelompok Sunni dan Syiah telah berlangsung dalam sejarah Yaman, meskipun penggunaan kekuatan bersenjata meningkat karena adanya disfungsi pemerintah setelah kepemimpinan Presiden Saleh. 

Serupa dengan Suriah, konflik bersenjata di Yaman dimulai setelah terjadinya perpecahan dalam tubuh militer, antara mereka yang mendukung Saleh dan mereka yang menentangnya. Perpecahan ini terjalin dengan persaingan antara kelompok Sunni yang didukung oleh Saudi Arabia dan kelompok Houthi (Syiah) yang berupaya mendatangkan Iran ke dalam konflik tersebut. 

Yang membedakan konflik di Yaman dari dua konflik lainnya adalah ketiadaan keterlibatan kekuatan global. Keterlibatan kekuatan-kekuatan regional dalam konflik internal memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan keterlibatan kekuatan global, terutama karena kekuatan-kekuatan regional tersebut berada dalam wilayah geografis yang sama. Keberadaan yang berdekatan ini meningkatkan potensi ancaman dan pelibatan tingkat regional, jika dibandingkan dengan keterlibatan kekuatan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun