Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Timur Tengah dalam Perspektif Geopolitik Kritis (Geostrategic Global, Geopolitik Regional, dan Realitas Nasional)

9 November 2023   16:35 Diperbarui: 9 November 2023   16:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: iStockphotos

Pertarungan ini semakin memperkuat dengan keberhasilan Hezbollah dalam perang melawan Israel tahun 2006 dan keberhasilan Hamas dalam perang melawan Israel tahun 2008-2009. Dampak dari pertarungan antara rezim dan kelompok-kelompok non-negara sebagai representasi Dunia Arab di publik Arab adalah melemahnya peran negara. Dalam situasi ekstrem, peran negara bahkan digantikan oleh kelompok-kelompok non-negara seperti Hezbollah di Lebanon Selatan, Hamas di Jalur Gaza, dan Islamic State di Suriah bagian Timur serta Irak bagian Barat.

Kedua, Perang Dingin Arab juga mencakup persaingan antara Saudi Arabia, yang mewakili aliran Islam tradisionalis, dan Iran. Dalam konteks ini, istilah Perang Dingin Arab diperluas maknanya menjadi Perang Dingin di Timur Tengah dan sering dianggap sebagai pertarungan antara kelompok Sunni dan Syiah. Persaingan antara Saudi Arabia dan Iran memiliki sejarah panjang dan dianggap sebagai konflik dengan tingkat eskalasi tertinggi di Timur Tengah. Perselisihan Saudi dengan Iran ini bahkan melebihi konflik Saudi dengan Israel (antara Islam dan Yahudi). Iran secara konsisten menggunakan isu anti-Israel sebagai elemen utama untuk membangun aliansi dengan kelompok-kelompok non-negara, baik yang beraliran Syiah seperti Hezbollah maupun yang berhaluan Sunni seperti Hamas.

Arena pertarungan antara kedua kekuatan utama di wilayah tersebut terjadi di negara-negara yang mengalami perpecahan etnis antara Sunni dan Syiah, serta di negara-negara di mana kapasitas pemerintah untuk mengendalikan wilayahnya mengalami penurunan. 

Variabel terakhir ini akan menentukan apakah konfrontasi antara dua kekuatan regional tersebut berujung pada kekerasan atau tidak. Kejadian di Bahrain menunjukkan bahwa ketika peran negara tetap kuat, pertarungan antara kekuatan regional tidak berkembang menjadi konflik sipil. 

Di sisi lain, situasi yang terjadi di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman menunjukkan hal sebaliknya, dengan konfrontasi antara kelompok non-negara dan negara Syiah, termasuk aliansi yang dibentuk oleh dua aktor terakhir. Dengan kata lain, dalam Perang Dingin Arab fase kedua, esensinya adalah pertarungan antara Saudi Arabia dan semua aktor lainnya. Meskipun demikian, terdapat juga pertarungan antara kelompok non-negara Sunni melawan negara Syiah dan kelompok non-negara Syiah, seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.

Pemetaan konflik regional tersebut tidak hanya mengungkapkan bahwa kelompok Syiah cenderung bersatu, sedangkan kelompok Sunni tidak demikian, tetapi juga menyoroti intensitas sektarian yang kuat dalam konflik di Timur Tengah. Walaupun demikian, aspek pertarungan sektarian, terutama antara kelompok Sunni dan Syiah, bukan satu-satunya elemen yang relevan dalam Perang Dingin Arab fase kedua. Aspek lain yang memiliki peran penting dalam pemahaman dinamika geopolitik Timur Tengah adalah fokus konflik di negara-negara yang mengalami gangguan dalam pemerintahannya.

Realitas nasional

Dari dua bagian sebelumnya, terlihat bahwa fenomena-fenomena dalam lingkup global dan regional berinteraksi dengan kondisi nasional, yang mencakup konflik sektarian dan disfungsi pemerintahan. Dengan demikian, isu-isu utama di Timur Tengah pada dasarnya muncul di negara-negara yang mengalami kedua fenomena lokal tersebut. 

Negara-negara di wilayah ini yang mengalami perpecahan kelompok berdasarkan etnis atau sekte mencakup: Israel/Palestina (Yahudi dan Arab-Palestina), Lebanon (Sunni, Syiah, Maronite, dan Druze), Irak (Sunni, Syiah, dan Kurdi), Suriah (Sunni, Syiah, Druze, Alawi, dan Kurdi), Yaman (Sunni dan Syiah), serta Bahrain (Sunni dan Syiah). Namun, penting untuk dicatat bahwa konflik terbuka dengan kekerasan cenderung tidak terjadi di negara-negara yang tidak mengalami disfungsi pemerintahan. Bahrain, dengan demikian, menjadi pengecualian karena pemerintah yang berkuasa mampu mengendalikan situasi dengan baik.

Situasinya berbeda di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman. Di negara-negara ini, keragaman kelompok berkonflik beriringan dengan penurunan legitimasi pemerintahan. Dalam kasus Israel/Palestina, pertarungan antara kelompok-kelompok itu dimulai sebelum tahun 1948, dan ketika Israel didirikan, konflik ini berubah menjadi konflik antar-negara. 

Sebaliknya, di Palestina, konflik baru muncul antara kelompok nasionalis dan kelompok Islamis. Oleh karena itu, terdapat empat contoh yang menjelaskan bagaimana disfungsi pemerintahan berdampak pada konflik sektarian, yaitu di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman. Dari keempat kasus ini, tiga konflik terakhir memerlukan perhatian serius dari komunitas internasional, termasuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun