Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Timur Tengah dalam Perspektif Geopolitik Kritis (Geostrategic Global, Geopolitik Regional, dan Realitas Nasional)

9 November 2023   16:35 Diperbarui: 9 November 2023   16:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: iStockphotos

Setelah Perang Dunia II, pemerintahan Truman sebelumnya membatasi peran Amerika Serikat di Timur Tengah dan membiarkan Inggris tetap menjadi kekuatan utama di wilayah tersebut. Namun, kemampuan Inggris sebagai kekuatan utama di Timur Tengah tergerus karena perlawanan dari negara-negara di wilayah ini atas berbagai alasan. 

Perang Enam Hari pada tahun 1956 dianggap oleh Eisenhower sebagai bukti ketidakmampuan Inggris dalam menjaga stabilitas di wilayah itu, yang juga mengundang intervensi Uni Soviet di Timur Tengah. Saat ini, berkurangnya pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah memberikan lebih banyak ruang bagi Rusia, yang sebelumnya telah berhasil memperluas pengaruhnya atas beberapa negara di wilayah ini, untuk kembali terlibat dalam berbagai isu di wilayah tersebut.

Kemudian, untuk menyeimbangkan pengaruh Amerika Serikat, terdapat setidaknya tiga alasan lain yang mendorong partisipasi Rusia di Timur Tengah, termasuk kekhawatiran akan penyebaran pengaruh kelompok-kelompok radikal Sunni dari wilayah ini ke kelompok serupa di Rusia, terutama di Kaukasus. 

Rusia juga perlu menjaga stabilitas harga minyak dan gas, mengingat ketergantungan ekonominya pada ekspor gas, sehingga stabilisasi harga menjadi penting untuk pendapatan Rusia. Selain itu, Rusia memiliki kepentingan dalam menjaga ekspor senjata ke negara-negara di wilayah ini. Selain itu, Amerika Serikat dan Rusia, ada juga upaya dari Tiongkok dan Uni Eropa untuk memengaruhi dinamika geopolitik di Timur Tengah. 

Namun, kekuatan global lain ini tidak memiliki kebijakan yang terstruktur dengan baik terkait Timur Tengah dan cenderung bersifat reaktif serta berfokus pada isu jangka pendek dalam wilayah tersebut. Rusia dan Tiongkok juga memiliki pandangan yang serupa dalam menghadapi masalah-masalah di Timur Tengah, dengan menekankan sikap anti terhadap intervensi.

Permasalahan dalam pergeseran kekuatan global di Timur Tengah bukan hanya terkait dengan munculnya kutub-kutub baru di wilayah tersebut, tetapi juga dengan kekosongan yang timbul seiring dengan penurunan kekuatan lama dan pertumbuhan kekuatan baru. Kekosongan ini kemudian dimanfaatkan oleh Al Qaedah dan Islamic State untuk mengembangkan kapabilitas mereka. Selain itu, kekosongan ini juga mengubah pola interaksi antara kekuatan global di wilayah tersebut, di mana kekuatan lama sering enggan menggunakan kapabilitasnya sendiri, sementara kekuatan baru belum mampu sepenuhnya menggantikan peran mereka. Situasi ini menciptakan interaksi antara kekuatan global dan kelompok-kelompok yang sudah ada di lapangan, menghasilkan konflik yang disebut sebagai proxy war.

Geopolitik Regional

Suatu pertanyaan yang muncul adalah apakah intervensi dari kekuatan global merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam memahami dinamika geopolitik di Timur Tengah. Gause berpendapat bahwa intervensi dari kekuatan global hanya dapat terjadi dan memengaruhi dinamika geopolitik di Timur Tengah jika ada pihak di dalam wilayah tersebut yang mengundang intervensi tersebut. 

Bagi Gause, akar utama dari ketidakstabilan di Timur Tengah adalah adanya Perang Dingin Arab, yaitu persaingan antara kekuatan utama regional. Istilah Perang Dingin Arab pertama kali diperkenalkan oleh Kerr pada tahun 1971 untuk menjelaskan persaingan antara Gamal Abdel Nasser dan lawan-lawannya di wilayah ini, termasuk Raja Faisal dari Arab Saudi. Persaingan ini melibatkan pertarungan ideologis antara sosialisme Arab atau nasionalisme Arab yang berkembang di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Irak, dengan Islam tradisional yang dipromosikan oleh Saudi Arabia dan didukung oleh negara-negara Teluk.

Fenomena Musim Semi Arab, atau Arab Spring, mengacu pada dua hal dalam istilah Perang Dingin Arab. Pertama, terjadi pertarungan antara rezim pemerintahan dan kekuatan-kekuatan sosial yang menginginkan perubahan radikal dalam tata kehidupan bernegara di Dunia Arab. 

Pertarungan ini dimungkinkan oleh globalisasi yang memungkinkan akses informasi publik terhadap dunia internasional. Dalam konteks ini, Valbjorn menyoroti perbedaan antara rezim yang berkuasa di Dunia Arab, baik yang bersifat Arab atau Islamis, yang mulai dipertanyakan legitimasinya oleh kelompok-kelompok non-negara seperti Hezbollah, Hamas, Al-Qaedah, dan Islamic State. Kelompok-kelompok ini justru semakin menguatkan legitimasinya sebagai representasi Dunia Arab di mata publik Arab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun