Setelah Perang dingin 1.0 yang terjadi pada periode tahun 1947-1991 yang membagi dunia dalam dua pengaruh kekuatan super power yaitu di Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dan Blok Barat dipimpin Amerika Serikat. Kemudian, setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1991 secara otomatis menyisakan satu kekuatan besar yaitu Amerika Serikat dan sekutunya yang menghegemoni dunia dalam beberapa dekade.Â
Namun, hal tersebut tidak berselang lama, beberapa tahun kemudian pasca Uni Soviet runtuh, Rusia dan China menjelma menjadi New Uni Soviet di era modern dengan pertumbuhan ekonomi dan militer yang berkembang secara signifikan.Â
Sehingga hal tersebut mengubah percaturan geopolitik global kembali memanas. Hal ini ditandai dengan beberapa konflik di berbagai kawasan misalnya pertarungan geopolitik di Laut China Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Timur (Ukraina).
Apabila ditinjau dari geostrategi dan eskalasi yang terjadi pola politik perang dingin 2.0 memiliki beberapa kemiripan, sehingga perang dingin 2.0 disebut juga sebagai reinkarnasi perang dingin 1.0, meskipun demikian motif utama konflik bergeser dari perang Idiologi ke perang dagang.Â
Namun, secara Substantif apa yang dimaksudkan perang dingin tersebut tetap saja bermuara pada upaya negara-negara super power untuk penguasaan sumber daya alam, posisi geopolitik strategis, perebutan pasar, dan penguasaan koneksivitas strategis jalur perdagangan dunia.
Hegemoni China di Laut China Selatan semakin tak terbendung. Sehingga, Amerika Serikat terus menggalang sekutunya dengan membentuk aliansi militer strategis yang disebut AUKUS (Australia, United Kingdom, dan United State of America),Â
sementara Tiongkok tetap tidak bergeming dengan klaim teritorialnya secara sepihak melalui Nine Dash Line atau Sembilan garis putus-putus yang menjadi suatu konsepsi penguasaan teritorial di Laut China Selatan atas dasar legitimasi historis di wilayah yang sangat penting dalam perdagangan dunia tersebut.Â
Nine Dash Line pun menjadi pintu gerbang bagi Tiongkok di dalam menjalankan seluruh konsepsi One Belt One Road (OBOR) yang berhadapan langsung dengan US Pasific Command yang akhirnya bermuara pada Trans Pacific Partnership yang didesain untuk membendung pengaruh Cina melalui perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.
Selain itu, eskalasi konflik di timur tengah juga semakin memanas. Konflik ini dipicu oleh berbagai hal diantaranya Pertarungan kepemimpinan diantara negara-negara di timur tengah yang di picu perbedaan madzhab (Sunni vs Syi'ah), klaim territorial, perebutan sumber energy strategis yaitu minyak dan gas yang melimpah dikawasan tersebut.Â
Konflik menjadi semakin meruncing ketika terjadi intervensi dari negara-negara besar yang semuanya bertarung dalam narasi yang berbeda, namun intinya sama yaitu memperebutkan sumber daya alam dan hasrat untuk menunjukkan hegemoni negara melalui kekuatan militernya. Hasilnya, dua kekuatan besar kini saling berhadapan.Â
Di satu sisi Arab Saudi dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa Barat, berhadapan dengan Iran dengan dukungan Rusia dan Tiongkok.
Begitupula yang terjadi di kawasan Eropa Timur khususnya Ukraina. Hal ini bermula Sejak Bucharest Declaration pada tahun 2008 di mana NATO mengundang Ukraina dan Georgia untuk masuk ke NATO, Pelengseran Viktor Yanukovich Presiden Pro Rusia dari tampuk kekuasan dan pencaplokan wilayah semenanjung Krimea oleh militer Russia pada tahun 2014,Â
konflik di Ukraina Timur antara militer Ukraina dan Milisi pro Russia di wilayah Donbass (Donetsk dan Luhansk) dan Puncaknya Invasi militer Russia ke Ukraina pada tahun 2022.Â
Hal ini tidak mengherankan karena Presiden Vldimir Putin sudah memberikan Peringatan keras akan melakukan serangan ke negara-negara tetangganya tersebut. Karena Putin menganggap kehadiran pangkalan militer asing di negara tetangga merupakan ancaman bagi Rusia.
Dalam beberapa konflik perang dingin 2.0 yang diuraikan diatas tentu akan berpengaruh terhadap tatanan geopolitik global. Apalagi Indonesia yang notabenenya merupakan negara terbesar ASEAN salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan industri dunia beberapa dekade belakangan ini telah terombang-ambing dalam bersikap atas situasi perang dingin dunia 2.0 yang terjadi saat ini.Â
Misalnya terkait kurang tegasnya sikap Indonesia dalam mengecam China yang mengklaim sebagian wilayah laut Natuna Utara, karena alasan bahwa China merupakan negara sahabat, kurang tegasnya sikap Indonesia dalam mengecam pembentukan Aliansi AUKUS yang membahayakan kawasan Indo Pasifik yang berstatus kawasan bebas Nuklir,
Tentu saja situasi saat ini sangat mencekam  dan Indonesia sebagai negara yang notabenenya negara non-blok tidak akan memihak kepada salah satu pihakpun demi menjaga netralitas dan agar salah satu Pihak baik itu Amerika dan sekutunya maupun Rusia dan China tidak ada yang tersinggung atas kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia,Â
maka dari itu berbagai kebijakan luar negeri pemerintah haruslah dipertimbangkan sematang mungkin agar status Indonesia sebagai negara Non-Blok tetap dipertahankan sebagaimana amanat konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H