Ada sebuah pertanyaan klasik yang seringkali muncul dalam benak mahasiswa hari ini. Mengapa harus repot-repot berpolitik di kampus?, Untuk apa membentuk koalisi atau rekonsiliasi politik ala mahasiswa?, Untuk apa bertarung dan memperebutkan pengaruh dari seluruh kawan-kawan mahasiswa kita?. Tidaklah cukup dakwah dengan menggunakan bil hal-bil lisan-bil qolam tanpa harus gontok-gontokan dengan organisasi lain katakanlah organisasi Aquaman vs organisasi Batman. Tidak lah cukup berdakwah secara kultural dan fardiyah?
Dalam hal ini banyak sekali pertanyaan yang perlu diajukan, sebelum kita istiqomah dan benar-benar mantap untuk masuk dalam kancah politik kampus. Karena realitasnya hari ini banyak mahasiswa yang sudah risih dengan Istilah politik. Â Untuk menjawab sekelumit pertanyaan tersebut perlu diadakan pembacaan yang komprehensif terhadap realitas kampus dan paradigma gerakan. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang sangat penting dipahami oleh mahasiwa hari ini. Dengan adanya paradigama dan bacaan yang komprehensif maka stratak (Strategi dan taktis) dalam perjuangan akan mendapatkan arah yang jelas.
Awal mula kita harus memahami mengenai Urgensi politik kampus, yang mana hal ini tidak bisa kita pungkiri bahwa kampus merupakan tempat lahirnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus, misalnya Soekarno dan Muhammad Hatta. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa Indonesia dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah kemerdekaan. Kampus sebagai miniatur negara menjadi tempat yang layak, karena didalamnya terjadi proses kaderisasi untuk menyemai benih-benih pemimpin bangsa.
Jika mencermati gerakan mahasiswa saat ini Ide-ide Revolusi sistemik, pemerintahan kaum muda (Junta muda) dll. merupakan sebuah tawaran segar yang tentunya memerlukan suatu telaah yang mendalam salah satunya Pemerintahan mahasiswa. Pemerintahan mahasiswa dapat diartikan sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun tidak sama dengan negara dimana konsepnya tidak lepas dari negara. Kalau boleh disederhanakan pemerintahan mahasiswa adalah gerakan mahasiswa yang dilembagakan.
Pemerintahan mahasiswa memiliki lima prinsip dasar yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen, dan sejajar.
Pertama, Gerakan moral
Sebelum gagasan gerakan mahasiswa ini kita kembangkan lebih jauh, agaknya kita harus terlebih dahulu bercermin pada diri kita terlebih dahulu. Gerakan mahasiswa terlepas dari idiologinya, dibesarkan dan dilahirkan oleh mahasiswa itu sendiri yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh suasana lingkungan kampusnya dan latarbelakang akademis. Dengan kata lain, mahasiswa adalah unsur dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Secara umum masyarakat memandang bahwa mahasiwa sebagai bagian kecil dari komunitas terdidik di negara ini. Tapi yang menggelikan tidak semua mahasiswa menyadari anugrah yang disandangnya. Bagi saya sebuah ironi ketika mahasiwa meneriakan slogan-slogan moralitas tatkala mahasiswa yang lainnya tidak bermoral. Seks bebas, ayam kampus, narkoba dll adalah sebuah fenomena yang tidak begitu saja dihilangkan dari ingatan kita. Jika mahasiswa seperti ini diberikan kesempatan memegang kendali, apa jadinya.
Kedua, Gerakan Intelektual
Gerakan mahasiswa yang berpatron pada gerakan intelektual memang diharapkan menghasilkan rumusan dan solusi konkret permasalahan bangsa sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Jika harapan ini terimplemtasi maka sebuah kebahagiaan bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi bagian komunitas yang peduli terhadap rakyat miskin yang tertindas. Dalam hal ini perlu dikembangkannya konsep Intelektual profetik. Konsep ini dapat di definisikan sebagai gerakan yang meletakan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal, gerakan yang mengembalikan secara tulus dialetika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal, gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Dengan konsep Intelektual profetik ini, maka gerakan mahasiwa akan menjadi patron bagi masyarakat untuk melakukan pencerahan dan penyadaran. Namun celakanya, konsep pendidikan yang ditawarkan saat ini lebih mementingkan kebutuhan pragmatis. Hasilnya adalah mahasiswa berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya sebelum batas akhir yang seringkali membawa dampak keengganan mahasiwa untuk ikut dalam pergumulan membicarakan masyarakat yang teraniaya, apalagi berorganisasi dengan aktif.
Ketiga, Gerakan Politik
Pemerintahan mahasiwa merupakan gerakan politik, sebagai gerakan politik memiliki artian menjalankan fungsi control (oposisi) terhadap kebijakan, baik kampus maupun negara. Hal ini lebih berarti jika ada jalinan antar gerakan mahasiswa, paling tidak ada isu ataupun musuh bersama. Sebagai contoh turunnya soeharto dari tampuk kekuasaannya sebagai presiden pada tahun 1998 merupakan salah satu contoh betapa kuatnya gerakan mahasiswa tatkala bersatu. Namun pasca lengsernya soeharto, gerakan mahasiswa tidak lagi memiliki kesamaan terutama dalam hal strategi apa yang akan digunakan dalam melaksanakan agenda reformasi.
Untuk mengokohkan peran politik ekstra parlementer, pemerintahan mahasiswa menggunakan strategi. Mempengaruhi dan berupaya berpartisipasi dalam pengambilan kebiakan public, mengawasi dan memantau pelaksanaan kebijakan public, serta memberikan penilaian dan advokasi terhadap pelaksanaan kebijakan public.
Keempat, Bersifat Independen
Independen memiliki arti tidak terpengaruh kepentingan kelompok tertentu wabil khusus diluar mahasiswa itu sendiri. Sejarah orde lama memberikan kita pelajaran bahwa partai politik mempunyai kepentingan dengan menggarap mahasiswa. Tidak heran jika pada waktu itu ada anggapan jika HMI adalah alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII nya, PNI dengan GMNI nya dan PKI dengan CGMI nya. Meskipun memang, tidak bisa dipungkiri bahwa ekspresi gerakan mahasiwa adalah ekspresi moral yang berdimensi politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada moral dan Intelektual. Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, gerakan mahasiwa tidaklah berpolitik pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya.
Kelima, Sejajar dengan pihak manapun
Hal ini adalah sebuah keberanian dari gerakan mahasiswa yang akan menjadi Bahasa perjuangannya. Sehingga dengan pihak manapun gerakan mahasiswa mempunyai hak dan kesempatan yang sama, dalam hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara luas. Namun, apa boleh buat jika ternyata mahasiswa bahkan secara umum apatis, masa bodoh terhadap kondisi kampusnya. Perlu energy yang besar untuk merubah paradigma berpikir. Sehingga, untuk menghadapi pihak pihak dari luar mahasiswa harus mengatasi kondisi internal mereka sendiri. jadi membutuhkan energy dua kali.
Lima prinsip dasar diatas merupakan basis bagi pengembangan pemerintahan mahasiswa dalam kampus, maupun jaringan antar kampus. Dengan adanya proses internalisasi lima prinsip diatas, maka gerakan mahasiswa dengan elemen yang dimilikinya, akan menjadi kekuatan pressure grup yang efektif terhadap decision maker baik di kampus maupun negara.
Setelah memahami pemerintahan mahasiswa maka perlu juga memahami keuntungan dan strategi pemerintahan mahasiswa. Dalam hal ini perlunya dibentuk pemahaman yang sebenarnya mengenai politik kampus. Maka kita perlu mengetahui beberapa keuntungan memasuki arena politik kampus.
- Dengan membuat partai kampus dan aktif dalam kegiatan politik kampus, maka ada kesempatan menyuarakan kepentingan kita dan mayoritas mahasiswa konstituen. secara praktis tujuan-tujuan dakwah akan tersampaikan melalui mimbar legislative.
- Dengan mendudukan wakil mahasiswa di Himpunan Jurusan, Senat Mahasiswa, Dewan eksekutif mahasiswa maka kebijakan kampus dapat kita awasi, control dan rekomendasi.
- Mengawali kultur positif tentang pengelolaan lembaga mahasiswa, dengan mengembangkan kultur jujur dan amanah, maka mahasiswa konstituen akan benar-benar merasa terwakili dan diayomi, disinilah nilai dakwah terinternalisasi.
Untuk memaksimalkan sebuah kemenangan, maka perlu memikirkan strategi yang paling menguntungkan bagi dakwah dengan catatan tidak terseret dalam gelombang pragmatism. Strategi yang sebagaimana yang digunakan Rasulullah dahulu, yaitu Al-Tahalluf (koalisi) dengan kekuatan perubahan dalam struktur masyarakat. Akumulasi kekuatan perubahan akan menjadi pressure grup paling efektif. Dalam siyasah, terdapat perjuangan pada tingkat parlemen atau yang biasa disebut dengan masyarakah ijabiyah banna-ah (Partisipasi positif konstruktif). Dengan metode demikian, maka elemen dakwah yang berpolitik akan terlibat secara maksimal dalam pemberian masukan bagi eksekutif dan pemberlakuan atau penolakan sebuah kebijakan.
Jika elemen dakwah di kampus sudah siap masuk dalam pusaran politik kampus, maka seyogyanya pertanyaan-pertanyaan pada poin diatas, sudah tidak lagi dilontarkan. Memasuki wilayah politik berarti harus siap segalanya. Ingat akan Thariq Bin Ziyad di tepi Andalusia (Spanyol) yang membakar kapal anak buahnya dan meneguhkan perjuangan di depan mata. Mungkin sekarang saatnya kita teriakan. Jangan pernah mundur walau setapak, karena mundur adalah pengkhianatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H