Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Laporkan Capres dan Ancaman Tembak Karena Debat, Bukti Kurangnya Pemahaman Terhadap Tradisi Intelektual

15 Januari 2024   01:37 Diperbarui: 15 Januari 2024   01:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Instagram @aniesbaswedan

Suasana panas ternyata tidak hanya terbatas dan berhenti pada forum Debat Capres Ketiga yang diselenggarakan oleh KPU, 7 Januari 2024 kemarin.

Ketegangan dan persaingan antar Capres berlanjut hingga ke luar arena debat, turut memancing pendukung bertindak agresif. Terutama bagi tim sukses, yang juga menjadi pemain langsung di lapangan, saling serang pernyataan.

Sah-sah saja sesungguhnya jika para Capres saling serang dalam hal argumentasi, sehingga yang terjadi adalah kontra argumentasi, visi misi, kinerja, hingga sikap dari masing-masing Capres.

Tetapi ada yang menarik pada sesi Debat Capres Ketiga kali ini, argumentasi di dalam prosesi debat menjadi bahan pelaporan ke Bawaslu.

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan dilaporkan ke Bawaslu lantaran dinilai menyerang pribadi Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto.

Fatalnya, ada yang sambil merespons Debat Capres dengan (dugaan) upaya pengancaman tembak kepada Calon Presiden Anies Baswedan, dan kini pelakunya sedang diamankan oleh aparat kepolisian.

Dua sikap ini, yaitu melaporkan Capres dan melakukan pengancaman tembak Capres karena materi debat merupakan bukti kegagalan dalam memahami tradisi debat.

Seakan serba salah, jika debat disiarkan secara umum dan bebas ditonton oleh semua orang, risikonya bagi orang yang tidak memahami seni berdebat dan seluk beluk perdebatan akan menjadi beringas.

Sebab debat hanya mentradisi di kalangan masyarakat yang terdidik, yang memahami pertengkaran pikiran, tradisi intelektual, dan memahami bahwa debat adalah pertengkaran argumentasi sebagai ganti dari pertengkaran fisik.

Jika debat tak disiarkan secara umum juga salah, karena setiap rakyat Indonesia yang akan dipimpin oleh Capres-Capres itu, harus menyaksikan secara langsung ide-ide kepemimpinan dari masing-masing calon.

Para peserta debat, yaitu ketiga Capres itu sendiri sebagai orang yang lebih memahami apa itu debat, mestinya memahamkan kepada para pendukungnya, ini tradisi intelektual, bukan tradisi adu jotos.

Juga terlalu naif jika agresivitas Capres dalam menyerang dikatakan sebagai serangan yang sifatnya personal. Seharusnya apa yang disebut sebagai 'serangan personal' harus didefinisikan kembali.

Serangan personal harusnya diberi batasan, misalnya jika menyerang ciri fisik, status sosial, gender misalnya, SARA, atau menghina dari segi apapun.

Tetapi selama hal itu berkaitan dengan program, visi misi, pengambilan keputusan, sikap, keberpihakan, argumentasi, tanggapan, dan lain sebagainya, hal itu wajar-wajar saja, tidak perlu dilaporkan ke Bawaslu atau harus mendapatkan ancaman penembakan.

Dalam debat capres ketiga malam itu, bukan hanya Prabowo yang mendapatkan serangan, bahkan ketiga Capres saling serang. Itu wajar saja. Semuanya mendapatkan kesempatan yang sama.

Upaya pelaporan dan pengancaman karena tradisi debat, apalagi secara resmi diselenggarakan lembaga negara sekelas KPU, ini sungguh lucu untuk ukuran zaman kini. Orang-orang itu seakan tidak memahami tradisi intelektual, salah satunya adalah debat.

Tetapi namanya juga negara demokrasi, orang bebas mengungkapkan pendapat, termasuk juga bagi para pelapor Capres karena argumentasi debat, bebas melakukan tindakan pelaporannya. Meskipun sikap itu menandakan ketidaksiapan menerima kekalahan argumentasi dari Capres junjungannya.

Yang tidak wajar adalah pengancaman bakal tembak Capres tertentu. Itu sikap yang melanggar hukum. Sudah sepantasnya yang bersangkutan menjalani prosesnya.

Lalu apa jadinya jika pelaporan Capres Karena debat diterima? Logika akan memandang bahwa sikap agresif dalam debat walaupun masih dalam koridor, akan dipandang sebagai suatu pelanggaran, sekalipun itu sifatnya pelanggaran etika dan bukan pidana.

Kalau begitu, maka debat Capres adalah ide konyol, KPU adalah pihak yang mestinya dipersalahkan jika debat hanya menghasilkan pelaporan demi pelaporan, dengan alasan kata-kata tidak pantas dari sang Capres.

Sesungguhnya jika ditelisik lebih jauh, fenomena pelaporan dan ancaman tembak Capres berawal dari masalah tafsir terhadap argumentasi debat. Penonton sudah dikuasai oleh suasana fanatisme buta sebelum dimulainya debat.

Alasan 'menyerang personal' adalah awal mula terjadinya salah tafsir itu. Dalam debat capres ketiga di malam itu tidak ada satupun Capres yang menyerang ciri fisik, kelas sosial, SARA, atau melakukan penghinaan.

Semua Capres masih dalam batasan gagasan, visi dan misi, program, maupun sikap dan keberpihakan. Adapun pertanyaan dan jawab dari para Capres itu tidak dapat ditanggapi dengan baik oleh yang lainnya, itu soal lumrah saja.

Lagi pula semua itu adalah bahan penonton untuk menilai, siapa yang pantas untuk mereka pilih nantinya.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun