Jika para pemegang kekuasaan merasa dirinya ditindas, diintimidasi, dan bermental korban, maka orang-orang biasa harus bagaimana? Ya, harus lebih peka dong!
Sementara para pemegang kekuasaan itu punya fasilitas, uang, gaji, harta yang banyak, kehormatan, kedudukan, dan tentu kekuasaan itu sendiri. Mereka punya banyak modal untuk menang, dan tidak masuk akal bisa ditindas.
Fenomena kekuasaan merasa tertindas ini muncul pasca debat Capres ketiga yang diselenggarakan KPU pada tanggal 7 Januari 2024, dipicu oleh serangan Capres nomor urut 1 Anies Baswedan terhadap Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto.
Banyak yang menilai bahwa serangan Anies Baswedan menyasar personal, bukannya program, dan rupanya pandangan ini didukung kekuasaan. Presiden Jokowi dalam keterangannya di media menyoroti serangan yang diduga bersifat pribadi ini.
Meskipun tidak secara terbuka Presiden menyebut Calon yang mana. Jelasnya Presiden membaca ada serangan yang bersifat personal, sehingga Presiden menyarankan ke KPU, format debat harus diubah.
Publik sudah sadar betul bahwa pihak yang mengalami serangan yang diduga bersifat personal itu adalah Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto. Sebagian publik media sosial bahkan memviralkan aksi 'tangisan untuk Prabowo'.
Sesungguhnya publik tidak usah menangis, karena serangan dalam debat itu lumrah, walaupun diduga bersifat personal. Seharusnya yang diserang mampu menangkis segala serangan dengan kemampuan mengelola retorika yang memadai.
Sebab jika serangan atas Capres Prabowo ditangisi, akan semakin mengesankan bahwa Prabowo tidak dapat membela dirinya sendiri. Bahwa Prabowo harus dikasihani, padahal serangan dalam debat bukan hanya Prabowo sendiri yang mengalami.
Anies dan Ganjar pun kerap kena serangan, bahkan bukan oleh Prabowo semata, melainkan juga dari para pendukung masing-masing yang punya catatan digital pernah menyerang Capres dukungan orang lain.
Terlalu berlebihan kiranya jika publik harus membela Prabowo mati-matian dan kurang membela yang lainnya. Posisi Prabowo pada saat debat sesungguhnya sudah sangat diuntungkan dengan tema "Pertahanan dan Keamanan".
Sebab itu merupakan bidangnya Prabowo, dia pelaksana kebijakan yang bisa ngomong lebih banyak karena menguasai persoalan. Jika dikuliti bahkan oleh seluruh hadirin di forum debat itupun, Prabowo pasti punya jawaban, sepanjang pengalamannya di dunia pertahanan.
Prabowo bisa menjelaskan banyak hal tanpa harus membuka data pembelian alutsista yang katanya rahasia. Misalnya Prabowo bisa menjelaskan tentang tanah HGU yang dipersoalkan, atau indikasi orang dalam sebagaimana yang dikatakan oleh Anies Baswedan.
Belum lagi Prabowo diuntungkan oleh banyaknya harta yang dimilikinya. Tidak usahlah dihitung HGU yang dipersoalkan Anies, total harta kekayaan Rp2 triliun menurut laporan LHKPN saja itu sudah sangat lumayan.
Belum jabatan, pangkat, reputasi, gaji, dukungan parpol-parpol besar, serta kedudukannya di mata publik, serangan Anies itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan itu semua.
Lalu mengapa publik yang menangisi Prabowo itu tidak menangisi kehidupan orang-orang biasa saja? Orang-orang yang setiap hari harus memutar otak mencari uang memberi makan keluarga?
Orang-orang yang karena kesusahannya lantas mengkritik pemerintah, dan dianggap sebagai penjahat, padahal kebijakan yang tidak merata dialaminya.
Mengapa para pengkritik selalu dipandang sebagai penjahat? Karena kekuasaan yang selalu minta dikasihani, jangan dikritik, jangan diserang, sementara mereka punya banyak fasilitas yang menjadi sumber kenyamanan hidup sehari-hari.
Sementara terkadang kekuasaan tidak merasa kasihan terhadap orang-orang biasa yang jadi menderita karena kebijakan yang mereka buat, merugikan buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin.
Semua penyebabnya hanya 1, karena kekuasaan merasa tertindas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H