Kampanye calon pemimpin itu memang seharusnya tidak semata untuk menggalang dukungan, tetapi juga sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat supaya melek politik.
Pihak yang paling bertanggung jawab terhadap untuk memperkenalkan dunia politik kepada masyarakat tidak lain adalah para kontestan. Mereka yang akan 'menjual dirinya' kepada masyarakat secara langsung, tentu banyak berkomunikasi dengan masyarakat.
Seperti dalam menghadapi Pilpres 2024, baik Capres maupun Cawapres lagi sibuk-sibuknya kampanye, turun ke masyarakat dengan pelbagai metode.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan punya metode yang menarik dan tidak monoton. Di saat rame-ramenya kontestan politik mengumbar baliho, kaos, dan stiker yang sudah barang tentu mengharuskan modal duit yang banyak, Anies malah umbar kata-kata.
Label yang disematkan lawan-lawan politik Anies, bahwa Anies itu hanya pandai menata kata, akan melihat betul-betul gaya kampanye Anies kali ini. Bahwa kata-kata bisa memiliki kekuatan yang mengubah.
Kemahiran berkata-kata juga menandakan isi kepala yang padat, siap dimuntahkan lewat cangkem, dan itu kalau dikelola dengan pandai bisa mempengaruhi orang banyak. Presiden Soekarno salah satu yang punya kemampuan ini.
Model kampanye Anies menarik. Jika blusukan selama ini adalah turun ke masyarakat sambil lewat, singgah, bercakap sedikit, sopan, dan tak perlu ada kritik.
Anies punya 'blusukan plus' (meskipun dia dan timnya tidak pernah menyebut kata ini), yaitu turun ke masyarakat plus dialog secara terbuka dan bebas, namanya 'Desak Anies'.
Desak Anies bebas didatangi siapa saja. Masyarakat diberi kesempatan bertanya dan berkata-kata apa saja, baik untuk memuji, mengkritik, bertanya, memberi pernyataan, maupun memprotes terhadap Anies.
Anies akan meladeni pertanyaan, pernyataan, kritik, protes, pujian itu secara langsung, berhadap-hadapan tanpa sensor, tanpa setingan, tanpa potongan, tanpa teror, tanpa upaya pembungkaman, tanpa takut, tanpa ancaman UU ITE, dan tanpa rasa khawatir.
Gaya kampanye ala Desak Anies ini sesungguhnya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Di dalamnya masyarakat bisa menggali seluk-beluk dunia perpolitikan yang dilakoni Anies.
Sekaligus masyarakat juga bisa menguji gagasan, baik gagasan Anies maupun gagasan masyarakat sendiri sebagai penanya.
Adu gagasan dan adu argumen secara terbuka, apabila ini dibiasakan, bukankah secara tidak langsung turut mengajak masyarakat berpikir soal masalah bangsa?
Desak Anies secara tidak langsung menciptakan tradisi dialog antar anak bangsa, yang apabila salah satunya merasa kekurangan, atau katakanlah kalah dalam berargumen, terpacu untuk memperkaya referensi.
Tentu tidak semata referensi dari buku. Segala hal yang disaksikan dan dibaca, itulah referensi. Kemudian masyarakat bisa saling berdialog, berdiskusi untuk menentukan arah bangsa, meskipun acara Desak Anies sudah lewat dan berpindah ke daerah lain.
Hal yang lebih penting adalah, Desak Anies membangun kesetaraan antara manusia pemimpin dan manusia dipimpin. Dialog secara terbuka semakin memperjelas tidak ada pengistimewaan di antara salah satunya.
Tidak seperti tradisi yang selama ini dibangun oleh kekuasaan, di mana pihak yang ditanya selalu lebih cerdas dibanding yang bertanya. Pihak yang ditanya menentukan pertanyaan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Pada tahap lebih lanjut, para penanya tidak boleh mengucapkan kata lain, selain Wakanda dan Konoha.
Sebab kalau tidak, penjara menanti anda.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H