Gaya kampanye ala Desak Anies ini sesungguhnya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Di dalamnya masyarakat bisa menggali seluk-beluk dunia perpolitikan yang dilakoni Anies.
Sekaligus masyarakat juga bisa menguji gagasan, baik gagasan Anies maupun gagasan masyarakat sendiri sebagai penanya.
Adu gagasan dan adu argumen secara terbuka, apabila ini dibiasakan, bukankah secara tidak langsung turut mengajak masyarakat berpikir soal masalah bangsa?
Desak Anies secara tidak langsung menciptakan tradisi dialog antar anak bangsa, yang apabila salah satunya merasa kekurangan, atau katakanlah kalah dalam berargumen, terpacu untuk memperkaya referensi.
Tentu tidak semata referensi dari buku. Segala hal yang disaksikan dan dibaca, itulah referensi. Kemudian masyarakat bisa saling berdialog, berdiskusi untuk menentukan arah bangsa, meskipun acara Desak Anies sudah lewat dan berpindah ke daerah lain.
Hal yang lebih penting adalah, Desak Anies membangun kesetaraan antara manusia pemimpin dan manusia dipimpin. Dialog secara terbuka semakin memperjelas tidak ada pengistimewaan di antara salah satunya.
Tidak seperti tradisi yang selama ini dibangun oleh kekuasaan, di mana pihak yang ditanya selalu lebih cerdas dibanding yang bertanya. Pihak yang ditanya menentukan pertanyaan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Pada tahap lebih lanjut, para penanya tidak boleh mengucapkan kata lain, selain Wakanda dan Konoha.
Sebab kalau tidak, penjara menanti anda.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H