Sayangnya Muhaimin Iskandar atau Cak Imin tidak dapat lolos dari jebakan itu. Jebakan yang sesungguhnya tidak substansial, tapi Gibran akan dianggap berhasil karena pertanyaannya dianggap sulit.
Ini mengingatkan pada debat Capres tahun 2019, di mana Jokowi waktu itu menanyakan TPID kepada Prabowo, dan secara sengaja Jokowi tidak menjelaskan apa itu TPID walaupun hanya menyebut kepanjangannya.
Trik itu sukses membuat Prabowo ditertawai, padahal hanya singkatan, dan itu sesungguhnya tidak substansial, remeh-temeh, tidak berdampak pada cara berpikir, atau menghasilkan sesuatu yang berarti, sama sekali tidak.
Penampilan yang agaknya mengecewakan datang dari Cak Imin. Bukan karena pengetahuannya yang terbatas, tetapi karena tidak mampu meniru kemampuan Anies dalam hal teknik berdebat.
Cak Imin kalah dalam hal psikologi komunikasi, dia tidak memanfaatkan celah yang dibuka oleh lawan debatnya. Cak Imin tidak membaca posisi dan memainkan posisi itu untuk menaklukkan lawan debatnya.
Sehingga Cak Imin memandang poin debat hanya pada narasi yang sedang dipercakapkan, dia hanya meladeni sesuai kata-kata yang ditanyakan, tidak berupaya membalikkannya menjadi serangan walaupun berupa satire.
Cak Imin tidak sepiawai Anies dalam mematikan lawan debat melalui argumen balasan.
Tetapi, Cak Imin tetap unggul dan menjadi harapan sebab masih lantang menyuarakan "selepet" perlawanan, berani mengambil posisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Orang yang tidak mengalami kesulitan, kesusahan, dan ketimpangan karena kebijakan pemerintah, tidak akan mengerti mengapa harus melawan.
Mereka yang tidak membaca kebijakan hari ini yang menyebabkan sekelompok masyarakat susah, menimbulkan ketimpangan hukum, serta ketimpangan ekonomi, tidak akan mengerti apa artinya perlawanan.
Juga bagi mereka yang tidak merasa kekuasaan serta alat negara dipakai untuk menjegal lawan politik, atau dipakai untuk memuluskan ambisi pribadi dan golongan, tidak akan merasa bahwa melawan itu perlu.