Kelak wacana yang berkembang itu akan terkonfirmasi, atau bahkan akan mental ketika bertemu sesi debat selanjutnya. Boleh jadi Anies yang memikat di sesi pertama tidak lagi demikian pada sesi kedua hingga selanjutnya.
Pun demikian dengan Ganjar-Mahfud, apakah akan konsisten di posisi yang gamang, ataukah justru akan membuat blunder pada sesi-sesi debat selanjutnya.
Jika benar swing voters ini didominasi oleh anak muda, lebih spesifik mahasiswa, maka konsep dan komitmen Capres dan Cawapres lebih banyak ditunggu ketimbang janji-janji bombastis.
Maka tak heran jika Anies begitu rajin menjumpai anak muda, di kampus-kampus, ataupun di sudut-sudut jalan untuk berdiskusi atau bahkan berdebat.
Anies sepertinya membaca swing voters dominan di wilayah ini. Lalu dirinya membuka diri, bebas untuk ditanya apa saja, dan dengan kepiawaiannya menata kata meladeni semua hal yang ditanyakan.
Beruntungnya Anies tidak berada di pihak kekuasaan, segala keluh kesah yang disampaikan pada pertemuan-pertemuan yang dihadirinya bukan mengarah kepadanya.
Ganjar juga kadang menyempatkan diri menghadiri forum-forum mahasiswa dan pemuda, tetapi tidak seintens Anies. Ganjar lebih menyasar basis-basis andalan PDIP, semisal masyarakat di Indonesian Timur, atau basis-basis wong cilik di daerah lain.
Maka sesungguhnya swing voters tidak boleh dianggap remeh. Sekalipun menurut survei Litbang Kompas swing voters tinggal 28,7 persen, tetapi itu sangat berpengaruh.
Hal ini sekaligus menjadi alasan bahwa debat Capres dan Cawapres itu penting, karena swing voters tinggal mengandalkan debat sebagai data tambahan untuk mendukung data-data yang sudah mereka peroleh.
Debat pun bukan terbatas pada forum debat itu sendiri, tetapi lebih jauh yaitu di dalam maupun di luar arena debat, yang masih dalam masa dan suasana Debat Capres-Cawapres.
Fatal kiranya jika salah satu kubu Capres dan Cawapres meremehkan debat ini, yaitu tempat mengumbar retorika, karena swing voters juga salah satunya butuh itu.***