Para pembenci retorika diperlihatkan di dalam debat Capres itu, bahwa debat bukan hanya soal retorika belaka. Tetapi juga cara berkomunikasi, bahasa tubuh, gaya komunikasi, emosi, cara berpikir, persepsi, ideologi, keberpihakan, semua terkuak di dalam debat itu.
Capres itu calon pemimpin, bukan calon karyawan, karenanya wajib pandai beretorika. Dia memimpin, stakeholdernya dari level pusat hingga daerah akan bergerak karena pengaruh retorika sang pemimpin.
Ketika terpilih dia berpidato di hadapan tamu kenegaraan, bisa dibayangkan, jika tak pandai beretorika maka pidato pun dikendalikan oleh teks yang disusun, tidak mahir dalam mengimprovisasi tema-tema pembicaraan.
Tetapi dapat dimaklumi, para pembenci retorika itu barangkali bukan pengagum Soekarno, yang justru dikenal pikiran-pikirannya karena retorika, baik secara lisan maupun tulisan.
Sesuai nasihat gurunya, dan juga guru bangsa, H.O.S. Tjokroaminoto bahwa bicalah seperti orator dan menulislah seperti wartawan.
Demikianlah Pemimpin harusnya pandai beretorika, dengan begitu dia akan terus berpikir dan menggerakkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H