Bisa saja dibuat pengandaian bahwa dengan memilih Denny Indrayana dan partai Demokratnya, tidak lantas serta merta mendukung paslon Prabowo-Gibran.
Pengandaian itu sifatnya kemungkinan. Kemungkinan lainnya juga bisa berarti bahwa pendukung partai Demokrat sekaligus juga adalah pendukung Prabowo-Gibran, plus Jokowi.
Mengapa Denny Indrayana tidak berdiri di pihak yang melawan Jokowi dan anaknya secara terang-terangan?
Beranikah Denny Indrayana berdiri di kubu Anies-Muhaimin, pihak yang secara langsung berhadap-hadapan dengan Jokowi plus Gibrannya?
Tetapi bisa dipahami, Denny Indrayana mungkin terlanjur menjadi caleg Demokrat sewaktu partai yang dipimpin Anak SBY itu masih berada di kubu Anies.
Sehingga jika Denny Indrayana keluar dari Demokrat, dirinya tidak bakal dapat perahu sebab DCS (Daftar Calon Sementara) hingga DCT (Daftar Calon Tetap) sudah ditetapkan.
Denny Indrayana tidak akan bisa mencalonkan diri melalui Partai pendukung Anies-Muhaimin sebab persoalan DCS dan DCT tadi.
Maka konsekuensi yang harus ditanggung Denny Indrayana kini adalah tidak menjadi bagian dari kubu Capres dan Cawapres yang melawan politik dinasti secara langsung, yaitu Anies-Muhaimin.
Sedangkan kubu Ganjar-Mahfud bukanlah lawan Jokowi dan Anaknya, Gibran. Konsep dan logika pembangunan antara Ganjar-Mahfud dan Jokowi masih sama.
Ganjar-Mahfud boleh jadi menampilkan diri mengkritik Jokowi, dengan maksud meluruskan pemerintahan yang kini mangkir dari berpihak kepada rakyat.
Tetapi di sisi lain, tidak ada konsep antitesa terhadap visi pembangunan Jokowi. Pembangunan IKN menjadi salah satu contohnya, Ganjar-Mahfud tidak akan melawan kebijakan Jokowi yang satu ini, sebab pola pikirnya sama.