Motif Ki Hadjar menjadi pejuang pendidikan lebih condong kepada isu kesetaraan, hak-hak, ketimbang melihat kebodohan pada masyarakat itu sendiri. Lagipula, pendidikan ala kolonial barat seringkali berupaya menjauhkan masyarakat dari kebudayaan dan agamanya sendiri, sehingga sekolah  seringkali menjadi tempat untuk melakukan penindasan secara agama dan kebudayaan.
Oleh sebab itulah, Ki Hadjar memandang perlunya kesetaraan pendidikan bagi rakyat, serta pendidikan itu mesti berbasis kepada kebudayaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Kebudayaan asing, yang sudah terlanjur merasa diri sebagai menifestasi pencapaian tertinggi peradaban, tidaklah manusiawi bagi masyarakat kecil.
Cara pandang barat--khususnya kolonialisme--inilah yang dilawan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu cara pandang yang meletakkan masyarakat dunia ketiga (masyarakat jajahan) sebagai masyarakat yang tertinggal, yang dicemooh, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Cara pandang ini serupa dengan anak-anak kita yang bercita-cita tinggi. Mata mereka mirip dengan mata kolonialisme yang memandang rendah rakyat biasa, rakyat petani, rakyat buruh, rakyat nelayan. Mereka enggan bercita-cita menjadi petani bukan karena miskinnya, tetapi karena kerendahan kasta mereka.
Padahal, sektor pertanian bisa seperti di negara kita ini lantaran pengelolaannya yang tidak tepat, kurang diperhatikan, tidak disadari sebagai penopang utama sumber daya pangan negara. Dengan demikian, semakin lengkaplah penderitaan para petani.
Bandingkan dengan di negara-negara Eropa dan Amerika, apa yang disebut pertanian di negara-negara itu? Pertanian adalah dunia yang dikelola oleh orang bersepatu, berseragam bagus, dan peralatan lengkap. Serta petani adalah seorang feodal, pemilik tanah yang mempekerjakan buruh, serta hasil produksi mereka luar biasa pesatnya.
Petani di Indonesia juga feodal, pemilik tanah. Bedanya mereka tetap miskin. Belum habis uang untuk membayar upah buruh tani yang bekerja pada mereka, pupuk serta pestisida juga rupanya perlu diongkosi. Lantas, jika panen hanya sakit hati, lantaran gabah melimpah, negara tetap impor beras.
Hal-hal seperti ini tidak akan pernah diungkap di ruang kelas. Jika anak sekolah terlalu prematur untuk mengetahui hal ini semua, minimal tenaga pengajar yang studi di perguruan tinggi jurusan pendidikan, melihat masyarakat terdidik sebagai lulusan lembaga pendidikan, namun amat jarang yang mau menyadari nasib ril masyarakat lainnya (buruh, tani, dan nelayan).
Jika tenaga pendidik, guru, dan orang tua saja gagal memahami realitas masyarakatnya, maka jangan harapkan anak didik kita yang akan memahami segala realitas itu. Lalu mengharapkan visi pendidikan membebaskan masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan. Itu semua nonsens.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H