Begitupun dengan keinginan menjadi presiden atau kepala daerah atau calon anggota legislatif, anak-anak kita sewaktu mengungkapkan cita-citanya tidak sedang berpikir jauh sampai kepada strategi pemenangan, koalisi, efektivitas baliho, strategi serangan fajar, hingga penjagaan suara di TPS.
Belum lagi, jika maju berkontestasi dengan menggunakan uang pemodal, kemudian setelah menang dituntut pengembalian, salah satunya mungkin berupa meloloskan proyek di daerah bersangkutan. Jika sudah seperti itu, maka potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi besar. Profesi ideal dan mulia, pada saat itu terancam berubah menjadi profesi yang mendatangkan kehinaan.
Lalu mengapa hampir tidak ada di antara anak-anak itu yang bercita-cita menjadi petani? Bukankah bertani adalah pekerjaan yang mulia? Cobalah renungkan ketika sedang menghadapi makanan di meja, lalu berdoa, sembari membayangkan bagaimana jerih payah petani mulai menanam padi, merawat, memanen, hingga tersaji di hadapan kita dan siap untuk disantap.
Akan halnya nelayan yang bertaruh nyawa di atas samudra, demi menghadirkan ikan-ikan segar lagi enak di meja makan, yang memanjakan tenggorokan kita melalui pelbagai cara pengolahan, ditambah aneka sambal cocol dalam memberi kenikmatan pada lidah.
Tidak lain karena di kepala anak-anak kita, petani itu derajatnya rendah, bukan suatu kesuksesan, tidak dapat diandalkan. Jika mereka berasal dari keluarga petani, maka kelak mereka harus menjadi orang berbeda, minimal menjadi PNS yang berseragam.
Mereka juga harus menjadi anak yang membawa keluarganya keluar dari nasib kepetanian, menuju ke kehidupan yang lebih pantas, berbekal pendidikan yang mereka punya kini.
Terbiasa dengan paradigma memandang rendah kaum petani--yang di antaranya mungkin tak lain termasuk orang tuanya sendiri--dan hanya memandang ke cita-cita yang jauh dari kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari, membuat anak-anak kita menjauh dari realitas.
Mereka melihat dunia dari sisi khayalan, standar yang tinggi. Bukannya memandang dunia dalam realita yang sebenarnya. Lalu menjadikan realitas itu basis pengetahuan untuk mengabdikan ilmu.
Dan yang paling terpenting, sikap--memandang rendah kelas petani dan juga termasuk kaum buruh serta nelayan--itu bertentangan dengan jiwa Ki Hadjar Dewantara--jika hardiknas pada akhirnya diidentikkan dengan pribadi beliau.
Ki Hadjar Dewantara mendasarkan pemikirannya pada realitas masyarakat. Kehidupan masyarakat yang berdiri di atas sikap diskriminatif pemerintah kolonial, terutama soal pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi keturunan Belanda dan keturunan bangsawan belaka.