Tidak sampai seminggu menjelang hari raya Idul Fitri, tepatnya pada 16 april 2023, seorang kurir di salah satu perusahaan swasta dikabarkan oleh Tribunnews.com mengeluh perihal paket yang menjelang lebaran makin membludak saja. Ia mengaku sudah capek, dan meminta masyarakat untuk berhenti dulu melakukan pesan barang secara online.
Gara-gara paket menumpuk dan tidak tahu kapan surutnya, kurir tersebut mengaku terpaksa harus bekerja keras menghabiskan mengantar paket. Mana hari sudah dekat lebaran.
Seharusnya di waktu-waktu itu ia mendapat kepastian, atau setidaknya gambaran bakal istirahat dan menikmati liburan lebaran bersama keluarga, mengalihkan sejenak pikiran dari hiruk pikuknya pekerjaan di lapangan selama setahun.
Namun jauh kenyataan dari harapan, derita sang kurir didukung oleh permisifnya negara, melalui Surat Edaran Menaker nomor 3 tahun 2022, terhadap perusahaan yang tidak memberi cuti bersama bagi karyawan, dengan dalih cuti bersama di sektor swasta bersifat fakultatif, atau pilihan; tergantung kesepakatan antara (serikat) pekerja dengan pengusaha.
Juga melalui UU nomor 13 tahun 2003 pasal 85 ayat 2 yang berbunyi:
"Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha."
Sedang kata "kesepakatan" yang ada di dalam surat edaran mentri maupun di dalam undang-undang, pengertiannya paling banter adalah kesepakatan tertulis antara pekerja dan pemberi kerja; antara perusahaan dan buruh yang tertuang dalam kontrak perjanjian kerja. Padahal poin-poin kesepakatan itu berasal dari perusahaan, dan buruh hanya harus sepakat jika ingin tetap bekerja.
Bukan kali ini saja, sekira setahun yang lalu dan beberapa tahun belakangan, keluhan serupa kerap terdengar, juga dari yang berprofesi sebagai kurir. Antara lain ada yang mengatakan, "Stop pesan online, kami juga mau lebaran," serta kalimat semisalnya yang sering dijumpai baik di media sosial maupun di pemberitaan.
Malangnya, kurir yang juga dapat disebut sebagai karyawan, atau dapat pula disebut buruh itu, malah mendapat komentar yang kebanyakan bernada kecaman ketimbang dukungan.
Sebagian mungkin menyangka kurir tersebut, karena merupakan karyawan di perusahaan itu, adalah bagian dari penentu kebijakan perusahaan. Oleh karenanya sebagian menanggapi keluhan kurir itu dengan kalimat semisal "sudah risiko ...," atau "siapa suruh ...," serta bahasa-bahasa ketidakpedulian lainnya.