Ketika memeriksakan diri ke dokter, dokter akan terlebih dahulu bertanya tentang keluhan pasien sebelum memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter kemudian akan mencocokkan hasil pemeriksaannya dengan keterangan si pasien.
Artinya, jika pasien keliru dalam mengungkapkan keluhannya, kemungkinan dokter juga akan keliru dalam membuat keputusan medis, termasuk pemberian obat.
Pertanyaan dokter untuk menggali riwayat penyakit atau keluhan pasien disebut anamnesa, atau wawancara medis. Pentingnya anamnesa, menurut Bernard Lown, bisa memberikan informasi hingga 75 persen bagi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara tepat.
Artinya, proses pengobatan dalam dunia kedokteran secara umum tetap mendahulukan informasi dari pasien ketimbang kemampuan dokter dalam menganalisis penyakit melalui pemeriksaan fisik.
Oleh sebab itulah buku Husen A. Bajri yang berjudul "Tubuh Anda adalah Dokter yang Terbaik", memberikan informasi bahwa selama kita dapat mengenal dengan baik signal yang diberikan oleh tubuh kita, selama itu pula kita dapat terhindar dari penyakit.
Jika demikian, maka dokter dan obat-obatan adalah jalan terakhir manakala diri sendiri tidak mampu mencegah penyakit, serta membutuhkan bantuan orang lain--yaitu dokter sebagai orang yang ahli dalam bidang kesehatan--dalam mengobati penyakit yang diderita.
Lagipula dalam dunia medis, ada dikenal dengan efek plasebo. Yaitu, misalnya, dokter meyakinkan pasien jika meminum obat yang diberikan, maka sakit kepala pasien tersebut akan reda. Padahal yang diberi dokter bukan obat sakit kepala.
Pada kasus ini, penyebab sembuhnya pasien bukanlah obat yang diberikan, melainkan keyakinan pasien itu sendiri, akibat sugesti yang diberikan oleh dokter tadi.
Tetapi paradigma bahwa dokter atau obat sebagai media utama penyembuhan tidak sepenuhnya keliru. Situs-situs yang memuat konsultasi dokter secara daring juga menegaskan bahwa bahaya jika melakukan diagnosis sendiri terhadap penyakit, tanpa berkonsultasi dengan dokter. Ada banyak kasus yang berujung fatal sebagai akibat dari diagnosa dan upaya penyembuhan diri sendiri.
Sayangnya, tidak semua orang mempercayakan pengobatan atas penyakitnya ke dokter. Dukun ataukah ahli pengobatan tradisional menjadi alternatif bagi mereka.
Ada beragam alasan, mulai dari perbandingan harga, cepatnya penyembuhan, hingga kepercayaan bahwa ada penyakit tertentu yang tak dapat disembuhkan secara medis.
Selain dari pemikiran pasien itu sendiri, tidak jarang pula beredar cerita tentang oknum tenaga medis yang menyarankan untuk berobat ke "orang pintar", gara-gara penyakit tidak ditemukan setelah dilakukan diagnosa atas keluhan pasien.
Namun secara umum, dunia kesehatan medis tidak menyarankan pengobatan ditempuh melalu jalur alternatif. Pasien tetap akan disarankan ke dokter atau ke rumah sakit. Alasan utamanya adalah pengobatan alternatif tidak dijamin keamanannya.
Misalnya mengenai obat-obatan tradisional, BPOM melalui situsnya di tahun 2006 tidak menyarankan atau bahkan melarangnya, sebab tidak ada jaminan apakah obat-obatan tersebut bercampur dengan zat kimia berbahaya atau tidak.
Juga mengenai metode atau teknik pengobatan tradisional, tidak dapat dijamin keamanannya sebab pelaku pengobatan alternatif tidak mengantongi izin berupa sertifikat dari lembaga kesehatan yang resmi, atau ijazah dari perguruan tinggi jurusan kesehatan, sebagai lisensi bahwa pelaku pengobatan benar-benar terpercaya baik secara keilmuan maupun pengalaman.
Lain halnya dengan dokter, atau tenaga medis lainnya. Mereka mengantongi ijazah sebagai bukti bahwa mereka telah dinyatakan pantas untuk melakoni profesi layanan kesehatan.
Maka tak heran jika kemunculan Ida Dayak yang viral melakukan pengobatan alternatif melalui ritual dan cara khusus itu, menjadi persoalan saat ini. Dunia medis sudah pasti tidak menyarankan pengobatan ditempuh dengan cara seperti itu.
Sementara, Ida Dayak seakan menjawab kebutuhan masyarakat yang inginnya sembuh dengan cepat, lagipula murah, serta terbukti berhasil. Juga masyarakat melihat, dalam hal pengobatan patah tulang, cara Ida Dayak lebih pasti, ketimbang dengan cara medis yang harus pakai gips, atau operasi, yang penyembuhannya lama dan mahal.
Dari fenomena viralnya Ida Dayak itulah, kita dapat melihat bahwa kesembuhan dengan cara yang tidak masuk akal dan tidak digaransi keamanannya, lebih penting ketimbang prosedur pengobatan medis yang rasional.
Pengobatan medis yang merupakan produk dari sains rupanya kurang diminati ketika cara yang non-sains lebih membuktikan efisiensinya. Hal ini seakan membuktikan bahwa sains tidaklah digdaya.
Sebaliknya, dunia medis yang memenuhi standar sains yang positivistik (empiris dan rasional) menganggap bahwa pengobatan alternatif semacam Ida Dayak tidak memenuhi syarat ilmiah. Sedangkan keilmiahan lah yang paling mendekati kebenaran sebab metodenya yang terpercaya.
Ini berarti bahwa ilmiah dan tidaknya sesuatu--termasuk dalam hal kesehatan--bukan merupakan tolok ukur  kebutuhan masyarakat. Yang masyarakat butuhkan adalah harapan mereka tercapai--yakni kesembuhan, meski secara ilmiah kebenaran metodenya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini juga seakan menepis anggapan bahwa sains adalah satu-satunya yang menjawab problem masyarakat di masa kini, sebagaimana wacana yang terbangun dalam "polemik sains" antara A.S. Laksana, Goenawan Mohamad, hingga Hamid Basyaib di awal tahun 2020 itu.
Nyatanya, jangankan filsafat dan agama--yang diklaim tidak lebih efektif ketimbang sains, bahkan yang mistis dan yang irasional sekalipun, terkadang lebih dibutuhkan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI