Presiden Jokowi akhirnya menunjuk anak muda berusia 32 tahun, Ariotedjo, sebagai Menpora. Setelah Menpora sebelumnya, Zainudin Amali, sebab ingin fokus pada tugas barunya mengurusi sepakbola, dari kursi Wakil Ketua I PSSI.
Penunjukan mentri muda ini menimbulkan sejumlah tanya, apa iya mentri semuda itu akan siap mengurusi olahraga di tanah air? Apalagi untuk melanjutkan program-program yang ada untuk waktu yang tersisa, 1,5 tahun ke depan. Jelas bukan perkara mudah.
Tetapi, tentu saja Presiden Jokowi bukan tanpa alasan mengapa harus menunjuk yang muda menjadi menteri? Di balik itu pasti ada ekspektasi.
Kita tahu, bahwa bukan kali ini saja Presiden Jokowi memasukkan mentri muda ke dalam jajaran kabinetnya. Dulu, Mentri Nadiem Makarim dilantik sebagai Menteri Pendidikan juga dalam usia yang cukup muda, 35 tahun.
Bisa ditebak dari kepribadian Presiden Jokowi yang enerjik, aktif, serta menyukai inovasi, bukan tidak mungkin menunjuk mentri muda tanpa ekpektasi yang seirama dengan tiga hal tadi (enerjik, aktif, dan inovatif).
Mengingat olahraga merupakan bidang yang cukup populer, utamanya sepakbola, mentri muda yang baru ini diharapkan lebih punya ide-ide segar dalam mengembangkan olahraga, serta memberi solusi-solusi yang lebih realistis atas problem yang kerap menimpa dunia olahraga tanah air.
Dulu, banyak yang kaget mengapa CEO Gojek bisa menjadi mentri pendidikan? Usut punya usut, sang CEO dipandang akan mampu memajukan dunia pendidikan lewat inovasi teknologi. Presiden Jokowi punya ekspektasi itu.
Setelah bidang pendidikan, kini bidang olahraga. Sepertinya punya motif yang sama, olahraga juga perlu lebih inovatif, cara-cara jadul dalam mengurusi sepakbola sudah harus ditinggalkan.
Apalagi, mentri baru Dito Ariotedjo ini punya segudang pengalaman mengenai sport. Baik dari segi bisnis maupun partisipasinya mendampingi kontingen olahraga Indonesia untuk bertanding ke luar negeri. Tentu ia dianggap mumpuni untuk memajukan olahraga tanah air.
Maka kedepannya, Menpora yang baru, muda, dan enerjik ini, perlu menuntaskan setidaknya 3 hal ini:
1. Mengusut Kembali Kasus Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan yang memakan 135 korban jiwa itu memang sudah diusut, pelaku-pelakunya sudah divonis melalui pengadilan, tetapi masih menyisakan sejumlah kejanggalan, yang menunjukkan bahwa kasus Kanjuruhan belum tuntas.
Pertama, pihak keluarga korban sampai hari ini menginginkan keadilan. Ini bukannya bermakna dendam atau belum legowo terhadap takdir. Tetapi hati yang semakin luka akibat tidak adanya keadilan.
Kedua, hal di atas itu disebabkan proses pengadilan yang dianggap tidak fair. Mulai dari vonis yang dianggap tidak sesuai; kesimpulan hakim bahwa kesalahan pada angin, bukan tersangka; serta Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru yang dianggap turut bersalah tetapi tidak kunjung diadili di pengadilan hingga saat ini.
Jika kasus Kanjuruhan tidak dituntaskan, maka citra hukum kita menjadi cacat. Orang-orang akan berpikir bahwa dengan begitu mudahnya para pelaku tragedi besar ini melepaskan diri dari kesalahannya.
Citra sepakbola tanah air juga menjadi tercoreng. Salah satu buktinya adalah alasan mengapa FIFA mencoret Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia U-20, yaitu perkembangan sepakbola Indonesia yang belum kondusif. Lalu Pemerintah diminta fokus untuk membenahi sepakbola tanah air pasca "... tragedi oktober 2022." Seperti yang tercantum di dalam rilis FIFA.
2. Memperbaiki Mental Suporter Sepakbola yang Gemar Tawuran
Menpora memang dituntut untuk menaungi seluruh macam cabang olahraga. Tetapi biar bagaimanapun, sepakbola adalah cabang yang terbesar, terpopuler, dan paling bergengsi. Sekaligus yang paling sering bermasalah.
Kanjuruhan merupakan tragedi yang terbesar. Tetapi kericuhan-kericuhan pada level yang lebih kecil juga banyak. Di kampung halaman saya pribadi, sudah menjadi pemakluman bahwa hampir setiap even pertandingan sepakbola, setiap itu pula ada kerusuhan.
Baru-baru ini pula, antara suporter Persis Solo dan Persib Bandung terlibat kerusuhan, hingga menyebabkan kerusakan stadion Pekan Sari, Bogor. Serta banyak lagi insiden kericuhan yang terjadi di tengah lapangan.
Inilah wajah sepakbola kita yang mungkin membuat FIFA memandang Indonesia belum siap menjadi tuan rumah. Penanganan kasus Kanjuruhan yang tidak maksimal, ancaman keributan sebab penolakan timnas Israel, serta mental suporter maupun pemain sepakbola kita yang suka ribut.
Kericuhan bukan hanya soal faktor pertandingan sepakbolanya. Tetapi juga kualitas manusia-manusianya. Maka perlu adanya upaya pembinaan SDM. Setiap klub atau tim sepakbola mesti dimintai komitmen menjaga ketertiban timnya. Juga komitmen itu terhadap para pemain atas suporternya.
3. Menjernihkan Proporsi antara Politik dan Olahraga
Menyatakan bahwa harus memisahkan politik dengan olahraga sebenarnya merupakan pernyataan yang berbahaya. Apakah olahraga benar-benar bisa dipisahkan dari politik?
Tahun 1942 dan tahun 1946 piala dunia batal digelar, sebab berkecamuknya perang dunia. Ini merupakan bukti bahwa politik dengan pelbagai arah kebijakan dan situasinya dapat memengaruhi jalannya even olahraga.
Menpora juga perlu menafsirkan haluan kebijakan negara. Kaitannya dengan insiden penolakan timnas Israel U-20, bukan semata karena kepentingan politik parsial, tetapi itu merupakan garis kebijakan politik luar negeri.
Jika memang wujud membela Palestina tidak harus menolak timnas Israel, maka penjernihan inilah yang perlu. Menpora perlu aktif mengampanyekan wacana yang lebih moderat.
Sebab menyerukan pemisahan antara politik dan olahraga, berpotensi menimbulkan lupa sejarah bagi masyarakat kita.
Ingatlah bahwa dahulu Presiden Soekarno beberapa kali menolak keikutsertaan Israel baik di even-even olahraga maupun di forum internasional.
Penolakan itu bukannya atas dasar sentimen pribadi, tetapi arah kebijakan, serta ideologi negara tidak cocok dengan kebijakan politik Israel terhadap Palestina.
Membela Palestina pun bukan semata karena rasa empati, tetapi memang kutipan pembukaan undang-undang yang menyerukan "... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan."
Semoga dengan menuntaskan ketiga hal ini, kepercayaan FIFA terhadap Indonesia bisa kembali, dan Indonesia kembali ditunjuk sebagai tuan rumah piala dunia baik U-20, ataupun U-17.
Dan semoga dengan ini, mental suporter sepakbola kita bisa menjadi lebih baik, kericuhan tak ada lagi, serta kepercayaan publik dunia akan wajah sepakbola Indonesia dapat kembali dan meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H