Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (4): Umat Islam vs Umat Islam; Berkaca pada Varian Muslim Tanpa Masjid

28 Maret 2023   13:56 Diperbarui: 28 Maret 2023   14:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muslim tanpa masjid lain, mereka bukan berasal dari masjid mana. Tidak terakomodir menjadi anggota ormas mana. Mereka yang berkembang jatidirinya menjadi seorang muslim melalui bacaan-bacaan--kata Kuntowijoyo (plus) lewat kaset-kaset serta sumber-sumber anonim lainnya.

Mereka memahami Islam yang bukan sekadar ritual peribadatan. Islam harus mendorong terjadinya keadilan sosial, serta berupaya untuk mengakhiri segala ketimpangan sosial. Fokus mereka bukan bagaimana tata cara wudhu dan salat yang benar. Tetapi soal penindasan, diskriminasi, eksploitasi, neoliberalisme, malpraktik kekuasaan, serta perbaikan nasib bangsa.

***

Demikian juga dalam kasus mendukung Anies di tahun 2024. Boleh-boleh saja jika "umat Islam" memilih Anies karena merasa Anies adalah representasi "umat Islam". Sah-sah saja memilih Anies karena sentimen keagamaan. Negara demokrasi hanya memfasilitasi menggunakan hak pilih, tetapi tidak ada larangan soal motif memilih. Intervensi motif berarti juga intervensi kebebasan memilih, dan itu tidak demokratis.

Inilah yang pantas disebut politik identitas, fokus utamanya karena identitas Islam itu, yang belakangan ini merasa didiskreditkan oleh pihak yang berkuasa sekarang. Apa bedanya misalnya memilih Jokowi karena ia dari kelompok nasionalis atau marhaenis, bukan karena ia memiliki kompetensi dalam memimpin negara.

Lain hal kalau memilih Anies utama karena kompetensinya, yang kebetulan ia adalah orang Islam. Identitas Islam di sini dijadikan hal yang sekunder. Baru bisa disebut motif yang rasional. Tetapi, sekali lagi, dalam dunia demokrasi motif apapun sah-sah saja selama tidak menimbulkan huru-hara.

Mari kita melihat tanggapan Budiman Sudjatmiko atas orasi Buya Syafii Maarif di NMMC (dalam tulisan sebelumnya), ia menyebut politik identitas sebagai politik aliran. Namun tidak khas Islam. Bisa ras, bisa suku, bisa ideologi tertentu. Semua itu menjadi politik identitas jika ada perasaan tertindas dan menunjukkannya ke publik sebagai kondisi objektif hari ini. Lalu atas dasar itu, identitas yang tertindas dijadikan bahan untuk meraup suara di pemilu.

Fenomena saat ini di Indonesia, ada perasaan tertindas bagi mereka yang tak suka gerakan "umat Islam". Rasa ketertindasan itu bukan soal ekonomi, tapi berupa ancaman kekhawatiran, yang sesungguhnya rasa itu hanya berkutat sekitar ranah psikologis.

"Umat Islam" itu warna, kehadirannya mengancam yang "netral". Mungkin beginilah pola pikir penuduh Anies sebagai bapak politik identitas itu. Politik identitas berati politik warna, sedang yang netral (tanpa baju agama) adalah politik yang murni. Padahal netral bagaimana pun juga adalah warna, yang bisa dibedakan dengan warna Islam.

Tetapi kita semua sudah tahu, kalau tuduhan politik identitas itu hanyalah sebuah manuver politik. Stigma harus tetap diberikan demi mempengaruhi opini publik. Adapun netral, nasionalis, anti-politik identitas, itu adalah produksi wacana demi memenangkan kontestasi.

Pada akhirnya, apapun identitasnya, yang terburuk dari semua itu adalah malpraktik kekuasaan. Bagi pemimpin, atau bagi kepala negara, tidak usah dulu mengurusi apa agamanya, apa latarnya identitas politiknya. Yang penting adalah bagaimana dia menjalankan pemerintahan, kebijakannya merugikan rakyat dan negara atau tidak? Serta mampu menghadirkan rasa tentram bagi rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun