Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (4): Umat Islam vs Umat Islam; Berkaca pada Varian Muslim Tanpa Masjid

28 Maret 2023   13:56 Diperbarui: 28 Maret 2023   14:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Praktis saja, mahasiswa Islam tadi itu melakukan aksi demonstrasi pada 22 Mei 1998 (sehari setelah Soeharto lengser) menyatakan menolak Habibie sebagai Presiden, serta menolak Sidang Istimewa (SI) MPR yang akan memutuskan antara lain bahwa Pemilu 1999 mesti dipercepat.

SI MPR akhirnya digelar pada 10 - 14 november 1998. Sebelumnya, KUI diselenggarakan tujuh sampai tiga hari menjelang SI. Pada saat SI digelar, Pam Swakarsa (pasukan pengamanan sipil bersenjata tajam yang dibentuk oleh TNI) yang kata Kuntowijoyo berisi muslim yang taat itu, akhirnya bentrok dengan mahasiswa, kejadian itu dikenal dengan peristiwa Semanggi.

Menariknya, Pam Swakarsa berteriak di depan aparat bahwa mereka para mahasiswa itu bukan orang Islam. Sebab mereka berani melanggar keputusan yang dibuat oleh KUI. Bayangkan, tidak sejalan dengan KUI dijadikan penanda bukan Islam, padahal mereka juga muslim.

Selanjutnya, tanggal 27 november 1998, mahasiswa rencananya menggelar aksi besar-besaran. Tetapi MUI menghimbau agar jangan membuat kegaduhan di bulan suci ramadan. Akhirnya rencana demo itu dialihkan menjadi rencana salat tarawih berjamaah serta memperingati malam ke-40 korban peristiwa Semanggi, yang pada akhirnya pun batal dilaksanakan. Mahasiswa yang juga umat Islam itu pada akhirnya mengalah demi umat Islam yang lebih besar.

Fenomena ini bisa kita sebut dengan "umat Islam" vs "umat Islam". Antara mahasiswa Islam dengan orang-orang Islam yang sejalan dengan KUI dan mereka yang mendukung Habibie karena faktor ICMI atau karena Habibie ikon umat Islam.

Mengapa mahasiswa yang Islam itu menolak Habibie yang dianggap mewakili suara "umat Islam"? Sebab yang dilihat bukan karena kesamaan identitas. Jangan mentang-mentang Habibie itu ICMI dan didukung oleh KUI lantas dia wajib didukung oleh seluruh umat Islam (tanpa tanda kutip).

Mahasiswa melihat Habibie biar bagaimanapun adalah murid politik Soeharto, dia adalah warisan Orde Baru yang tentu masih akan memelihara tradisi politik Orde Baru. Serta jika SI MPR diterima, pemilu merupakan bentuk ketidakberdayaan mahasiswa.

Pemilu mengharuskan mahasiswa pasrah menerima kenyataan atas nama demokrasi, tuntutan yang mereka inginkan selama ini pupus sampai di situ saja. Lagipula, siapa yang akan percaya pada pemilu yang masih dalam suasana Orba? Menolak Habibie saja mereka sulit, apalagi jika pemilu 1999 ternyata masih mirip dengan pemilu yang selalu dimenangkan Soeharto, yang penuh rekayasa itu, dapatkah mereka tolak?

Oleh Kuntowijoyo, mahasiswa tadi disebut "Muslim Tanpa Masjid". Masjid di samping tempat muslim melaksanakan salat, juga merupakan institusi tempat menimba ilmu agama. Utamanya jika masjid rutin melaksanakan pengajian yang diisi oleh ustad-ustad.

Masjid juga representasi jamaah, sebuah penanda identitas. Ormas juga punya masjid. Atau minimal masjid kampus yang aktif melakukan pengajian lalu melahirkan sejumlah tokoh Islam, seperti Masjid Salman ITB atau Masjid Salahuddin UGM.

Masjid juga bisa berarti madrasah atau pesantren. Tempat seorang muslim belajar agama dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun