Maka output yang diharapkan para motivator adalah tipikal manusia yang memiliki kemampuan mengubah realitas, dari masalah menjadi solusi. Kelak, manusia-manusia bahagia adalah mereka yang tidak stres dalam menghadapi dan mengelola masalahnya sendiri. Malahan terkadang mereka mampu menyadari bahwa di setiap masalah, terdapat peluang untuk disulap menjadi income.
Jika konsep para motivator disebut sebagai jalan kebahagiaan, maka ada jalan kebahagiaan lain yang berbeda yang berasal dari satu aliran filsafat, namanya Stoa atau Stoikisme (stoic). Filsafat yang muncul sejak dua ribu tahun yang lalu. Filsafat yang dibawa antara lain oleh Zeno, Marcus Aurelius, Epictetos, dan Seneca. Stoa dalam alam modern berhasil dikonseptualisasikan oleh Henry Manampiring menjadi 'Filosofi Teras', buku yang ditulisnya itu.
Berbeda dari konsep para motivator yang melihat realitas atau masalah bisa diubah menjadi peluang, stoikisme malah mengajarkan bahwa realitas itu adalah sesuatu yang tidak dapat diubah dan ia berjalan di luar kendali kita. Yang bisa diubah dan dikendalikan adalah diri kita yang menghadapi masalah.
Sebab kehidupan adalah kontak langsung antara manusia dengan realitas. Realitas jika dipandang sebagai objek di luar diri, maka realitas adalah alam, ia punya hukum dan pergerakannya sendiri, yang berjalan di luar kendali manusia.Â
Oleh sebab realitas tak dapat dikendalikan, maka manusia sepatutnya tidak usah berpikir bagaimana mengubah kenyataan. Manusia cukup menyadarkan dirinya untuk menghadapi kenyataan dengan hati yang kuat. Menjadi 'batu' di hadapan realitas.
Manusia dalam pandangan stoikisme hanya bisa mengubah dirinya sendiri, yaitu apa yang disebut dengan emosi negatif, pikiran-pikiran yang tidak perlu, stres menghadapi realitas, semuanya itu tidak berguna. Dengan atau tanpa stres pun, masalah tetap tidak dapat diubah. Ia hanya perlu diterima.
Sebab realitas di lain waktu bukan lagi berupa masalah-masalah kita pribadi, tetapi ia bisa berupa respons orang lain terhadap diri. Utamanya di era medsos seperti sekarang ini; komentar, like, atau penilaian orang lain juga kerap menjadi masalah. Jika sadar bahwa penilaian orang lain adalah fakta yang tak dapat diubah dan dikendalikan, maka seseorang tidak akan menjadikan penilaian itu sebagai masalah.Â
Stoikisme juga mengajarkan hidup selaras dengan (hukum) alam. Ada sebuah contoh menarik: seekor anjing yang lehernya terikat pada sebuah gerobak yang berjalan, maka pilihan si anjing hanya dua, melawan arah atau ikut arah ke mana gerobak akan berjalan.
Jika si anjing melawan arah, kemungkinan ia akan tercekik, terseret, atau mengalami kemungkinan buruk lainnya. Tetapi jika si anjing mengikuti arah, ia mungkin akan sedikit letih berlari. Namun dari keletihan itu ia bisa melewati wilayah baru yang belum pernah dilihatnya, hitung-hitung menambah pengalaman si anjing, plus menikmati keindahan selama perjalanan ia mengikuti gerobak tersebut (contoh ini saya pinjam dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring).
Salah satu bentuk dari prinsip selaras dengan alam adalah menerima kematian. Orang-orang stoik tidak perlu sedih dan takut akan kematian, sebab itu adalah hukum alam yang tak dapat dikendalikan. Sedih, takut, maupun tidaknya, toh kematian juga akan datang.Â
Tetapi jangan lupa, stoikisme juga punya konsep premeditatio malorum, atau membayangkan kemungkinan terburuk dari satu kejadian. Itu dilakukan sekadar dalam rangka antisipatif, bukan untuk dipusingi ataukah berencana untuk mengubah kenyataan. Misalnya mengalami kemacetan di jalan, kemungkinan terburuknya adalah terlambat kerja dan dipecat. Supaya tidak terlampat dan dipecat, maka premeditatio malorum nya adalah bangun pagi-pagi dan berangkat kerja sejak dini.