Setiap manusia ingin hidup bahagia. Ajaran mengenai bagaimana menggapai kebahagiaan, sudah ada sejak zaman para filsuf Yunani. Bahkan tujuan mempelajari filsafat itu sendiri adalah supaya manusia dapat dengan mudah meraih kebahagiaannya. Minimal ia bahagia karena beroleh pengetahuan.
Namun ukuran kebahagiaan berbeda pada setiap orang. Ada yang meletakkan kebahagiaan pada hal-hal jasmani, ada yang meletakkannya pada aspek ruhani. Demikian pula jika mengukur kebahagiaan seseorang, secara kasat mata, orang yang berbahagia seringkali adalah mereka yang wajahnya selalu ceria. Seakan hidup mereka tanpa beban. Juga misalnya karena punya harta cukup, punya anak yang lucu-lucu, atau karena tak ada sesuatu yang perlu dipikirkan sampai stres sendiri.
Tetapi tunggu dulu, lihatlah para filsuf terdahulu yang dari segi penampilannya bagaikan orang yang tak diurus. Rambut acak-acakan; wajah mengkerut utamanya pada bagian dahi; dan matanya yang memandang tajam. Itu semua merupakan tanda bahwa mereka sedang atau terbiasa berpikir keras, dan tiada kebahagiaan bagi para filsuf selain dengan berpikir, dan karenanya beroleh pengetahuan.
Layaknya seorang bayi yang baru saja menemukan pengetahuan baru, misalnya baru tahu caranya berjalan sendiri, girangnya bukan main. Kegirangan itu merupakan tanda bahwa si bayi sedang bahagia dengan pengetahuan barunya. Demikian pula para filsuf, penemuan mereka dalam bidang metode berpikir tentu mendatangkan kebahagiaan tersendiri.
Demikianlah bahwa kebahagiaan tak dapat diukur dari tampilan maupun ekspresi wajah, bercermin dari kasus filsuf tadi. Dalam skala yang lebih besar, misalnya pada level negara, kebahagiaan belum tentu dilihat berdasarkan pendapatan suatu negara, yang sekaligus bisa menjadi indikator kesejahteraan.Â
Dengan kata lain, indikator kesejahteraan bukan berarti merupakan indikator kebahagiaan. Kompas.id setahun lalu (22 Januari 2022) melaporkan bahwa berdasarkan World Happiness Report 2021, Guatemala dan Uruguay memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dari Singapura. Padahal keduanya memiliki PDB yang jauh lebih rendah ketimbang Singapura: Singapura 390 miliar, Guatemala 84,5 miliar, Uruguay 56,7 miliar, masing-masing dalam bentuk dolar AS.
Meskipun ukuran-ukuran kebahagiaan itu berbeda-beda pada setiap levelnya, bahkan pada setiap orang, kebahagiaan juga mesti diukur. BPS menyatakan bahwa indeks kebahagiaan terbentuk dari tiga dimensi utama (1) dimensi kepuasan hidup, (2) dimensi perasaan, dan (3) dimensi makna hidup (kompas.id, 22/01/2022).
Tampaknya memang benar, dan kalau dilihat dari sisi sebaliknya, tentu orang-orang yang tidak berbahagia adalah mereka negatif dari ketiga sisi tersebut: merasa tidak mendapat kepuasan dalam hidup, perasaan (emosi) yang selalu negatif, dan selalu negatif dalam memaknai hidup.Â
Ketidakbahagiaan selalu mendatangkan masalah. Oleh sebab itu perlu dibukakan jalan kebahagiaan. Maka datanglah para motivator sebagai aktor yang berempati untuk mereka yang tidak berbahagia dalam hidupnya. Para aktor ini berupaya mengubah ketidakbahagiaan menjadi kebahagiaan di dalam forum-forumnya, bisa berupa training motivasi, konsultasi tips-tips dalam menjalani hidup, serta buku-buku motivasi yang sudah ditulis.
Sebagaimana ragamnya ukuran-ukuran kebahagiaan, teknik-teknik yang dipunyai para motivator juga beragam, tidak tunggal. Namun cenderung memiliki tipe yang sama, sehingga konsepnya juga cenderung sama. Umumnya kerangka pemecahan masalah kebahagiaan ala para motivator meliputi tiga hal: pertama, membuat para klien menyadari realitas, yaitu masalah adalah realitas itu sendiri; kedua, menyemangati diri klien dengan tips-tips; ketiga, dengan diri yang semangat dan mengantongi tips-tips hidup, klien akan mengubah realitas dari masalah menjadi solusi.