Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (3): Ethnie Nationalism dan Varian 'Umat Islam'

26 Maret 2023   23:29 Diperbarui: 26 Maret 2023   23:35 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka fenomena frasa "umat Islam" saat ini motifnya mirip dengan etno-nasionalisme tadi, yaitu perasaan menyatu dengan Islam karena menyadari sejarah bangsa kita yang tidak bisa dilepaskan dari Islam. Juga dari aspek identitas keagamaan, biar bagaimanapun, meminjam istilah Nurcholish Madjid dalam suatu kesempatan di Aula Yayasan Paramadina usai salat jumat (Lihat: Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman ..., 2009: 125), "dibolak-balik Indonesia tetap Islam".

Benar saja, Indonesia adalah penduduk mayoritas (80 - 90 persen), namun terbagi ke dalam pelbagai macam aliran pemikiran maupun aliran politik. Mari kita membuka kembali "Agama Jawa" nya Clifford Geertz, yang membagi umat Islam di Jawa ke dalam tiga golongan besar: abangan, santri, dan priyayi.

Bagi sementara orang, wacana Geertz boleh jadi sudah usang. Di samping klasifikasi masyarakat yang kurang tepat yaitu mencampurkan kategori kelompok berdasarkan aliran keagamaan dengan satu kelompok yang berdasarkan strata sosial, juga karena lebih banyak analisa lain yang lebih mutakhir, serta karena kebudayaan yang mengalami perubahan seiring perkembangan masyarakat. Tetapi tetap saja Geertz tidak dapat diabaikan.

Cakupan penelitian Geetz memang berkonteks lokal, dibatasi pada satu daerah di Jawa bernama Mojokuto--sebutan lain dari Pares, namun itu diyakini merupakan representasi yang bisa menggambarkan Jawa secara keseluruhan. Bahkan dalam beberapa kasus merupakan gambaran "agama (Islam) Indonesia".

Berangkat dari asumsi Jawa mayoritas Islam (sekira 90 persen), tetapi Islam terbagi antara lain ke dalam varian (1) abangan. Yaitu golongan masyarakat yang dalam hal keagamaan, lebih mementingkan upacara slametan, lebih menaruh perhatian terhadap ritual, ketimbang doktrin agama. Kewajiban agama tidaklah lebih penting dari keharusan menolak gangguan kekuatan gaib yang jahat. Secara umum, abangan diidentikkan dengan penduduk pedesaan.

Selanjutnya varian (2) santri, yaitu golongan masyarakat yang taat dalam menjalankan agama. Berkebalikan dengan abangan yang lebih mementingkan acara slametan, santri menempatkan perintah agama sebagai yang paling utama. Figur santri terdapat pada terutama ustad, kiai, ulama, serta ragam sebutan untuk pemuka agama lainnya, di samping juga orang biasa yang pengetahuan dan pengalaman agamanya baik. Santri diidentikkan dengan pedagang, kehidupan mereka dominan di pasar.

Serta varian (3) priyayi, golongan masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi dan etiket jawa. Geertz memberi perbedaan mendasar antara abangan dan priyayi pada kelas sosial, namun pemahaman keagamaan relatif sama dalam hal menaruh perhatian pada unsur supranatural. Abangan adalah kelas petani, yang menggunakan slametan untuk menahan kemurkaan dunia gaib, sedangkan priyayi adalah kelas bangsawan yang melakoni spiritualitas demi menjadi pribadi yang karismatik, berwibawa, dan terhormat. Priyayi lebih identik dengan kehidupan perkotaan.

Kategorisasi sekalian dengan definisi oleh Geertz tentang varian di atas tentu tidak relevan lagi sekarang. Ini adalah ciri yang datang dari masa-masa awal baik di era kolonial maupun di era pra-kolonial. Utamanya bagi kaum priyayi, ciri-ciri yang dikemukakan lebih cocok di era penjajahan di mana para bangsawan dijadikan pejabat administratif, sedang kekuasaan tertinggi berada di tangan orang asing.

Yang menarik adalah varian santri. Pada mulanya Geertz membuat ambiguitas dengan membedakan secara mendasar abangan dan santri dari sisi mementingkan slametan atau doktrin agama. Kelompok Islam sendiri pada akhirnya harus ia bedakan antara yang modernis dan yang konservatif. Agaknya yang dibedakan dari abangan adalah golongan santri yang modernis.

Sedang yang konservatif, perbedaannya hanya dari sisi pemahaman keagamaannya. Santri konservatif menghidupkan acara slametan bukan dalam rangka takut pada murka yang gaib (selain Allah), melainkan tidak lebih dari sekadar memelihara tradisi, menghidupkan syiar Islam, demi ketenangan batin, serta demi membangun solidaritas masyarakat.

Ada ilustrasi dari interaksi santri modernis dengan santri konservatif yang diselipkan Geertz dalam narasi bukunya. Kaum konservatif menilai kaum modernis kurang Islami, mereka dalam mengadakan rapat-rapat hanya membaca bismillah di awal dan membaca alhamdulilah di akhir. Dua lafal itulah yang masih menandakan bahwa mereka itu Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun