Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menyambut Ramadhan, Jalan Indah Menghapus Dosa

26 Maret 2023   07:09 Diperbarui: 26 Maret 2023   07:15 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah manusia yang luput dari dosa di muka bumi ini? Narasi kejatuhan Adam dan Hawa ke muka bumi, seakan membuktikan bahwa sejak asali, manusia sudah bergelimang dosa. Sekaligus menjadi tanda bahwa tidak ada manusia yang benar-benar suci--dari berbuat dosa, baik yang kecil maupun yang besar.

Jangankan melakukan hal-hal negatif, hal-hal positif pun jika dilakukan tidak dengan sebenar-benarnya, maka berpotensi akan mendatangkan dosa bagi pelakunya. 

Contohnya dalam membaca ayat suci Al-Quran, harus dibaca dengan benar menurut kaidah tajwid. Antara lain huruf-huruf harus dilafalkan sesuai makhrajnya (bagaimana cara huruf hijaiyah itu dibunyikan). Sebab jika tidak, salah baca berarti salah arti, sama dengan mengubah makna ayat yang sebenarnya, bisa berdosa.

Melalui Q.S. At-Tahrim (66) ayat 8, Islam mengajak manusia yang berdosa untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat nasuha). Minimal taubat itu dalam pengertian hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: menyadari kesalahan adalah taubat.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memberikan tips agar taubat bisa diterima oleh Allah, yaitu dengan memenuhi 3 syarat: pertama, menyesali segala perbuatan dosa yang telah dilakukan; kedua, meninggalkan dan menjauhi perbuatan yang menimbulkan dosa; ketiga, berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.

Dalam ajaran sufistik, ada istilah maqam, yaitu tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang penempuh perjalanan spiritual. Seorang Sufi besar Imam Qushairi An-Naisabury--kelak yang menginspirasi lahirnya sang maestro sufi cum filosof muslim, Imam Al-Ghazali--dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyah menempatkan taubat pada maqam pertama perjalanan spiritual.

Islam adalah agama rahmat, dan rahmat Allah begitu luas. Salah satu bentuk keluasan itu adalah penghapusan dosa dengan jalan yang indah, lebih dari sekadar narasi taubat, di mana manusia diingatkan akan ancaman atas kepongahan dirinya. 

Jalan indah itu adalah menyambut ramadhan, dengan kegembiraan. Namun, kegembiraan itu bukan hanya sebatas perasaan di dalam hati, melainkan wujudnya adalah melewati ramadhan dengan sebaik-baiknya, antusias, semarak, dengan cara menjalankan ibadah-ibadah di dalamnya dengan hati yang tenang.

Sebab penyambutan itu memerlukan bukti. Apa bukti yang menyatakan seseorang disebut menyambut ramadhan dengan kegembiraan dengan yang tidak? Tidak lain adalah ekspresi yang ditunjukkan dalam tindakan. Bagaimana sebaiknya menyambut ramadhan?

1. Mempersiapkan diri

Mengapa ramadhan harus disambut? sebab ramadhan adalah tamu. Dalam sebuah hadis, Nabi menyebut ramadhan mendatangi orang-orang beriman:

"Ramadhan telah mendatangi kalian. Bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan ini  pintu langit dibuka, pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka terhalangi dari kebaikan." (HR. Ahmad)

Layaknya tamu pada umumnya, ramadhan mesti disambut dengan sebaik-baiknya. Biasanya orang-orang akan membersihkan rumah, mengubah kebiasaan, lebih rajin dalam beramal, dan lain sebagainya. 

Hal tersebut sebagai wujud seseorang telah siap dalam menyambut bulan suci ramadhan. Berbeda halnya tanpa kesiapan, ramadhan dibiarkan datang begitu saja tanpa ada tanda bahwa seseorang telah menyambutnya, juga sebagai bukti bahwa ia tidak menyatakan kegembiraannya dalam menghadapi tamu agung itu.

2. Menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya

Rasulullah saw bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)

Hadis di atas selain mengumumkan ganjaran yang akan diterima bagi seseorang yang berpuasa dengan sebaik-baiknya, juga secara tersirat (semiotik) memberi tanda bahwa ada orang-orang yang berpuasa tidak karena dilandasi iman dan mengharapkan pahala (imanan wahtisaban).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, membenarkan tanda itu: "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya melainkan lapar dan dahaga, ...."

Orang-orang yang dimaksud itu adalah mereka yang menjalankan puasa sekadar rutinitas, tiba bulan ramadhan maka ia juga berpuasa. Tetapi tidak mengistimewakan bulan ramadhan dengan mengerjakan amalan-amalan di dalamnya, juga tidak mengubah kebiasaannya demi menyambut ramadhan.

3. Menegakkan ramadhan dengan salat tarawih

Serupa dengan hadis riwayat Bukhari tentang berpuasa karena iman dan dengan mengharapkan pahala, hadis Nabi yang lain (juga riwayat Bukhari) mengatakan: 

"Barang siapa yang menegakkan Ramadan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya."

Perbedaan kedua hadis tersebut terletak pada redaksi shoma, yang berarti berpuasa, pada hadis pertama, dan redaksi qoma, yang berarti mendirikan atau menegakkan, pada hadis kedua.

Mendirikan ramadhan, dalam beberapa terjemahan, dimaknai sebagai salat tarawih. Misalnya jika kita periksa pada kitab Riyadus Shalihin karya Imam Nawawi, yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih terbitan Karya Utama Surabaya. Di sana kata qoma diterjemahkan menjadi salat tarawih.

Bukan hanya salat tarawih, mendirikan puasa juga dengan tadarus Al-Qur'an, memperbanyak sedekah, serta melaksanakan i'tikaf, yakni berdiam diri di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.

Tanpa qoma ramadhana imanan wahtisaban, atau melaksanakan salat tarawih tetapi hanya sekadar ikut-ikutan, maka seseorang yang berpuasa hanya akan jatuh kepada apa yang dimaksud dalam penggalan hadis riwayat Imam Ahmad berikut: "... dan berapa banyak orang yang salat malam tidak mendapatkan bagian dari ibadahnya melainkan bergadang saja."

Mencermati ketiga hal yang telah disebutkan di atas beserta hadis-hadis yang dicantumkan, maka terdapat persamaan antara mekanisme taubat dengan penyambutan bulan suci ramadhan. Yakni sama-sama dapat menghapus dosa.

Perbedaanya, pada narasi taubat tidak menyertakan batasan waktu dosa yang diampuni. Namun hadis tentang mendirikan dan mengerjakan puasa ramadhan menyebut secara eksplisit 'diampuni dosa-dosanya yang telah lalu'.

Jika direnungkan lebih dalam, tidakkah menyambut bulan suci ramadhan juga merupakan taubat itu sendiri? Yang lebih luas, lebih indah, dan lebih membahagiakan? Demikianlah kasih sayang Allah kepada orang-orang yang beriman. Oleh sebab itu mereka disuruh berpuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun