Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Evolusi Lanjut Umat Manusia: Dari Homo Sapiens ke Homo Deva

25 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 25 Januari 2023   07:14 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesungguhnya terserah kita, apakah memilih percaya terhadap evolusi Darwinian atau tidak, asalkan dilandasi dengan alasan yang kuat. Ketidakpercayaan bisa disebabkan oleh salah paham terhadap teori evolusi, menganggap Darwin bersabda bahwa manusia berasal dari kera, lantaran ilustrasi yang dipilih untuk menggambarkan sejarah universal umat manusia adalah gambar yang menampilkan hal ini: mulai dari kera yang berjalan dengan empat kaki (atau tangan), ke manusia setengah tegak berdiri dengan dua kaki, ke manusia tegak, dan akhirnya manusia modern.

Kesalahpahaman bagi yang lain bisa jadi sesungguhnya bukanlah kesalahpahaman. Soalnya bukan hanya sekedar ilustrasi, struktur teorinya juga mendukung. Bahwa pembicaraan mengenai evolusi selalu dimulai dari manusia primitif yang dilekatkan pada spesies tertentu, misalnya erectus ataukah neanderthal. Kemudian kepunahan satu spesies ditandai dengan kemunculan spesies yang baru.

Homo Sapiens, atau yang disebut sebagai spesies manusia seperti kita ini muncul belakangan. Sehingga agak aneh jika ada seseorang yang mencoba meluruskan kesalahpahaman ini dengan mengatakan bahwa kita ini adalah sapiens, satu jenis spesies tersendiri di antara primata lainnya, yang spesiesnya berbeda dengan kera, simpanse, dan bonobo sejak asali.

Tetapi mungkin sebaiknya kita mendengarkan Yuval Noah Harari yang sejalan dengan pendapat yang saya sebutkan barusan, bahwa sapiens adalah jenis tersendiri sejak awalnya. Evolusi terjadi hanya pada sektor kognitif, pertanian, dan pembangunan tatanan khayalan--termasuk di dalamnya uang, imperium, dan agama.

Puncak spesies manusia bagi Harari adalah Homo Deus, yaitu kala manusia mampu menentukan takdirnya sendiri, mampu membangun dunia di masa depan yang bisa dikendalikan. Tentu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Zaman Homo Deus adalah zamannya teknologi pintar (artificial intelegence), di mana teknologi seperti ini merupakan medium untuk manusia bisa hidup kekal, tak tertandingi, manusia yang (menggantikan) Tuhan.

Namun ada satu konsep lain tentang tahap lanjut evolusi manusia. Itu lahir dari seorang psikolog cum pendidik Dr. Mary Belknap, seorang intelektual wanita dari Amerika Serikat. Ia menulis buku berjudul "Homo Deva", yang juga merupakan nama dari spesies yang akan menggantikan sapiens. 

Benarkah sapiens akan berevolusi menjadi makhluk baru? Secara Darwinian, manusia sebagai organisme mungkin saja bisa berevolusi jika seleksi alamiah memungkinkan. Namun bagaimana mungkin spesies ini berevolusi, sedang organ-organnya sangat mendukungnya sebagai spesies terakhir. Jangankan punah oleh seleksi alam, pergerakan alam pun hampir-hampir dikendalikan oleh spesies ini.

Namun kalau kita tidak begitu rigid meletakkan evolusi mesti secara biologis dan fisiologis, evolusi itu sangat mungkin. Kata Belknap, kita sudah berada di ambang peralihan itu, atau sudah memasuki tahap Homo Deva awal. Homo Deva adalah manusia dewa, manusia ilahiah, manusia yang memiliki kesadaran keplanetan, manusia yang punya visi penyembuhan terhadap bumi yang sakit.

Jangan membayangkan Homo Deva mesti punya ukuran tengkorak kepala yang lebih besar ketimbang sapiens. Bagaimanapun Homo Deva terlahir dari rahim sapiens yang sudah tentu hanya cukup untuk jenis tubuh sapiens.

Maka evolusi ini, bisa kita baca lebih bersifat naluriah ketimbang jasmaniah. Homo Sapiens adalah makhluk yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan ketika menjadi Homo Deus, manusia berhasrat menjadi penguasa alam, kecerdasan yang berpadu dengan alam digital adalah modal utama untuk kehidupan yang abadi.

Sedang Homo Deva, ia merupakan spesies yang tidak mengejar imortalitas, ia tidak berhasrat untuk menjadi penguasa alam semesta. Melainkan hadir untuk mengobati bumi yang sakit akibat dirusak oleh Homo Sapiens. Selama jutaan tahun, sapiens sudah memakan energi yang dihasilkan oleh alam, baik dari mineral, tumbuhan, maupun dari hewan. Maka Homo Deva bertugas mengembalikan energi itu dalam rangka keseimbangan.

Homo Deva bermakna manusia ilahiah, sedang Homo Deus bermakna manusia Tuhan. Namun Homo Deva lebih bermakna positif, yaitu menolong kehidupan. Sedang Homo Deus bermakna negatif, makhluk yang menguasai segalanya dengan kerakusan yang dipunyainya. Tetapi perbedaan makna ini bukan dalam hal perbedaan istilah semata, melainkan argumentasi yang melandasi lahirnya kedua istilah ini, dan dari orang yang berbeda (antara Belknap dan Harari).

Belknap membagi makhluk hidup ke dalam lima kerajaan: kerajaan mineral, kerajaan tumbuhan, kerajaan hewan, serta kerajaan manusia. Pembagian serupa akan kita temukan dalam The Secret History of the World (Sejarah Dunia yang Disembunyikan) karya Jonathan Black, namun lebih sederhana (mineral, tumbuhan, dan hewan; manusia termasuk ke dalam kerajaan hewan). Lalu sapiens tampil sebagai penguasa kelima kerajaan itu.

Sapiens digambarkan sebagai jantung bumi, di mana denyut kehidupan di atasnya ditentukan oleh gerak spesies ini. Kini, menurut Belknap, bumi lagi mengalami serangan jantung, penyembuhan hanya bisa dilakukan jika sapiens berevolusi menjadi Homo Deva. Dari kehidupan jantung bumi menuju ke pusat kerongkongan bumi (konsep ini sesungguhnya membingungkan, apakah akan kita maknai secara harfiah ataukah metafor). Sedang kerongkongan adalah ambang menuju kepala, pusat pernafasan, kepala adalah tahap tertinggi dari kehidupan. 

Anggap saja kita membayangkan bahwa kepala bumi adalah tempatnya para dewa, kita harus mendekati tahap itu walau secara biologis kita tak mungkin naik ke sana.

Namun menurut Belknap, Homo Deva awal sudah hadir di muka bumi, jumlahnya mencapai kurang lebih 300 juta jiwa tersebar di setiap benua, dan akan sempurna pada tahun 2020. Ciri mereka adalah terlibat aktif dalam program-program kemanusiaan, mereka adalah makhluk-makhluk kreatif, inovator, dan penyembuh.

Sederet nama disebut sebagai Homo Deva awal, atau perintis lahirnya Homo Deva, semisal Fritjof Capra, Aung San Suu Kyi, David Spangler, dan beberapa lainnya, adalah tokoh-tokoh terbaik di alam kehidupan manusia di masanya. Nama lain bisa anda temukan pada bagian lampiran. Di antaranya dua nama yang sudah pasti ilahiah: Siddharta Gautama Buddha dan Yesus dari Nazareth.

Bagi umat Islam, manusia ilahiah yang mungkin setara atau melampaui Homo Deva adalah para Nabi. Mereka bukan hanya bertugas menyampaikan ajaran Tuhan yang termaktub dalam kitab suci, tetapi juga mereka hadir untuk menciptakan tatanan sosial, membangun peradaban, mendorong terjadinya perubahan cara berpikir bagi umat manusia dalam menghadapi alam semesta, juga mengajarkan rahasia di balik segala penciptaan.

Bisa dikata, bahwa para Nabi lah yang membawa peradaban teks, tulisan, kitab. Di mana fase manusia mengenal tulisan juga berarti suatu tahap manusia mengalami ledakan kebudayaan. Kita bisa berkata bahwa di fase itu manusia sedang mengalami evolusi kognitif dari yang tidak mengenal simbol huruf, menjadi manusia yang mampu membaca rangkaian huruf-huruf.

Tetapi mungkin para Nabi, termasuk juga di dalamnya dua tokoh ilahiah yang disebutkan belakangan (Buddha Gautama dan Yesus) adalah manusia ilahiah pada dirinya sendiri sebagai tokoh, kemudian keilahian itu akan melekat pada tingkatan spesies. Dengan kata lain, Homo Deva dimaksudkan bahwa manusia ilahi bukan lagi per individu, melainkan sudah pada tingkatan spesies. Mereka hidup bukan demi diri sendiri, melainkan demi menolong kehidupan planet bumi kita ini. 

Homo Deva adalah orang-orang yang aktif dalam kegiatan filantropi dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan lainnya. Bisa juga dalam status sebagai pegawai profesional namun berbasis kreatifitas dan memiliki komitmen melindungi kehidupan umat manusia. Atau dalam posisi apapun, sepanjang dalam jiwanya memiliki naluri mendorong terwujudnya kehidupan yang mengutamakan kepedulian bersama pada tingkat spesies dan keplanetan. Serta turut dalam upaya pencegahan terhadap eksploitasi terhadap alam semesta, dan melindungi bumi dari kerusakan ekologis.

Belknap mensyaratkan kita semua membantu kelahiran spesies baru ini. Kita sebagai orang dewasa yang menghadapi "anak-anak kita". Mereka adalah Homo Deva kita di masa depan. Namun banyak di antara mereka yang sedang sakit, sebagai manifestasi keadaan transisi spesies ini. Seperti autisme, asma, mabuk, kenakalan remaja, depresi, dan lain sebagainya, tidak lain itu merupakan bentuk kesenjangan antara apa yang dicontohkan oleh orang dewasa dengan nilai-nilai ideal yang ada di dalam kebudayaan kita.

Sebagai orang dewasa, bagi Belknap, kita mestinya memandang penyakit-penyakit anak-anak Homo Deva kita itu sebagai suatu sinyal. Ibarat burung kenari di lorong tambang yang akan berperilaku aneh, bahkan mati, sebagai tanda bahwa kondisi di bawah tanah sedang mengalami peningkatan gas beracun. Kesakitan anak-anak kita adalah sinyal bahwa kehidupan kita sedang tidak baik hari ini, maka perlu ada upaya penyembuhan.

Mengobati penyakit-penyakit itu tidak ada jalan lain, selain kita sebagai orang dewasa memberikan keteladanan, memperbaiki seluruh perilaku dan menyelaraskannya dengan norma sehari-hari. Ini sebagai manifestasi bantuan kita, Homo Sapiens hari ini, dalam membidani lahirnya Homo Deva secara besar-besaran di masa mendatang. Memang tidak secara seleksi alamiah, melainkan dibutuhkan perlakuan.

Bisa dipahami, konsep demikian lahir sebab Mary Belknap adalah seorang psikolog dan juga pendidik. Kehidupannya lebih banyak didedikasikan untuk menghadapi anak-anak yang beragam, sekalian dengan masalahnya masing-masing. Bermula di suatu waktu pada titik balik matahari 1981, ia mendaku mendapat pencerahan melalui seekor tupai malang yang mencoba menggali makanannya di bawah endapan es. Rasa kemanusiaannya membuatnya berpikir dan berandai-andai bahwa beginilah kira-kira kehidupan manusia. Lain hal jika semua orang lahir untuk saling menolong.

Pertanyaannya besarnya, apakah evolusi ini akan benar-benar terjadi (pada level spesies)? Bukankah keserakahan, keapatisan terhadap bencana ekologis, dan kesadaran palsu tetap saja terpelihara? 

Jika transisi dan kemudian evolusi dialami lebih sedikit manusia, yaitu hanya pada mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan, ini tentu tidak dapat disebut sebagai evolusi ke-spesies-an. Mungkin bisa kita anggap sebagai perluasan wilayah di bidang kerja-kerja itu.

Namun jika Homo Deva akan lebih banyak, dan menyisakan pemilik-pemilik modal, pemimpin-pemimpin diktator, pejabat-pejabat korup, serta manusia-manusia rakus lainnya, kita anggap saja mereka sebagai spesies yang gagal berevolusi. Mereka tetap saja Homo Sapiens, yang ciri tubuhnya sama saja dengan Homo Deva, namun pikiran dan perasaannya sangat jauh berbeda.

Serta, inilah yang akan menjadi penambah  kebenaran bukti teori survival of the fittest, bahwa hanya orang-orang yang unggul dalam hal kreatifitas, spiritualitas, dan keilahian yang mampu berevolusi dari Homo Sapiens ke Homo Deva. Selebihnya berhenti dalam spesiesnya, bahkan punah.

***

Judul asli: Homo Deva: Evolution's Next Step
Judul terjemahan: Homo Deva: Tahap Lanjut Evolusi Umat Manusia untuk Memenangkan Masa Depan
Penulis: Mary Belknap
Penerjemah: Adi Toha
Penerbit: PT. Pustaka Alvabet
Tahun: Cet. I, 2019
Tebal: 386 halaman
ISBN: 978-623-220-038-8

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun