Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Buku-Buku Menyempurnakan Kemanusiaan

6 Januari 2023   09:18 Diperbarui: 6 Januari 2023   09:59 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber foto: laduni.id

Malam itu (06/01/2022) saya mengikuti pengajian online "Ngaji Ihya'" oleh Gus Ulil Abshar Abdalla. Temanya bagus sekali, yaitu persoalan dharuri, atau yang utama, yang pokok pada kehidupan manusia.

Gus Ulil memberikan pengandaian petani. Yang dharuri, atau yang pokok bagi petani adalah cangkul. Tanpa cangkul, petani tak bisa menjalankan pekerjaan utamanya. Sama seperti driver ojol, tanpa sepeda motor atau mobil, ia tidak dapat menjalankan pekerjaannya sebagai ojol. Di sini cangkul dan kendaraan menjadi dharuri bagi masing-masing.

Sekaligus membuktikan bahwa dharuri tidak sama antara semua orang. Kehilangan cangkul bagi Pak Tani tentu berbeda psikologi dan fungsinya dengan kehilangan cangkul bagi pegawai negeri. Sebab bagi pegawai negeri cangkul bukanlah penopang utama kehidupan.

Yang menarik dari bagian kitab Ihya' yang dikaji malam itu adalah dharuri bagi para ulama, atau penuntut ilmu. Yaitu buku atau kitab-kitab. Atau bisa kita balik bahasanya: buku-buku atau kitab-kitab adalah benda yang dharuri bagi penuntut ilmu atau ulama.

Buku bagi ulama atau penuntut ilmu (di sini saya tidak mengatakan penuntut ilmu otomatis adalah ulama, tetapi cenderung memandangnya memiliki kesamaan kebutuhan pokok), tentu tidak sama dengan buku bagi para pedagang, Pak Tani, pejabat kantoran, dan lain-lain yang pekerjaan utamanya tidak perlu bergelut dengan buku.

Kita bisa mengajukan keberatan di sini, buku-buku kan tidak termasuk dalam tri-kebutuhan dasar manusia Indonesia: sandang, pangan, dan papan. Ketiga-tiganya dipenuhi tanpa buku-buku pun bisa.

Juga bisa sekaligus menjadi bahan kritik yang diajukan dalam ngaji itu, kehilangan cangkul bagi petani bukan hanya berarti masalah bagi petani, tetapi juga pada kita semua rakyat Indonesia yang menggantungkan nasib pangan pada petani. Ini adalah salah satu contoh tri-kebutuhan dasar--yang sudah saya sebutkan di atas--sesungguhnya terikat secara sistemik. Saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Lalu mengapa Imam al-Ghazali tetap saja meletakkan buku-buku atau kitab-kitab menjadi yang pokok bagi satu golongan manusia, yakni penuntut ilmu? Sebab kebutuhan dasar manusia idealnya tak hanya meliputi kebutuhan fisik. Berpikir dan merasa juga perlu disehatkan.

Saya teringat Cak Nun di bukunya "Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai" berkata:

"Jika politik berhenti pada kekuasaan, manusia gagal menjadi manusia. Jika ekonomi berhenti pada laba, manusia gagal menjadi manusia. Jika karier berhenti pada kebesaran, manusia gagal menjadi manusia ...." (Nadjib, 2018: 102)

Politik, ekonomi, dan karir di sini bermakna sebagai sarana yang mengantarkan manusia pada pemenuhan kebutuhan dirinya masing-masing. Sedang gagal menjadi manusia berarti ada hal-hal yang belum dipenuhi, yakni ketika manusia hanya berhenti pada kekuasaan, laba, dan kebesaran, yang itu semua adalah manifestasi dari pemenuhan hasrat jasmani belaka.

Sandang, pangan, dan papan--apabila dipenuhi--hanya menjadikan manusia berhenti pada titik dasar; sebagai makhluk biologis. Ia hidup selayaknya makhluk lain (hewan) yang kebutuhan dasarnya terpenuhi. Sedang ilmu menyempurnakan hidupnya sebagai manusia.

Manusia tak hanya butuh kenyang, nyaman, dan aman, tetapi juga butuh berpikir dan menikmati pikirannya; butuh merasa dan menikmati perasaannya. Ditambah, pikiran dan perasaan (intuisi) itulah yang telah dibuktikan oleh sejarah bagaimana manusia bisa membangun peradaban.

Saya sendiri tidak heran jika sampai hari ini ada yang bertanya: apa guna membaca? Sebab bagi dia manusia itu yang penting bisa menjadi makhluk biologis yang terpenuhi tri-kebutuhan dasarnya, itu sudah cukup; yang penting sudah terjamin hidupnya sebagai hayawan.

Orang seperti itu tidak memikirkan membangun peradaban. Kemajuan hidup manusia tidaklah sekadar pemenuhan terhadap sandang, pangan, dan papan. Tetapi juga perlu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tetapi jangan harap peradaban bisa dibangun serta ilmu pengetahuan dan teknologi bisa dikembangkan jika tri-kebutuhan dasar manusia: sandang, pangan, dan papan tidak dipenuhi secara serius dan merata. Politik mestinya mengakomodir ini semua.

Pada akhirnya dharurah (yang pokok) itu ada pada kelas dan golongan masing-masing dalam masyarakat, yang semuanya tak bisa diabaikan begitu saja. Termasuk buku-buku (sarana penunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), tak dapat dimungkiri, adalah penyempurna kehidupan manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya, yang sempurna, satu-satunya spesies makhluk yang mampu membangun peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun