Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Agama Bukan Satu-satunya Penentu Moralitas dalam The Great Disruption

30 Desember 2022   18:27 Diperbarui: 30 Desember 2022   18:42 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, moral yang muncul secara spontan yang bersifat irasional adalah moral yang ditimbulkan oleh kebudayaan. Fukuyama mencontohkan inses (perkawinan saudara), secara budaya tidak diperbolehkan, dan itu dipelihara turun temurun. Menaatinya merupakan tindakan moral, meskipun tidak membutuhkan argumentasi rasional mengapa inses tak boleh dilakukan.

Keempat argumentasi inilah yang menyebabkan Fukuyama berkesimpulan bahwa agama bukan satu-satunya faktor pembentukan moral. Lebih ekstrim jika membaca God Delusion karya Richard Dawkins, bahwa agama bukanlah sumber moral. Bagi umat Islam kesimpulan ini sangat sekuler. Pernyataan semacam ini perlu direnungkan, sebelum terlanjur menjadi keyakinan publik.

Di tempat lain, agama bisa menjadi inspirasi pembentukan undang-undang, kebijakan negara, maupun konsep bernegara itu sendiri. Misalnya negara-agama secara total adalah Republik Islam Iran. Serta aturan agama yang secara "integrasi sebagian" dianut oleh Indonesia misalnya dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Agama juga memberi inspirasi dalam pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan. Bahkan di masa menjelang kemerdekaan, berdiri organisasi-organisasi besar keagamaan yang kehadirannya bukan hanya sebagai penjaga moral, tetapi juga sebagai pelopor kebangkitan dan kemerdekaan itu sendiri. Sebut saja organisasi itu Sarekat Islam (sekarang Sarekat Islam Indonesia), Muhammadiyah, NU, Persis, dan lain-lain.

Secara kebudayaan, agama juga sepanjang sejarah menjadi penguat terbentuknya social capital bagi masyarakat, utamanya di daerah pedesaan. Adanya tradisi-tradisi yang praktikkan oleh komunitas masyarakat tertentu, yang seremonial seperti tahlilan, maulidan, bahkan nikahan, kesemuanya itu menjadi pembentuk social capital yang kuat, hal yang menjadi faktor utama terjadinya disrupsi atau tidak menurut Fukuyama.

Namun satu hal yang belum dibuktikan oleh pengaruh agama, atau khususnya dakwah dewasa ini, yaitu pembangunan peradaban berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum ada mubaligh atau gerakan sosial berbasis agama, khususnya Islam, yang dengan getol memulai kepeloporan bangkitnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini masih berada di tangan kaum sekuler barat, dan juga negara-negara kapitalis non-barat lainnya, yang gemar melakukan eksploitasi, ekspansi, monopoli, serta mengancam ekologi.

***

Judul buku: The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial
Penulis: Francis Fukuyama
Penerjemah: Ruslani
Penerbit: Penerbit Qalam
Tahun: Cet II, 2016
Tebal: xviii + 510 halaman
ISBN: 978-979-3957-50-0

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun