Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Agama Bukan Satu-satunya Penentu Moralitas dalam The Great Disruption

30 Desember 2022   18:27 Diperbarui: 30 Desember 2022   18:42 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandingkan keempat model kejahatan ini dalam perspektif Islam, yang jenisnya lebih kaya. Jangankan membunuh atau mencuri, setetes air seni yang menempel di kemaluan dan dibiarkan, tak dibersihkan lalu tak dipedulikan, kemudian mendirikan salat, secara fikih ini bagaikan suatu kejahatan besar. Tidak main-main, sebagai ganjarannya, pelakunya tidak akan masuk surga, yang berarti bahwa akan disiksa di dalam neraka. 

Namun terkait kejahatan fikhiyah ini, yang juga disebut dosa, memulihkannya sudah memiliki panduan dari masa silam. Mendakwahkan kebenaran dalam bidang ini cukup merujuk ke kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama fikih, maupun syarah (komentar) nya. Karya-karya berorientasi fikih dari Ibnu Rusyd, Imam Syafi'i, Sayid Sabiq, hingga Wahbah Zuhaili, setidaknya adalah empat di antara sederet pakar yang karyanya memuat materi dakwah, utama kejahatan fikhiyah.

Mubaligh-mubaligh kita sayangnya seringkali berhenti hanya pada bidang itu, dan menganggap seluruh kejahatan disebabkan oleh bisikan setan. Berbeda dengan kejahatan ala Fukuyama, yang itu berasal dari tatanan sosial yang rusak, social capital atau modal sosial yang tergerus yang menimbulkan ketidakpercayaan. Jenis ini bukanlah isapan jempol, ia memiliki ragam data statistik yang bisa ditinjau pada apendiks di bagian belakang buku.

Pertanyaannya, bagaimana cara berdakwah demi memberantas kejahatan yang disebabkan oleh rusaknya tatanan sosial? Sedang Fukuyama sudah punya konsep rekonstruksi tatanan sosial itu. Terlebih dahulu Fukuyama mendiagnosis bagaimana tatanan sosial itu bisa hancur akibat kejahatan, serta faktor lain di samping kejahatan itu, seperti ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga pemerintah, serta kehancuran keluarga.

Kedua faktor yang disebutkan belakangan sangat besar pengaruhnya bagi eratnya tatanan sosial. Ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah, misalnya kepolisian, ataukah lembaga pembuat undang-undang, hanya akan menghasilkan sikap individualisme. Akan muncul tafsir-tafsir subjektif mengenai tindakan sosial yang berefek pada perubahan tingkah laku di masyarakat. Contohnya main hakim sendiri oleh masyarakat kita terhadap pelaku kejahatan, ketimbang menyerahkannya ke pihak yang berwajib untuk dihukum sesuai aturan perudang-undangan yang berlaku.

Kehancuran keluarga juga sangat berpengaruh. Kenakalan remaja seringkali berawal dari latar belakang keluarga yang berantakan. Pemikir pendidikan Islam kontemporer, Abdullah Nasih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad fil Islam memberi satu bagian khusus yang membahas kenakalan anak disebabkan perceraian orang tua maupun keretakan keluarga. Pada akhirnya anak-anak ini frustasi dan tidak akan memedulikan sesiapa yang mencoba menasihati, termasuk para mubaligh yang akan menyampaikan tausiyah.

Menyembuhkan tatanan sosial yang rusak (The Great Disruption) dalam analisis Fukuyama diupayakan dengan jalan membentuk tatanan moral. Selama ini moralitas dipersepsikan muncul secara hierarkis, yaitu melalui nilai-nilai yang umumnya tertulis dan diwariskan dari masa lalu. Agama demikian, ia adalah ajaran moral yang sudah termaktub dan terstruktur dalam prosedur tertentu, juga tersentralisasi. Di samping agama, menurut Fukuyama adalah kebijakan politik, yang di dalamnya memuat undang-undang atau segenap aturan, yang dengan itu dapat mengarahkan perilaku sosial menjadi lebih bermoral.

Namun di samping itu, menurut Fukuyama, moralitas juga bisa muncul secara spontan melalui interaksi-interaksi sosial yang terdesentralisasi, yang sesungguhnya juga bagian dari efek kebijakan yang dibuat. Tidak sampai di situ, antara tatanan moral yang hierarkis dan spontan, juga apakah didasarkan pada pilihan-pilihan rasional ataukah yang irasional.

Fukuyama akhirnya membagi sumber moral ke dalam empat lokus. Pertama, moral yang berasal dari yang sentral dan hierarkis, namun didasarkan pada pilihan-pilihan rasional, yaitu moral yang berasal dari sistem hukum, regulasi, atau undang-undang suatu negara. Ia rasional sebab sistem hukum itu diciptakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional;

Kedua, moral yang berasal dari yang sentralistik, otoritatif, hierarkis namun irasional adalah moral agama. Ia bersifat irasional sebab masuk akal atau tidak, nyatanya nilai-nilai yang dibawa oleh agama mesti dijalankan; 

Ketiga, moral yang muncul secara spontan namun didasarkan pada pilihan-pilihan pilihan rasional adalah moral yang disebabkan oleh swa-organisasi. Masyarakat membentuk komunitas-komunitas yang di dalamnya saling bekerjasama demi penjagaan moral bersama. Moral spontanitas terbentuk dari komitmen komunitas itu;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun