Malam 25 Mei, duduk di teras lantai tiga rumahnya, seorang anak gadis dengan wajah lelah, gusar dan pucat mencemburui gelap malam terlalu buru-buru menyuh senja pulang ke samudera. Jurna, nama gadis 16 tahun itu. Selalu melihat bulan setiap malam tiba, jika siang hanya ada matahari. Dia melihat bulan di hatinya
Sekolah daring mematahkan semangat sesungguhnya, jurna sangat menyukai cerita-cerita fiksi. Waktu luang yang dia gunakan setelah sekolah daring dengan membaca banyak cerita fiksi. Dirinya sangat mengagumi bulan. Menurut dia, rembulan itu menjadi indah ketika kita sedang pata hati. sejumlah tulisan fiksi yang dia kumpul hanya menambah kekuatan rindu dia pada sang bulan
Sudah bertahun-tahun, di halaman buku kecil miliknya hanya bertuliskan tentang beberapa keindahan yang menurut jurna adalah keajaiban nyata yang pernah dia temukan di bumi. Satu keindahan yang dia tulis adalah Keindahan Bulan. Suatu ketika kebencian membakar amarahnya karana beberapa hal, bukan karena bulan tidak menyapanya, tetapi karena jurna terlalu percaya pada semua keindahan
Sehingga  ketika harapan dan kesungguhan dia disentuh dengan beberapa hal yang membuat dia merasa benci, sejuta keindahan yang dia catat sejauh beberapa tahun ternyata tidak bermakna sama sakali di hatinya jurna
Poukul 19.26 wib, komplek perumahan Indah sudah sangat sunyi, sepi hanya bising sesekali mengganggu lamunannya. Secangkir kopi, dan sebuah almbum catatan kecil Jurna menemani dia di teras depan lantai tiga.
Rumahnya berdekatan dengan bukit yang suram, lembah dan hutan yang basah menambah aroma dingin yang menusuk hingga ketulangnya. Matanya tertuju pada luasnya lapangan golf, hilir mudik mobil memasuki gerbang utama perumahan indah membuat jurna tak lepaskan mata untuk menghitung satu per satu cahaya lampu dari mobil itu
"huh, malam ini terlalu gelap. Aku benci kota yang sepi ini"Â sambil menarik buku kecil yang dia letakkan di dekat gelas kopinya
Udara malam itu sedikit berbeda, siangnya sangat panas. Sesekali hawa dingin lembah dan bukit berubah menjadi hawa panas. Terlintas dibenak Jurna, geliat rindu pada sang bulan. Jurna memikirkan gedung-gedung tinggi di hadapannya, serta remangnya lampu kota bukan bentuk pemandangan asik
Sesekali dia membentur kakinya ke lantai, bak risih dengan suatu hal yang mengganggu pikirannya. Sore tadi, dia rebahan menjelang malam. Di tempat duduk favoritnya dari bahan bambu, dia melihat bulan sangat buru-buru sekira tiga jenkal dari garis air samuda
Jurna benar-benar kaget, ini fenomena alam ataukah benar-benar nyata terjadi seperti ini dalam bebebrapa waktu. Pertanda, menuju purnama di beberapa malam berikutnya. Dia menatap sinis pada bulan sambil komat komit tidak jelas gerangan apa
"Kamu teralu buru-buru menyapaku lan, sore ini tidak seperti biasa. Aku sangat lelah"Â begitu cara jurna menyapa bulan sambil kerutkan dahi, dia katakan begitu saja pada bulan.