Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komplikasi Eforia (Di Kota Jakarta)

1 Desember 2017   05:12 Diperbarui: 1 Desember 2017   06:00 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : ilustrasi komplikasi

"Kalau tidak macet namanya bukan Jakarta"

Pernahkah kita mendengar Jakarta tanpa macet dari waktu kewaktu? 

Kota Jakarta dengan Jumlah penduduk makin meningkat dari hari ke hari, selain aktivitas industri, ekonomi, politik dan lainnya. Kemacetan adalah bentuk eforia yang mengalami komplikasi sangat tinggi (Komplikasi Eforia berlebihan) . 

Kemacetan disebabkan oleh kepadatan penduduk disuatu wilayah tersebut, utamanya wilayah (Perkotaan). Contoh rill kemacetan adalah dampak dari kepadatan penduduk, dapat kita lihat dibeberapa kota besar seperti Bandung, Bogor, Depok dan Jakarta. 

Selain kepadatan penduduk, adapun penyebab kemacetan terjadi adalah perpindahan penduduk dari desa (daerah) lain ke kota. Perpindahan penduduk adalah atau Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain di dalam negeri maupun dari suatu negara ke negara lain untuk menetap, baik secara perorangan, keluarga maupun berkelompok. 

Menurut Sensus Penduduk Indonesia Migrasi adalah orang yang tinggal di daerah baru selama enam bulan atau lebih

Terjadinya perpindahan disebabkan oleh banyak faktor, seperti ekonomi, politik atau agama, penyakit, lingkungan dan sebagainya. Adapun faktor yang mendorang terjadinya migrasi adalah daerah menurutnya sudah tidak aman, lapangan kerja dan lain-lain. 

Banyak juga perkara yang menyebabkan terjadinya migrasi, baik migrasi nasional atau internasional. Luas lapangan kerja dan tingkat ke-aman-an daerah tersebut menjadi faktor penyebab migrasi lainnya. 

Di jakarta, kenyataan sendiri kita dapat melihatnya ketidak pada hari libur, hari-hari besar atau lainnya di mana tingkat mingrasi terjadi bahkan berdampak pada aktivitas, kemacetan, kematian, angka kecelakaan dan lain-lain

Kita lihat Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jakarta, menunjukkan jumlah penduduk Jakarta selalu naik setiap tahun. Sejak 2010 hingga 2014, rata-rata kenaikan jumlah penduduk 100 ribu

Data tersebut diatas, terdapat dapat kita lihat tingkat kedatangan orang di kota jakarta semakin bertambah. Jumlah penduduk Jakarta makin membengkak setelah Hari Raya Lebaran. Migrasi paska lebaran mungkin menjadi budaya bagi setiap dari masyarakat indonesia yang beragama islam (budaya pulang kampung), sehingga pada saat kembalinya dari kampung (Terjadi peningkatan) migrasi, jumlah pendatang baru di Jakarta usai Lebaran mencapai 45 ribu - 50 ribu orang

Sedangkan menurut data BPS 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Meningkatnya angka tersebut, bukan hanya penduduk jakarta saja, angka ini bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok.

Maksudnya pertambahan jumlah penduduk berdampak pada tingkat kemacetan, kekacauan, konflik dan lainnya. Selain itu, orang yang migrasi ke kota jakarta sendiri membutuhkan tempat tinggal, pembangunan rumah tinggal paling pertama menjadi target.

Sehingga terjadilah penjualan rumah tinggal dengan harga mahal dan berimbas pada penduduk asli jakarta tidak mampu memiliki rumah tinggal dengan harga mahal. 

Disinilah letak pergeseran status dari masyarakat asli menjadi terasing di daerahnya sendiri, koflik, pemulung, kemiskinan, kemacetan, pengangguran adalah bentuk dari Komplikasi eforia kehidupan kota yang berlebihan menurut hemat saya. 

Mengapa terjadi komplikasi eforia berlebihan di kota jakarta? 

Suatu daerah memiliki luas batas yang ditentukan secara geografis dalam sebuah administrasi baku. Komplikasi eforia terjadi disebabkan oleh faktor luas wilayah yang tidak mampu menampung pandatang baru ke kota jakarta. 

Untuk luas Jakarta memiliki sekitar 661,52 km (lautan: 6.977,5 km), dengan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa.

Dari luas wilayah dan jumlah penduduk jakarta tersebut di tambah dengan jumlah migrasi setiap bulan atau tahun tentunya berdampak pada penyempitan ruang tinggal. 

Apalagi dari sisi lainnya, Kota jakarta adalah tujuan wisata pertama yang akan menjadi target imigrasi atau ketertarikan sendiri karena merupakan satu kota metropolitan urutan kedua dunia dan terbesar di Asia Tenggara.

Aktivitas kota jakarta adalah ciri aktivitas kota dengan tingkat yang berbeda dengan kota lain, pertanian tidak lagi beraktivitas dijakarta karena perkara lahan. Sehingga dari segi metropolitan tentunya kota jakarta menjadi pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, 

Selain itu, di jakarta adalah industri dan pusat pemerintahan (Ibu kota) negara indonesia degan kedua bandara udara terbesar Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma dan pintu pelayaran terbesar - periok, sunda kelapa dan ancol. Tingkat kedatangan orang dari luar daerah kekota jakarta adalah hampir seluruh suku di indonesia pada setiap hari. 

Laporan Kompas JAKARTA, KOMPAS.com - Peningkatan jumlah penduduk di Jakarta terus terjadi. Hal itu terlihat dari data pertambahan jumlah penduduk yang didapatkan Kompas.com dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta.

Dari data tersebut, terlihat peningkatan jumlah penduduk di Jakarta terus terjadi sejak 2012 hingga 2016. Pada 2012 jumlah penduduk di Jakarta tercatat sebanyak 9,7 juta penduduk. Pada 2013 jumlah ini meningkat menjadi 9,8 juta penduduk atau naik 2,32 persen dibanding tahun sebelumnya.

Tren kenaikan jumlah penduduk terus terjadi pada 2014, di tahun ini jumlah penduduk mencapai 10 juta penduduk atau naik 0,27 persen dibanding 2013.

Begitu juga pada 2015, terjadi kenaikan jumlah penduduk menjadi 10,1 juta atau naik 1,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2016, angka jumlah penduduk naik sebesar 1,1 persen atau menjadi 10,3 juta penduduk

Dari pantauan Kompas dari data tersebut diatas, dapat kita lihat setiap tahun terdapat peningkatan jumlah penduduk. Data yang didapat diatas jelasnya terdata melalui data penduduk secara resmi dari tingkat keluarahan. 

Bagaimana dengan penduduk yang tinggal di apartemen, kosan dan lainnya yang tidak terdata? 

Kita jelasnya tidak mengharapkan komplikasi eforia di kota jakarta berlebihan sampai pada tingkat yang lebih serius lagi. Sehingga menjawab pertanyaan diatas adalah menambah serta mendorng dampak eforia pada tingkat yang banar-benar harus di tanggulangi oleh masyarakat dan pemerintah pada umumnya. 

Data lain dapat dilihat dari lansiran TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA. Urbanisasi atau masyarakat yang berpindah dari daerah ke kota meningkat tiap tahunnya di Jakarta. Tercatat, pada 2013 penduduk DKI berkisar 9,9 juta jiwa, namun saat ini berkisar 10,1 juta jiwa.

Peningkatan jumlah penduduk (Pendatang baru) di kota jakarta dalam tiga tahun terakhir terus mengalami terlihat pada tahun 2015, mencapai 70 ribu orang. Sedangkan tahun 2014, jumlah pendatang baru mencapai 60 ribu orang.

Peningkatan jumlah penduduk dijakarta menyeret  kita pada paradigma komplikasi eforia dan menganggap jakarta sebagai kota paling Keras kehidupannya, Sehingga untuk bertahan hidup, orang-orang melakukan apa saja untuk bertahan hidup. 

Diantara kita pasti pernah bilang " Kalau kita mampu menaklukkan kerasnya Jakarta, maka akan mudah pula hidup di kota-kota lain yang mungkin punya kompetisi sama kerasnya"

Hal ini berbeda dengan kenyataan yang ada, artinya pada kenyatan yang kita lihat sekarang. Justeru karena orang tidak mampu bertahan hidup dari semua kompetisi yang terjadi sehinga kemiskinan, pengangguran dan konflik masih menghiasi sudut-sudut kota jakarta. 

Tiga tahun kurang lebih kehidupan dijakarta memberikan pengetaguan soal banyak cara menghadapi kehidupan dijakarta bagi saya secara pribadi

Kita menyadari posisi kita sebagai pendatang (Migrasi) memiliki prinsip merintis hidup di Kota metropolitan seperti jakarta membutuhkan kesabaran diri. 

Dalam kehidupan keseharian kita, di kota jakarta kita sering menemukan banyak persoalan. Mungkin kata yang tepat untuk menghadapi segalanya adalah (Sabar dan Mawas diri. 

Hal ini, bukan hanya kita saja yang lakukan. Penduduk asli jakarta pun melakukan hal yang sama. Sebab ruang hidup dan kehidupan jakarta tidak membedakan mana orang asli dan mana pendatang. 

Kita dan orang-orang asli di jakarta memiliki prinsip yang berbeda, artinya prinsip bertahan hidup agar dalam setiap tahapan hidup tidak terjadi kehilangan kontrol. Tahap-tahap inilah yang mestinya kita pegang sebagai landasan untuk menghadapi kerasnya kota metropolitan. 

Menurut saya, mereka yang bilang dan mengakui kehidupan jakarta terlalu keras adalah mereka yang terlalu "lebay". Mereka terlalu menyerahkan hidupnya kepada keadaan sebenarnya. 

Sebab sebuah daerah dalam lingkungan hukum memiliki segenab nilai-nilai. Yang seharusnya kita dapat atau temukan adalah niilai-nilai tersebut sehingga dalam upaya bertahan hidup, kita menjadikan nilai tersebut sebagai ukuran bahwa jakarta bukan kota yang keras. 

Belum lagi kita bicara budaya, di jakarta yang semrawut seperti ini. Beragam budaya bercokol didalamnya, seperti yang telah kita lihat bahwa perpindahan penduduk dalam hal ini imigrasi besar-besaran akan membawa serta budaya luar masuk ke Kota Jakarta. 

Dari beragam budaya itulah, kekuatan adaptasi sebagai mahluk sosial berdiri sebagai idealisme kita mengikuti ritme kehidupan jakarta. 

Ritme kehidupan dijakarta dapat kita lihat pada aktivitas kehidupan orang (penduduk asli) jakarta sendiri. Mulai dari, angkutan umum, tempat publik, dan letak jarak antara kota jakarta dengan kota lainnya, pusat perbelanjaan dan sebagainya. 

Dari kesemuannya itu, dapat kita jadikan sebagai pegangan, panduan atau contoh untuk beradaptasi dengan kehidupan kota. setidaknya hal seperti itulah yang aku lakukan selama hidup kurang lebih tiga tahun di jakrta dan bogor. 

Bogor, berbeda dengan jakarta. Meskipun aktivitasnya masih hampir sama, tetapi lingkungan alam yang membedakan antara kehidupan jakarta dan bogor, begitupun kota lain yang secara geografis berdekatan dengan jakarta. 

Hal lain yang lebih penting adalah perkara pergaulan. Pergaulan di kota jakarta tidak membedakan kalangan muda atau tua. Di kota jakarta, pergaulan berlaku sama pada semua usia. 

Perkara pergaulan menurut saya, disesuaikan dengan kehidupan kebiasan kita sebelumnya. Setidaknya (manajemen) keuangan harus dapat dipahmi meski hanya sedikit. Tujuannya adalah kelola uang pribadi untuk menghadapi kehidupan jakarta. 

Efek pergaulan bebas akan bersentuh atau mengarahkan kita pada kemungkinan pergaulan dengan orang yang salah, hiburan, narkoba, sex dan sejenisnya adalah hal paling dasar dari pergaulan bebas. 

Prinsipnya, nikmati hidup di jakarta dengan kekuatan kesabaran dan tetap mawas diri pada semua jenis kemungkinan yang menyeret kita kepada kesalahan bergaul bersandar pada kesehatan kita serta kesadaran dan kekuatan mental diri sendiri. 

Terakhir dari Komplikasi eforia di kota jakarta, intinya tulisan ini hanya sebagai materi pengingat untuk mengingatkan kembali pada kita semua bahwa sedikit pintar menjaga diri akan membuat kita mudah dalam menghadapi segalanya. 

Sehingga buat kita yang terbiasa dan sudah bisa hidup di kota keras (menurut kata orang) ini, maka kehidupan di kota lain dan tidak keras kehidupannya dapat kita hadapi..**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun