Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lelang Jabatan dan Politik Kasta

28 November 2017   05:52 Diperbarui: 28 November 2017   05:55 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Kompasiana.com

Dunia kerja, dalam sistem kerjanya memiliki struktur sistematis yang namanya jabatan. struktur sistematis dalam sebuah organisasi dapat berubah sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku pada organisasi tersebut. 

Begitupun sumber dayanya. Sumber daya manusia adalah ukuran efektif atau tidaknya proses organisasi berjalan. Untuk itu, kita lihat proses mengisi jabatan setidaknya berdasarkan prosedur dan ketentuan menentukan siapa SDM yang berkualitas.

SDM dalam Ndraha, (1999) adalah penduduk yang siap, mau dan mampu memberikan sumbangan terhadap usaha mencapai tujuan organisasional.

Dalam ilmu kependudukan, konsep sumber daya manusia ini dapat disejajarkan dengan konsep tenaga kerja (manpower) yang meliputi angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja yang bekerja disebut juga dengan pekerja.

SDM tersebut akan mengisi jabatan atau posisi baik sebagai bawahan, pemimpin atau sekedar partisipan dalam sebuah organisasi kerja. Disini kita focus pada posisi jabatan dan proses pengisian jabatan. 

Jabatan seringkali orang tidak hanya mendengarnya dari organisasi pemerintahan. Organisasi nonpemerintah pun ada istilah jabatan pada strukturnya masing-masing. 

Disini, kita pilah antara organisasi Pemerintah dan Nonpemerintah. Sehingga bahasaan kita hanya terfocus pada organisasi pemerintah yang kita kenal dengan "Lelang Jabatan"

Di Indonesia, dunia birokrasi sudah sangat akrab dengan lelang jabatan. Hal ini terlihat sama seperti sebuah asumsi berupa ideologis yang terbentuk dari beberapa abad lalu untuk mengkonstruksi kinerja dan outputnya dalam sebuah organisasi dan atau pemerintahan. 

Sehingga, ketika setiap kita berbicara tentang lelang jabatan. Semua orang sudah tentu mengetahui dan meresponnya seperti bahasaan lain yang lebih menarik, misal : politik, ekonomi, agama dan lain-lain. 

Padahal, istilah lelang jabatan baru saja populer pada 2013 silam dibawah pemerintah Gubernur DKI Jakarta masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Tjahtja Purnama. 

Berarti rentang waktu antara masa lelang jabatan pada 2013 dan 2017 masih sangat pendek. Tetapi lelang jabatan sudah di praktikkan oleh hampir seluruh birokrasi pemerintah di seluruh antero Indonesia. 

Pada permulaan lelang jabatan yang ini, yang oleh pemerintah gubernur DKI Jakarta 2013 silam merupakan metode efektif untuk mengisi jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintahannya. 

Awal praktikkan lelang jabatan pada birokrasi pemerintah DKI Jakarta antara lain: Posisi Jabatan Kadis, Camat kepala sekolah dan sejumlah posisi inti birokrasi pemerintahan di DKI jakarta. 

Dianggap sebagai metode efektif mengisi posisi jabatan inti suatu birikrasi karena lelang jabatan menggunakan Dua metodenya yakni tes tertulis dan metode wawancara. 

Kedua metode ini di gunakan dalam lelang jabatan dengan maksud mengukur, mengidentifikasi kualitas dan Kinerja calon pimpinan baru yang akan mengisi posisi tersebut.

Lelang jabatan bukan sekedar isu basi seperti informasi hoax lainnya bermuatan prediksi dan peramalan semata. Lelang jabatan ini, sudah di praktikkan disejumlah lembaga kementrian negara ini. 

Praktik lelang jabatan di yakini sebagai metode baru dalam ajang mengisi posisi jabatan kepemimpinan di birokrasi, bahkan seluruh birokrasi dari pusat sejauh lelang jabatan menjadi metode terbaru meskipun waktu itu hanya di praktikkan di internal Pemda DKI Jakarta. 

Kementrian Keuangan mengawali lelang jabatan Eselon I  untuk empat jabatan penting diantaranya :

1. Irjen Pajak

2. Kepala Badan Kebijakan Fiskal

3. Staf Alhli Bidang Organisasi

4. Birokrasi dan Teknologi Informasi serta Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara.

Artinya, lelang jabatan menjadi resmi di praktikkan oleh lembaga negara memberikan signal positif kepada seluruh perangkat birokrasi di daerah-daerah bahwa lelang jabatan juga bisa di praktikkan di birokrasi Pemda masing-masing. 

Lelang jabatan bukan hanya di praktikkan biasa saja, atau semacam hal umum lainnya. Dalam prosesnya, lelang jabatan melibatkan KPK dan PPATK guna mengakomodir evaluasi serta pengawasan dan pengontrolan terjadinya kecurangan didalam praktik lelang jabatan tersebut.

Pertanyaannya, apakah lelang jabatan yang awalnya di praktikkan oleh Pemda DKI Jakarta dan seterusnya di praktikkan oleh lembaga negara (Kementrian) dan sejumlah daerah ini memiliki regulasi sebagai dasar pijaknya? 

Indonesia, dalam praktiknya. Sejumlah birokrasi bekerja sesuai dengan ketentuan regulasinya. Jadi, sudah barang tentu pelaksanaan lelang jabatan ini berdasarkan dasar hukum yang telah ditentukan sebagai prosedur baku. 

Bicara tentang dasar hukum praktik lelang jabatan, kita membuka regulasi bakunya yang telah di atur dalam UU. Dasar hukum lelang jabatan tersebut diatas di atur dalam UU No. 22 Thn 2004 tentang Pemda, regulasi tersebut isinya membicarakan tentang wewenang Kepala Daerah untuk menentukan sebuah struktur Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) serta pengisian Jabatan. 

Dari regulasi di atas kalau ditarik kembali pada masa lelang jabatan ini di praktikkan oleh Pemda DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi 2013 silam dan tahun adanya regulasi ini yakni 2004 adalah rentang waktu yang sudah jauh. 

Secara tidak langsung, amanat UU no 22 Tahun 2004 ini memberikan kita satu pemaknaan bahwa praktik lepang jabatan bukan pertama kali di lakukan oleh Pemda DKI Jakarta tetapi di amanatkan oleh negara, sehingga sejumlah daerah wajib melakukannya tanpa mengabaikan ketentuan UU tersebut. 

Selain itu, praktik lelang jabatan tentunya tidak terlepas dari pada prinsip profesionalisme dan syarat obejektif lainnya. Seperti yang diamanatkan dalam UU No 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepagawaian dan mengatur tentang syarat pengisian jabatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan prosedurnya secara administratif

Dalam Siagian (1995) melihat adanya suatu fenomena adminsitratif yang belum pernah terlihat sebelumnya, yaitu semakin besarnya perhatian dan semakin banyaknya pihak yang menyadari pentingnya manajemen sumber daya manusia. Politisi, tokoh industri, para pembentuk opini seperti pimpinan media massa, para birokrat di lingkungan pemerintahan, dan para ilmuwan yang menekuni berbagai cabang ilmu terutama ilmu-ilmu sosial menunjukkan perhatian yang semakin besar terhadap manajemen sumber daya manusia

Bagaimana Prosedur Lelang Jabatan tersebut? 

Beberapa tahap dalam lelang jabatan yang dijadikan sebagai acuan baku diantaranya : pertama, pengumuman terbuka tentang jabatan (posisi) tersebut yang mau diisi dengan menggunakan semua perangkat informasi. Kedua, mekanisme pelaksanaan lelang jabatan atau seleksinya. Ketiga, pengumuman hasil seleksi lelang jabatan. 

Dari proses tersebut berdasarkan sistem dan prosedur diatas tentunya adalah sisi positif yang tidak bisa diabaikan oleh panitia pelaksana (PANSEL). 

Kita melihat dampak positif ini sebagai keterbukaan dari lembaga publik dalam pergantian atau pengisian jabatan. Prosesnya sudah pasti menambah daftar keseriusan pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya. 

Disini, kita melihat dan mengkaji sedikit dampak negatif yang menurut saya adalah praktik politik kasta. Mengapa analisis jabatan di kaitkan dengan politik kasta? Apa ada politik kasta? Berikut sedikit kajian untuk kita sama-sama mengambil manfaatnya. 

Semenjak praktik lelang jabatan tersebut meskipun sisi positifnya sangat besar, sisi negatif juga tidak dapat kita hindari. Kita lihat contoh disetiap birokrasi di sejumlah daerah, dan birokrasi pemerintah pusat. 

Bukan lagi hal baru, konflik di tubuh birokrasi adalah dampak satu-satunya yang getaran dan frekuensinya sangat terasa. Polemik ini bukan sebagai rahasia umum lagi. 

Kita lihat Politik Kasta yang masih di praktikkan di India. Praktik politik kasta ini mendudukkan kaum minoritas pada kedudukan politik terendah, jabatan-jabatan inti pada Birokrasi hanya diisi oleh mereka yang berkasta paling tinggi. Hal seperti ini pun sama di negara kita ini. 

Itu lah yang terjadi, sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat India agar yang miskin duduk di dalam kasta bawah seperti kelas miskin sepanjang hayat, dengan itu kuasa atau pemimpin akan tetap berada di tangan kasta tinggi, Brahmas atau seperti nya.

Tanpa kasta bawahan seorang pemimpin India tidak boleh hidup dan maju. Mereka perlu satu strata jadian orang miskin di sekeliling mereka untuk kekal sebagai pemimpin.

Dengan itu segala kemudahan yang di peruntukan kepada kaum India akan terus di salurkan kepada kaum berkasta tinggi. Yang miskin tetap miskin demi kuasa (Baca: Politik Kaum India adalah Politik Kasta, Kena ubah) 

Polemik demikian terjadi didasarkan pada faktor-faktor yang paling dominan dalam praktik lelang jabatan tersebut. Sebab, dalam praktiknya ternyata jauh dari amanat sistematis dan transparansi seperti di amanatkan UU tersebut. 

Lihat contoh lain politik kasta. Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kehadiran kolonial belanda membawa perubahan besar karena melahirkan banyak raja-raja kecil dibali. begitupun disejumlah daerah lain diIndonesia.

Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus (Baca : Kehidupan Kemasyarakatan Kasta-Reza Putra) 

Bali dan India adalah contoh rill praktik politik kadara yang kita dapati.  Dalam praktik lelang jabatan dinegara ini mestinya hindari politik kasta yang pada substansinya adalah merusak tatanan demokrasi kita, praktik lelang jabatan masih menggunakan praktik kolusi dan nepotisme. 

Hal ini lah yang merubah konsistennya lembaga birokrasi untuk tetap menjaga etika profesional dan transparansi sehingga polemik tesebut berubah alur menjadi politik kasta karena kepentingan segelintir orang. 

Politik yang membedakan status, kedudukan, kedekatan, dan mengabaikan kualitas serta kapabilitas seorang yang mengikuti proses lelang jabatan Tersebut. 

Artinya bukan semenjak praktik lelang jabatan ini baru terlihat politik kasta mengendus kedalam ruang-ruang publik (birokrasi). Tetapi semenjak, lahirnya kelompok-kelompok kepentingan dari sejumlah segmen efek dari perpolitikan yang kita praktik. 

Efek praktik politik yang mementingkan kelompok inilah identitas kolusi dan nepotisme tetap melekat dan menjadikan sendi birokrasi serat dengan praktik Politik kasta yang selama ini menggerogoti birokrasi.

Dampak lebih besar lagi yang kita dapat di sejumlah daerah adalah pelelangan jabatan disejumlah birokrasi ternyata tidak lagi berdasarkan amanat UU tetapi lebih kepada pendekatan persuasif antara (PANSEL) atau organ inti pelaksana lelang jabatan tersebut dengan calon pemimpin yang nantinya mengisi jabatan. 

Olehnya itu, praktik lelang jabatan menambah kuatnya akar Politik Kasta yang mestinya harus di hapus, di hilangkan dalam setiap praktik pemilihan pemimpin dinegara ini. 

Untuk melalui segalanya dengan mengacu pada prakti profesional berdasarkan prestasi kerja dan kompetensi sebagai kapasitas pemimpin (seorang yang akan mengisi jabatan) yang dilelang tersebut. 

Begitupun, untuk menghindari praktik politik kasta ini. Tentunya kita berkeinginan lelang jabatan tidak berdampak lebih jauh pada perpolitikan modern, perpolitikan dalam ajang mencari pemimpin dan wakil-wakil rakyat untuk jabatan strategis disetiap birokrasi baik di pusat maupun daerah. 

Lelang jabatan merupakan sebuah terobosan baru, meskipun secara regulasi sudah sejak tahun 70an. Terobosan baru ini kiranya bisa kita jauhkan dari praktik politik kasta atau atau wajah lama kolusi dan nepotisme sehingga tidak mengakar menjadi budaya yang merusak tatanan birokrasi kita yang bersih. 

Melihat Polemik di birokrasi dalam pelaksanaan lelang jabatan tersebut seperti terjadi di sejumlah daerah negara ini, bisa kita berkesimpulan bahwa proses tersebut telah mengabaikan sistem analisa kerja. 

Maksud dari analisa kerja adalah mengidentifikasi seluruh perangkat dan kapabilitas serta kualitas SDM yang nantinya di posisikan untuk jabatan pada sebuah organisasi. 

Mengutip Dessler (2006) analisis pekerjaan merupakan prosedur yang dilalui untuk menentukan tanggung jawab posisi-posisi yang harus dibuatkan stafnya , dan karakteristik orang-orang yang bekerja untuk posisi-posisi tersebut. Analisis pekerjaan memberikan informasi yang digunakan untuk membuat deskripsi pekerjaan (daftar tentang pekerjaan tersebut), dan spesifikasi pekerjaan (jenis orang yang harus dipekerjakan untuk pekerjaan tersebut). 

Setidaknya, kita kembali kepada proses analisis kerja untuk dapat menengahi berjalannya sebuah metode baru lelang jabatan di semua birokrasi dan mengakhiri politik kasta lalu kembali kepada jalan memilih pemimpin yang berkualitas, transparansi dan berkeadilan. Semoga! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun