Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Menuju Pilpres 2019

23 November 2017   09:36 Diperbarui: 23 November 2017   09:43 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disamping sebagai pemimpin RI dan Ketua partai, kedua orang ini masih terlihat sangat kuat dalam hitungan kekuatan kubuhnya masing-masing. Kita baru bisa melihat keduanya akan muncul didepan publik pada 2018 nanti. 

Lalu, bagaimana dengan dukungan partai? 

Hal ini, belum dapat dijangkau oleh siapapun. Belum ada yang mengungkapkan tentang satu partai pendukung yang kuat akan menyatakan sikap mendukung salah satu dari mereka. Guncangan dari kekuatan pendukung ini meskipun disimpan, pasti juga terasa oleh publik. Sebab ini menuju RI satu yang jelas gelombangnya sangat terasa. 

Mengutip KOMPAS.com - Peneliti sosial-politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir menilai, pernyataan saling tuding dan menghasut antar-para elite partai politik menunjukkan kepentingan golongan masih mendominasi daripada menjaga keutuhan hubungan sosial masyarakat.

Artinya perhelatan konflik dukungan dan hasut menghasut elit pokitik dinegeri ini masih memanas. Tidak ada pemgontrolan terhadap konflik yang demikian. Baru-baru ini, DKI jakarta misalkan dengan perhelatan ajang demokrasi yang di menangkan Anis-Sandi sebagai gubernur adalah satu dari contoh terbaru. 

Yang kita lihat, paska pelantikan gubernur DKI,  masih banyak faksi-faksi pendukung dari kubuh lawan yang kalah bersaing masih teriak soal elaktabilitas, soal kerja,  soal janji dan sebagainya. Inilah kanyataan bahwa perpolitikan masih bersuhu konflik baik internal mau eksternal dan memberikan efek domino pada masyarakat secara luas. 

Lihat juga teori contentious politics (politik perseteruan, pengembangan dari teori gerakan sosial) dalam mengeksplanasikan  episode-episode kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1997 sampai 2002. Secara keseluruhan, episode-episode kekerasan tersebut terjadi di : Kalimantan Barat, Maluku (Ambon), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku Utara dan Kalimantan Tengah. Dalam pemaknaan terkait kemyataan sekarang ini, episode-episode inilah merupakan "politik lokal dengan cara lain". (Baca: Perang Kota Kecil - Gerry Van Klinken) 

Begitulah imbas konflik yang kita temukan disetiap ajang demokrasi di negara ini, baik lokal mau pun nasional. Pada tiap-tiap episode, orang-orang yang mementukan jalannya konflik dengan peran utama mereka menggalang mobilisasi dan koalisi yang semuanya termotivasi secara politis. Begitu pula dalam perkara dukungan, dititik ini ada tarik menarik kekuatan-kekuatan pendukung untuk saling bersaing. 

Bukan berarti partai-partai pendukung pada keadaan diam dan tenang. Yakin jelas semua partai pendukung sudah bergerak dengan cepat dan hati-hati memberikan signal pada publik bahwa si ini atau si itu adalah benar-benar didorang untuk tetap maju pada april 2019 nanti. 

Kita hanya takutkan, kerja partai akan selalu dahsyat dalam memberikan dukungan. Dengan sendirinya dukungan yang diberikan bisa berpotensi membelah posisi rakyat dan publik dalam dua sisi. Satu sebagai lawan dan satunya sebagai tandingan. Maka, konflik dalam hajatan politik tahun-tahun mendatang akan tidak bisa dihindari oleh kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun